MK Minta APH Lebih Hati-hati Terapkan Unsur Kerugian Negara di Kasus Korupsi
December 18, 2025 08:31 AM

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengingatkan aparat penegak hukum (APH) agar lebih cermat dan berhati-hati menerapkan unsur kerugian negara pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam penanganan perkara korupsi.

Peringatan tersebut disampaikan MK dalam Putusan Nomor 142/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh sejumlah pihak, yakni:

Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia periode 2016–2017 Syahril Japarin, Mantan Pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari, serta Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Dalam putusannya, MK menolak permohonan mereka yang meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.

“Mahkamah penting untuk mengingatkan supaya aparat penegak hukum lebih cermat dan lebih hati-hati dalam melakukan tindakan hukum terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan di ruang sidang MK, Rabu (17/12/2025). 

MK menyoroti perlunya APH memperhatikan penerapan prinsip business judgement rule, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan kebijakan atau keputusan bisnis.

“Termasuk dalam hal ini penerapan prinsip business judgement rule yang beririsan dengan penilaian iktikad baik yang berimpitan dengan hubungan hukum keperdataan,” jelas Guntur. 

Baca juga: Jaksa Ungkap Kerugian Negara Akibat Korupsi Chromebook Kemendikbud Rp 2,1 Triliun, Ini Rinciannya

Menurut Mahkamah, ketelitian tersebut diperlukan oleh Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kepolisian untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum.

“Untuk menghindari terjadinya penerapan hukum yang tidak berkepastian dan berkeadilan dalam menyeimbangkan antara hak pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Guntur.

Dalam putusan yang sama, MK juga meminta Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembentuk undang-undang untuk mengkaji ulang UU Tipikor. 

Salah satu yang perlu dikaji ialah norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor serta memprioritaskan revisinya.

Baca juga: Ahli BPK: Kerugian Negara di Kasus Korupsi Jual Beli Gas 15 Juta Dolar AS

Selain itu, MK menekankan perlunya perumusan sanksi pidana dalam UU Tipikor dengan kepastian hukum yang lebih jelas guna meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan. 

Mahkamah juga menegaskan bahwa proses revisi UU Tipikor harus melibatkan partisipasi publik.

“Revisi atau perbaikan dimaksud melibatkan partisipasi semua kalangan yang concen atas agenda pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerapkan prinsip partisipasi publik bermakna (meaningful participation),” tegas Guntur. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.