TRIBUNSUMSEL.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan hanya soal memenuhi asupan gizi bagi anak bangsa, tetapi juga memberi peluang besar dalam menggerakkan ekonomi sirkular.
Dalam skala besar, MBG otomatis menghasilkan sisa makanan dan kemasan setiap harinya. Bagi sebagian orang, limbah biasa dianggap merepotkan, namun hal ini justru dapat menjadi peluang untuk membangun praktik ekonomi sirkular, mulai dari mengolah sampah organik menjadi kompos sampai menjadikannya pakan ternak.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa sisa makanan dari dapur MBG bisa langsung diolah menjadi kompos, sementara sampah organik lainnya bisa diproses oleh sekolah atau bank sampah di sekitarnya. Cara ini bukan hanya berfungsi untuk mengurangi sampah, namun juga membuka peluang ekonomi baru di tingkat lokal.
Baca juga: Kepala BGN: Insentif Rp6 Juta per Hari untuk SPPG Bentuk Apresiasi Pemerintah kepada Mitra
Upaya mengurangi limbah dari dapur MBG makin diperkuat lewat kehadiran teknologi tepat guna dari BRIN.
Mengutip Kompas.com, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Tepat Guna (PRTTG) BRIN, Ainia Herminiati, menjelaskan bahwa konsep ekonomi sirkular dirancang untuk meminimalkan pemborosan makanan, memanfaatkan bahan pangan lokal, dan memproses sisa makanan menjadi pupuk atau pakan ternak.
Contohnya, limbah dapur seperti daun pisang yang biasa dipakai untuk membungkus pepes bisa diolah menjadi pupuk kompos menggunakan biokomposter. Dengan cara ini, limbah dapur yang biasanya terbuang begitu saja justru berubah menjadi produk bernilai tambah.
Penerapan reuse-recycle-reduce bukan cuma menjaga lingkungan tetap bersih, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru berbasis pengolahan limbah.
BRIN juga tengah menggagas pengembangan kemasan pangan biodegradable berbasis biomassa untuk mengganti plastik sekali pakai. Ini relevan jika MBG memakai wadah sekali pakai, sebab kemasan ramah lingkungan bisa memangkas volume sampah plastik.
Beberapa sekolah dan komunitas lingkungan pun telah mulai menerapkan prinsip ekonomi sirkular seiring dengan berjalannya program MBG. Misalnya, sekolah didorong untuk memilah sampah makanan menjadi sampah plastik dan organik. Sampah organik kemudian dijadikan pupuk, sedangkan sampah kemasan bisa didaur ulang atau disalurkan ke bank sampah.
Inisiatif ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang mendorong agar pengelolaan sampah di dapur MBG berjalan seiring dengan edukasi konsumsi berkelanjutan di sekolah.
Dalam beberapa kunjungan lapangan, pihak KemenLH menekankan pentingnya integrasi antara pemenuhan gizi dan sistem pengolahan sampah yang rapi. Pendekatan seperti ini dinilai penting untuk diperluas ke lebih banyak daerah agar manfaat MBG bukan hanya terasa di meja makan, tetapi juga pada kualitas lingkungan sekitar.
Dengan cara seperti ini, sisa makanan MBG tidak lagi dianggap sebagai “beban sampah”, melainkan aset yang bisa memberi nilai ekonomi dan membantu menjaga lingkungan.
Penerapan konsep tersebut juga mulai tampak jelas di lapangan melalui berbagai inisiatif komunitas yang bergerak mengelola sampah MBG secara mandiri dan berkelanjutan. Salah satunya adalah Krapyak Peduli Sampah.
Direktur Krapyak Peduli Sampah, Andika Muhammad Nur, menjelaskan bahwa dapur MBG yang mereka kelola berhasil menekan timbunan sampah melalui sistem Pilah, Olah, Berkah.
“Kami berhasil menurunkan jumlah sampah dari sekitar dua ton menjadi hanya 100 kilogram per hari,” ujar Andika.
Ia menerangkan bahwa pendekatan sirkular tersebut memungkinkan limbah organik diolah menjadi biogas, pelet pakan ikan, hingga pupuk organik. Proses itu bahkan menghasilkan omzet hingga Rp10 juta per bulan, sekaligus membangun budaya pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab.
Andika juga menekankan pentingnya pemetaan sisa makanan atau food mapping untuk menekan food waste, mengingat limbah makanan berdampak langsung pada kualitas air, tanah, dan udara.
“Prinsip kami adalah tidak ada makanan yang sia-sia. Apa yang tidak bisa dimakan manusia, bisa menjadi energi bagi bumi,” ucap Andika.
Penerapan ini terlihat di Pondok Pesantren Krapyak yang memegang prinsip “Sampah Hari Ini Selesai Hari Ini”. Setiap sisa makanan dari dapur dan kantin langsung dipilah dan diproses melalui fermentasi anaerob, menghasilkan pupuk organik dan gas metana yang dimanfaatkan kembali untuk memasak.
Peluang MBG dalam menggerakkan ekonomi lokal lewat rantai suplai bahan pangan dan pengolahan lokal juga turut melibatkan petani, UMKM komunitas daur ulang, dan sekolah atau masyarakat lokal dalam pengolahan sampah. Dengan begitu, setiap piring makan yang sampai di meja siswa dapat turut menggerakkan ekonomi setempat.
Di sisi lain, masih ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan. Tanpa sistem pemilahan sampah yang tepat, fasilitas pengolahan, dan edukasi yang merata, volume sampah dari MBG bisa membengkak dan memberi beban baru bagi lingkungan.
Karenanya, pengelolaan limbah yang tepat menjadi kunci utama agar setiap sisa makanan bisa kembali memberi manfaat dan ekonomi lokal ikut bergerak.
Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, komunitas, dan lembaga riset diperlukan untuk memastikan bahwa manfaat MBG benar-benar optimal, baik untuk anak-anak maupun bumi.
Dengan tata kelola yang baik dan pendekatan berkelanjutan, MBG bisa menjadi gerakan nasional yang menyatukan gizi anak, ekonomi masyarakat lokal, dan keberlanjutan lingkungan dalam satu ekosistem yang saling menguatkan.
Baca juga: Tak Hanya Berakhir di Tempat Sampah, Limbah MBG Disulap Jadi Pakan Ternak dan Pupuk