SURYA.CO.ID, SURABAYA - Perkembangan pesat teknologi digital seperti Artificial Intelligence (AI), big data dan Internet of Things dinilai membawa ancaman baru berupa "penjajahan digital" jika tidak dikendalikan dengan etika dan keadilan sosial.
Teknologi yang seharusnya memanusiakan manusia, justru berpotensi mengikis otonomi dan empati jika dijalankan tanpa refleksi kritis.
Peringatan tersebut, disampaikan Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Supangat Ph.D., saat menanggapi arah penerapan konsep Society 5.0 di tengah masyarakat.
Menurut Supangat, teknologi tidak bisa dipandang sebagai alat netral yang otomatis membawa kebaikan.
“Teknologi itu bukan sekadar canggih. Cara ia dirancang dan digunakan akan menentukan apakah ia membebaskan manusia, atau justru menciptakan bentuk penjajahan baru yang lebih halus dan sistematis,” ujar Supangat.
Ia menilai, peran teknologi saat ini telah bergeser dari sekadar alat bantu, menjadi sistem yang ikut mengatur kehidupan manusia.
Berbagai keputusan penting kini ditentukan oleh algoritma, mulai dari penyaluran bantuan sosial, akses layanan publik hingga peluang kerja.
“Keputusan berbasis algoritma, sering kali mengabaikan konteks sosial dan kemanusiaan yang tidak bisa sepenuhnya diterjemahkan menjadi data,” jelasnya.
Menurut Supangat, efisiensi memang meningkat, namun manusia berisiko direduksi menjadi angka, skor dan prediksi.
Supangat menyebut, kondisi tersebut sebagai paradoks dalam konsep Society 5.0. Teknologi yang dijanjikan untuk memanusiakan manusia, tapi justru berpotensi mengikis empati, diskresi, dan keadilan substantif.
Ia menegaskan, tanpa pengawasan kritis, transformasi digital bisa mengarah pada sistem yang kaku dan tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Selain persoalan etika, Supangat juga menyoroti ketimpangan digital di Indonesia. Akses internet, literasi teknologi dan kesiapan infrastruktur yang belum merata membuat manfaat transformasi digital belum dirasakan secara adil.
“Tanpa kebijakan yang inklusif, teknologi justru memperlebar jurang sosial. Kelompok yang siap secara digital akan melaju cepat, sementara kelompok rentan tertinggal,” paparnya.
Supangat juga mengingatkan bahaya orientasi berlebihan pada efisiensi dan kecepatan. Ketika algoritma dijadikan tolok ukur utama pengambilan keputusan, pertimbangan moral dan kemanusiaan berisiko tersingkir.
“Kita bisa menciptakan masyarakat yang cerdas secara teknis, tetapi kehilangan kepekaan sosial. Jika itu terjadi, teknologi berubah menjadi penjajah baru,” tegasnya.
Meski demikian, Supangat menekankan bahwa teknologi pada dasarnya bukan ancaman. Potensinya sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan, pendidikan dan kualitas layanan publik.
Namun, ia menilai perguruan tinggi memiliki peran strategis untuk memastikan teknologi tetap berpihak pada manusia.
“Kampus tidak cukup hanya mencetak talenta digital, tetapi juga membangun kesadaran etis dan kritis terhadap dampak sosial teknologi,” pungkas Supangat.