Prabowo Targetkan Sawit di Wilayah Papua, Energi Mandiri atau Ancaman bagi Tanah Adat?
December 17, 2025 12:44 PM

 

TRIBUNPAPUABARAT.COM - Presiden Indonesia Prabowo Subianto mengungkapkan keinginannya menargetkan penanaman sawit di Papua.

Langkah tersebut ingin dicapainya dalam kurun waktu 5 tahun sebagai langkah menuju energi mandiri berbasis potensi lokal.

“Nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol sehingga kita rencanakan dalam 5 tahun semua daerah bisa berdiri di atas kakinya sendiri swasembada pangan dan swasembada energi," papar Prabowo saat memimpin rapat bersama seluruh kepala daerah Papua di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).

PRABOWO HUTAN SUMATRA-Presiden RI Prabowo Subianto sudah mengantongi nama-nama pejabat TNI Polri yang terlibat merusak hutan Sumatra hingga menyebabkan banjir bandang. Hal itu disampaikan di Sidang Kabinet Paripurna pada Senin (15/12/2025)
PRABOWO HUTAN SUMATRA-Presiden RI Prabowo Subianto sudah mengantongi nama-nama pejabat TNI Polri yang terlibat merusak hutan Sumatra hingga menyebabkan banjir bandang. Hal itu disampaikan di Sidang Kabinet Paripurna pada Senin (15/12/2025) (Youtube Sekretariat Presiden)

Selain itu Prabowo juga menyoroti tujuan penanaman sawit di Papua sebagai langkah penghematan anggaran negara, khususnya subsidi dan impor bahan bakar.

“Dengan demikian kita akan menghemat ratusan triliun untuk subsidi, ratusan triliun untuk impor BBM dari luar negeri.”

“Bayangkan kalau kita bisa potong setengah berarti ada Rp250 triliun, apalagi kita bisa potong Rp500 triliun.” Prabowo menilai penghematan itu dapat membuka ruang fiskal besar bagi pembangunan daerah.

Data Sawit di Wilayah Papua

Dikutip dari data di Badan Pusat Statistik pada update data 18 Juli 2025, hampir semua provinsi di Wilayah Papua memiliki area penanaman kelapa sawit, yakni:

  • Papua Barat: 48,33 ribu hektar
  • Papua Barat Daya: 38,42 ribu hektar
  • Papua: 42,17 ribu hektar
  • Papua Selatan: 97,77 ribu hektar
  • Papua Tengah: 9,37 ribu hektar
  • Papua Pegunungan: 0,00

Pembukaan Sawit Memicu Isu

Pembukaan lahan sawit di berbagai wilayah Papua menimbulkan isu kompleks mulai dari sosial hingga alam.

Meski pembukaan lawah sawit terus ditekankan sebagai peluang ekonomi bagi masyarakatnya, namun nyatanya tak sesederhana itu.

Konflik yang muncul, karena perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin merajalela tanpa memperhatikan lingkungan, ketahanan pangan, dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Hutan Adat menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Papua, di dalamnya ada sumber pangan, obat-obatan hingga bahan yang bernilai ekonomi.

Namun adanya alih fungsi lahan secara skala besar mengancam identitas Masyarakat Adat.

Padahal, hutan di Wilayah Papua seharusnya menjadi hak masyarakat adat, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 tentang Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara.

Nayatanya, kehadiran sawit telah merusak hutan sagu, menghilangkan sumber obat, mempersempit ruang hidup, hingga dampak lingkungan seperti banjir hingga kualitas air yang memburuk. 

Peneliti dari Universitas Massachusetts Amherst (UMass Amherst) papar Briantama Asmara dan Timothy Randhir, menunjukkan gangguan yang berdampak luas terhadap daerah aliran sungai di mana perkebunan tersebut berada.

Sejumlah riset menunjukkan hilangnya keanekaragaman hayati ketika hutan hujan diubah jadi perkebunan kelapa sawit.

Dalam jangka panjang, transisi dari hutan hujan tropis ke perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan curah hujan, limpasan, dan kelembaban tanah.

”Mereka menanggung semua dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, sementara perusahaan kelapa sawit internasional yang menuai hasilnya."

Hamparan sawit di kebun kelapa sawit Cendrawasih Estate, Sinar Mas Region Papua di Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, Papua. Seorang pekerja kebun sawit sedang duduk sejenak. (Tribun-Papua.com/Putri Nurjannah Kurita)

Satu di antaranya hutan adat yang tergusur yakni di Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan dan di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Sebelumnya pada tahun 2024 masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, sama-sama terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. 

Namun kasasi mereka di Mahkamah Agung (MA) ditolak pada November 2024, dikutip dari Tribun-Papua.com.

Selain itu, secara manfaat adanya pembukaan hutan sawit, hak masyarakat pemilik ulayat juga menerima bagian kecil karena penerimaan terbesar adalah pemerintah pusat.

Seharusnya perkebunan sawit yang telah ada, ditata ulang dan benar-benar bermanfaat bagi daerah dengan skema Dana Bagi Hasil (DBH) yang adil dan transparan.

Ini hanya beberapa dari banyaknya kontra yang terjadi di lapangan, terkait pembukaan lahan sawit yang masif dan mengesampingkan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dan tata ruang

Baca juga: Ratusan Pohon di Hutan Adat Hilang, Kepala Suku Kembaran Minta Pupuk Kaltim Bertanggung Jawab

Pemicu Defortasi

Lahan sawit di berbagai daerah di Indonesia adalah bukti kegagalan penataan hutan sejak seperempat abad lalu.

Membuat ekspansi dan pejarahan kawasan hutan semakin tak terkendali.

Hal tersebut diungkap Pengamat Lingkungan Hidup, Yayat Supriatna saat memaparkan titik kritis masalah deforestasi yang telah berlangsung sejak awal reformasi, dikutip dari Tribunnews.com.

“Kalau kita melihat awalnya, itu terjadi di awal reformasi. Pada saat itulah terjadi eskalasi penguasaan lahan di tengah lemahnya regulasi,” terang Yayat.

“Jadi sebenarnya di wilayah Sumatera Utara, dan di tempat lain juga sama, semuanya dimulai ketika awal reformasi, saat aturan-aturan belum terstruktur dari masa Orde Baru menuju masa sekarang. Kalau kita hitung sejak reformasi, berarti hampir 24 tahun, sejak 1998. Ya kira-kira dari awal 200-an sampai 20 tahun terakhir,” kata dia.

Dia pun menyebut pelemahan regulasi selama masa transisi itu membuka ruang bagi aktor-aktor besar melakukan ekspansi dan penjarahan kawasan hutan. 

Maka, dia menilai pentingnya mengidentifikasi pihak yang berperan dalam perubahan besar tata lahan pada periode tersebut. 

Yayat menjelaskan, seharusnya praktik penebangan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan melibatkan jaringan pelaksana yang beroperasi di lapangan. 

Hal itu membuat pemetaan legalitas menjadi krusial agar publik memahami perbedaan antara aktivitas yang diizinkan dan yang melanggar hukum. (TribunPapuaBarat.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.