Perbedaan Pernikahan Adat Jawa Solo dengan Adat Yogya, Bisa Dilihat dari Prosesi dan Tata Rias
December 16, 2025 11:27 PM

 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Bulan Desember menjadi momen banyak masyarakat Solo, Jawa Tengah, menjalankan pernikahan.

Pernikahan di Solo biasanya menggunakan adat Jawa.

Namun, selama ini sering dipandang sebagai satu konsep yang sama.

Baca juga: Sejarah Kebo Giro: Gending Warisan Sunan Kalijaga saat Prosesi Temu Panggih di Pernikahan Adat Solo

Padahal, di balik kesan serupa tersebut, terdapat perbedaan mendasar yang berakar dari dua pusat kebudayaan Jawa, yakni Keraton Surakarta (Solo) dan Keraton Yogyakarta.

Keduanya sama-sama berada di wilayah Jawa Tengah, namun memiliki karakter, filosofi, serta detail prosesi yang tidak sepenuhnya sama.

Secara umum, baik adat Jawa Solo maupun Yogyakarta mengenal rangkaian upacara seperti siraman, midodareni, ijab, panggih, hingga kacar-kucur.

Meski demikian, sarana, makna simbolik, serta pelaksanaan setiap prosesi memiliki ciri khas tersendiri.

Baca juga: Kenapa Banyak Warga Solo Raya Jateng Pilih Gelar Pernikahan di Bulan Desember? Ini Alasannya

Inilah yang kerap menimbulkan kebingungan bagi calon pengantin yang ingin mengusung adat Jawa dalam pernikahannya.

Dua Kiblat Pernikahan Adat Jawa

Adat pernikahan Jawa terbagi dalam dua kiblat besar, yaitu gaya Keraton Surakarta dan gaya Keraton Yogyakarta.

Keduanya lahir dari tradisi keraton yang sarat nilai filosofis dan spiritual, sekaligus mencerminkan cara pandang masing-masing keraton terhadap kehidupan, kesakralan, dan keharmonisan rumah tangga.

Pernikahan adat Jawa Solo dikenal dengan nuansa keanggunan, kelembutan, serta tata krama yang halus.

Sementara itu, pernikahan adat Jawa Yogyakarta menonjolkan kesan megah, sakral, dan kebesaran kerajaan.

Baca juga: Sejarah Warung Madura yang Kini Menjamur di Solo Raya, Konon Diperkenalkan Warga Sumenep

Perbedaan dalam Prosesi Siraman

Perbedaan sudah tampak sejak prosesi siraman.

Dalam adat Keraton Surakarta, siraman dilakukan oleh sembilan orang.

Angka sembilan melambangkan Wali Songo sebagai simbol manunggalnya budaya Jawa dan Islam, sekaligus pengendalian sembilan hawa nafsu (babahan hawa sanga).

Proses Siraman Kaesang di Kediaman Presiden Joko Widodo, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jumat (9/11/2022)
ADAT SIRAMAN - Proses Siraman Kaesang di Kediaman Presiden Joko Widodo, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jumat (9/11/2022) (ISTIMEWA)

Sebaliknya, adat Keraton Yogyakarta menggunakan tujuh orang dalam prosesi siraman.

Angka tujuh memiliki makna pitulungan atau pertolongan, sebagai doa agar calon pengantin selalu mendapat perlindungan dan kemudahan dalam kehidupan rumah tangga.

Baca juga: Panggung Songgo Buwono dan Museum Keraton Solo Diresmikan Besok, Langsung oleh Menbud Fadli Zon

Tradisi Khas Setelah Siraman

Dalam adat Jawa Solo, prosesi siraman dilanjutkan dengan upacara dodol dawet.

Tradisi ini menjadi simbol harapan agar tamu undangan datang berbondong-bondong saat resepsi.

Warna merah gula jawa melambangkan keberanian, sementara putih santan melambangkan kesucian serta pertemuan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan.

Sementara itu, pernikahan adat Yogyakarta memiliki ciri khas berupa tarian beksan edan-edanan.

Tarian ini tampak seperti gerakan orang gila, namun memiliki makna mendalam sebagai ritual tolak bala, untuk mengusir energi negatif yang dapat mengganggu jalannya prosesi panggih.

Baca juga: 5 Rekomendasi Kuliner di Wonogiri Jateng Selain Bakso-Mie Ayam, Rasanya Otentik dan Melegenda

Perbedaan Malam Midodareni

Perbedaan mencolok lainnya terlihat saat malam midodareni.

Dalam adat Jawa Solo, terdapat tradisi jual beli kembang mayang sebagai simbol kesiapan dan restu menjelang pernikahan.

Adapun dalam adat Jawa Yogyakarta, kembang mayang telah dipersiapkan sejak sore hari sebelum malam midodareni, tanpa prosesi jual beli.

Perbedaan Saat Prosesi Panggih

Pada prosesi panggih atau temu manten, terdapat perbedaan dalam ritual lempar sirih.

Dalam adat Jawa Solo, lempar sirih dilakukan satu kali. Sementara dalam adat Jawa Yogyakarta, mempelai pria melempar empat linting daun sirih dan mempelai wanita melempar tiga linting, yang masing-masing memiliki makna simbolis tentang keseimbangan, peran, dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Busana dan Tata Rias Pengantin

Busana pengantin menjadi pembeda yang sangat jelas.

Pengantin adat Solo biasanya mengenakan kebaya bernuansa cokelat muda atau krem, dipadukan dengan batik motif Sidomukti atau Sidoluhur.

Aksesorinya sederhana namun penuh makna filosofis.

Sebaliknya, pengantin adat Yogyakarta tampil lebih mencolok dengan kebaya berwarna gelap seperti hitam, dipadukan batik Parang Kusumo.

Tata rias Jogja menggunakan paes hitam pekat di dahi sebagai simbol kebangsawanan dan kewibawaan.

Aksesoris dan Makna Filosofis

Aksesoris pengantin Solo cenderung minimalis, seperti cunduk mentul dan kalung sungsun, yang melambangkan kesetiaan, kesucian, dan keharmonisan.

Sementara pengantin Jogja mengenakan paes ageng lengkap dengan siger dan perhiasan emas, melambangkan derajat, kemakmuran, serta doa untuk keturunan yang mulia.

Dekorasi dan Musik Pengiring

Dekorasi pernikahan adat Solo didominasi warna pastel lembut, dengan ornamen janur, melati, dan nuansa sederhana yang anggun.

Musik gamelan Solo mengalun pelan, menciptakan suasana syahdu dan khidmat.

Sebaliknya, dekorasi adat Jogja lebih megah dengan warna emas, merah marun, dan hitam.

Musik gamelan Jogja terdengar lebih kuat dan berwibawa, menegaskan kesan kebesaran keraton.

Menentukan Pilihan Adat Pernikahan

Baik pernikahan adat Jawa Solo maupun Yogyakarta sama-sama sarat makna, doa, dan nilai luhur.

Perbedaan keduanya bukan soal mana yang lebih baik, melainkan tentang selera, filosofi hidup, serta nilai budaya yang ingin ditonjolkan oleh calon pengantin.

Dengan memahami perbedaan ini, calon pengantin dapat menentukan konsep pernikahan adat Jawa yang paling sesuai dengan karakter dan harapan mereka dalam membangun rumah tangga.

(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.