Nilai Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Mudah tapi Rumit, Pengamat Politik Sebut Kekuatan 60:40
December 18, 2025 10:30 AM

 

SURYA.CO.ID - Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya mudah tapi rumit. 

Menurut Adi Prayitno rumitnya kasus ii karena masalah politik dan hukum bercamppur baur.

"Ini kawin silang yang saya kira tidak berkesudahan," kata Adi dikutip dari tayangan Hot Room Metro TV pada Rabu (17/12/2025). 

Adi lalu membeber empat tahapan yang bisa membuat masalah ini bisa tuntas.

Tahapan pertama sudah dilakuka Universitas Gajah Mada (UGM) yang menyebut bahwa Jokowi lulusannya, alumnus Fakultas Kehutanan.

Baca juga: Usai Diskakmat Ahli Forensik Dokumen, Guru Besar UNJ Kritik Polda Metro Baru Tunjukkan Ijazah Jokowi

"Tapi kan tidak dipercaya. Mestinya kalau memang UGM itu tidak dipercaya, gugat juga dong UGM-nya. Tunjukkan bukti-buktinya yang valid dan solid," katanya. 

Karena tidak percaya, maka tahap kedua yang mestinya cukup selesai adalah Jokowi sendiri.

"Pak Jokowi tinggal menunjukkan ijazah aslinya. Selesai. Normalnya begitu. Tapi Pak Jokowi tidak mau menunjukkan dokumennya karena menganggap itu dokumen pribadi dan hanya ingin tunjukkan di pengadilan. Ini yang rumit," katanya. 

Karena belum tuntas, akhirnya masuk ke tahap ketiga, yakni pengadilan.

"Sekarang sudah ada tersangka terkait ijazah ini. Maka satu-satunya pembuktian adalah jalur hukum. Tinggal nanti diadu data dan fakta antara pengacara Roy Suryo dan pengacara Pak Jokowi," katanya. 

Kalau ini terus gaduh, maka, menurut Adi ada langkah keempat yakni amnesti atau abolisi dari Presiden. 

"Seperti yang sudah-sudah karena untuk menyelesaikan persoalan ini, menghentikan kegaduhan,"katanya. 

Menurut Adi, melihat kasus sebelumnya amnesti dan abolisi alasannya untuk rekonsiliasi dan politis, serta menghentikan suasana kegaduhan dan kontroversi. 

Namum, lanjutnya, itu paling ujung karena yang paling ditunggu oleh publik itu adalah soal siapa yang sebenarnya paling kuat antara kubu Roy Suryo atau Pak Jokowi terkait dengan adu ijazah. 

Adi Prayitno melihat kecenderungan publik saat ini menginginkan untuk tidak ada perdamaian atau islah dan berharap ada yang kalah dan menang. 

Ditanya tentang prediksi siapa yang akan memenangkan pertempuran ini. Adi menyebut fifty-fifty.

"Itu artinya 60:40 versi Madura, Bang," ujar Adi Prayitno sambil tertawa. 

Analisis Mahfud MD

Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan bahwa polemik tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme gelar perkara di kepolisian.

Menurutnya, kepastian hukum soal keaslian dokumen hanya dapat ditentukan melalui proses persidangan di pengadilan.

Mahfud menekankan bahwa kewenangan menyatakan suatu ijazah asli atau palsu berada sepenuhnya di tangan hakim, melalui pembuktian yang terbuka, objektif, dan dapat diuji oleh semua pihak.

Ia mengingatkan bahwa gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri, menyusul laporan dari kelompok aktivis ulama.

Saat itu, kepolisian memutuskan tidak melanjutkan laporan karena dokumen yang diperiksa dinilai “identik”.

Namun, Mahfud menilai kesimpulan tersebut tidak menyelesaikan persoalan secara hukum.

“Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.

Mahfud menyebut, gelar perkara khusus yang kini digelar di Polda Metro Jaya sah dilakukan.

Meski begitu, apa pun hasilnya tidak serta-merta menutup peluang perkara untuk berlanjut ke tahap hukum berikutnya.

Menurutnya, penilaian akhir tetap harus dilakukan melalui persidangan dengan mekanisme pembuktian yang transparan dan adil.

Mahfud kemudian menguraikan dua jalur penyelesaian yang dinilainya paling proporsional.

Pertama, setelah berkas perkara dilimpahkan, jaksa penuntut umum memiliki kewenangan untuk menilai kelengkapan alat bukti.

Apabila dinilai belum memenuhi syarat, jaksa dapat mengembalikan berkas perkara melalui mekanisme P19, meminta penyidik melengkapi kekurangan, bahkan menghentikan perkara jika bukti dianggap tidak mencukupi.

Baca juga: Rekam Jejak Doktor Hukum UI yang Sebut Masalah Tak Selesai Meski Ijazah Jokowi Ditunjukkan

Kedua, jika jaksa memutuskan membawa perkara ke pengadilan, hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.

“Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.

Mahfud juga menyoroti kekeliruan dalam memahami beban pembuktian hukum pidana. Ia menegaskan bahwa pembuktian tidak selalu dibebankan pada satu pihak saja.

Menurutnya, apabila seseorang dituduh memfitnah karena menyebut ijazah palsu, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen tersebut harus ditunjukkan.

“Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.

Dalam konteks pasal-pasal yang digunakan, Mahfud mengkritisi penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Ia menekankan bahwa seluruh unsur pidana harus dibuktikan secara ketat dan tidak boleh ditafsirkan sembarangan.

“Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.

Mahfud mengingatkan bahwa penegakan hukum yang dipaksakan justru berpotensi melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum itu sendiri.

Ia menilai perkara ini memiliki dampak besar karena menyangkut masa depan praktik penegakan hukum di Indonesia.

Baca juga: Ancang-ancang Kubu Roy Suryo Cs Hadapi Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi: Sudah Menyiapkan

Terkait keterlibatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud menilai peran kampus tersebut sudah cukup jelas. UGM telah menyatakan bahwa Jokowi merupakan alumninya dan ijazah tersebut diterbitkan oleh institusi tersebut.

“UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.

Mahfud menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya keberanian negara dalam menjunjung proses peradilan yang jujur dan terbuka.

Jika tuduhan terbukti keliru, pihak yang menuduh harus siap menghadapi konsekuensi hukum.

Sebaliknya, negara juga berkewajiban membuktikan setiap tuduhan secara sah dan meyakinkan.

“Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.

Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi

(kiri ke kanan) Dokter Tifa. Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Ahmad Khozinnudin
(kiri ke kanan) Dokter Tifa. Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Ahmad Khozinnudin (Kolase tangkap layar Kompas TV/Kompas.com/Fristin Intan Sulistyowati/Youtube Abraham Samad)

Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

Para tersangka dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan.

Klaster pertama terdiri atas lima tersangka, yakni: 

  • Eggi Sudjana
  • Kurnia Tri Rohyani
  • M. Rizal Fadillah
  • Rustam Effendi
  • Damai Hari Lubis 

Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka, yakni: 

  • Roy Suryo
  • Rismon Sianipar (Ahli digital forensik)
  • Tifauziah Tyassuma (dr. Tifa)

Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.

Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh organisasi Pemuda Patriot Nusantara pada April 2025, diikuti dengan laporan Jokowi dan sejumlah pihak. 

Di sisi lain, gugatan perdata terkait ijazah di Pengadilan Negeri Solo dan Jakarta Pusat telah dinyatakan gugur atau tidak diterima karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, yang dinilai lebih tepat masuk ranah pidana atau Tata Usaha Negara.

Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah mengonfirmasi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.