TRIBUN-BALI.COM - Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait tanah di Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung disertifikatkan, pada Kamis (18/12).
RDP yang berlangsung di Ruang Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Bali ini sempat memanas.
Bahkan, Pansus TRAP meminta perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung meninggalkan ruang rapat karena dinilai tidak mampu mengambil keputusan, meskipun masyarakat telah memiliki bukti kepemilikan yang kuat.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha menegaskan, bahwa hak-hak masyarakat atas tanah tersebut sudah sangat jelas. Menurutnya, warga telah memiliki bukti lengkap.
Baca juga: BIANG Kerok Banjir, Drainase Jalan & Saluran Irigasi Harus Pisah, Akademisi Soroti Proyek Drainase!
Baca juga: CUACA Buruk Hujan Deras & Awan Gelap, Pelabuhan Gilimanuk Ditutup 18 Menit!
Mulai dari pembayaran pajak, pipil, persil, hingga penguasaan fisik lahan yang telah berlangsung lintas generasi. Sementara itu, pihak lain yang mengklaim tanah tersebut tidak mampu menunjukkan bukti yang sah.
“Bola sebenarnya ada di BPN (Badung). Sejak awal kami mengundang BPN agar bisa mengambil keputusan. Fakta di lapangan dan bukti administrasi masyarakat sudah jelas, sementara pihak lain tidak bisa menunjukkan atas hak,” jelas Supartha.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini menambahkan, laporan masyarakat terkait persoalan ini telah berlarut-larut selama bertahun-tahun tanpa kepastian. Padahal, menurutnya, permasalahan tersebut tergolong sederhana karena bukti kepemilikan berada di tangan warga.
“Warga sudah berkali-kali meminta keadilan. Ini tinggal kewajiban BPN untuk mengeksekusi dan menerbitkan sertifikat. Namun dalam rapat, BPN tidak memiliki parameter untuk mendalami lebih lanjut dan hanya berpegang pada satu surat Keputusan,” ungkapnya.
Supartha juga menyayangkan sikap perwakilan BPN Badung yang hadir dalam rapat karena dinilai tidak mampu menjelaskan tugas dan kewenangannya sebagai lembaga negara. Oleh karena itu, Pansus TRAP secara tegas meminta perwakilan BPN Badung meninggalkan ruang rapat.
“Rapat sudah panjang lebar, tinggal keputusan di BPN. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan segala hormat, kami minta perwakilan BPN meninggalkan ruang rapat,” tegasnya.
Meski demikian, Pansus TRAP berencana kembali memanggil BPN Badung untuk dimintai penjelasan lanjutan. Supartha juga meminta Kepala BPN Provinsi Bali dan BPN Badung melakukan evaluasi terhadap kinerja bawahannya agar persoalan ini tidak berlarut dan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Kami harap diselesaikan secara internal terlebih dahulu, sebelum kami merekomendasikan evaluasi ke tingkat pusat. Banyak juga keluhan masyarakat terkait pelayanan BPN, termasuk terbitnya sertifikat yang dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum warga, Inspektur Jenderal Polisi (Purn) I Wayan Sukwinaya, mengungkapkan bahwa proses pengajuan sertifikat tanah tersebut telah berlangsung sejak tahun 2002.
Seluruh persyaratan administrasi dan alas hak telah dipenuhi, dan permohonan sempat berjalan hingga kemudian terhambat oleh terbitnya surat dari Pemerintah Kabupaten Badung yang mengklaim lahan tersebut sebagai aset daerah.
“Perjalanan ini sangat panjang, dari tahun 2002 sampai sekarang. BPN tidak memproses permohonan kami dengan alasan adanya SK Bupati Badung. Padahal sudah jelas terungkap bahwa Pemda tidak memiliki atas hak atas tanah tersebut,” jelas Sukwinaya.
Ia menegaskan, DPRD Bali maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung telah mengakui tidak adanya dasar hukum atas klaim aset daerah tersebut.
Tanah yang disengketakan seluas 13 are itu merupakan kelanjutan dari bidang tanah yang sebelumnya telah diterbitkan SHM atau Sertifikat Hak Milik. (sar)