Hanya dalam waktu sehari, tepatnya 27 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan Tsunami Aceh 2004 sebagai Bencana Nasional.
---
Intisari hadir di whatsapp channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Banjir bandang yang menerjang Aceh, Sumatera Utar, dan Sumatera Barat akhir November 2025 lalu mengingatkan kita pada bencana tsunami Aceh 2004 lalu. Bedanya, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menetapkan bencana itu sebagia Bencana Nasional.
Apa alasannya, baru-baru beredar video yang isinya ceria SBY menetapkan Tsunami Aceh 2004 sebagai Bencana Nasional.
“Malam hari itu (26 Desember 2004) saya masih sempat berkomunikasi dengan Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla. ‘Pak Jusuf, bapak datang duluan ke Banda Aceh, saya masih di Jayapura. Saya hitung-hitung butuh waktu 6, 7, sampai 8 jam – untuk sampai Aceh. Saya akan langsung ke Lhokseumawe yang bagian utara dan timur, Pak JK langsung ke sana.’ Kami bagi tugas seperti itu. Malam harinya (27 Desember) di Lhokseumawe, yang tidak terlalu besar sebetulnya dampaknya bagi masyarakat, tapi saya sudah bisa membayangkan bagaimana Aceh, bagaimana Melaboh, bagaimana Tapaktuan, dan sebagainya.
So malam hari itu di hadapan Pangdam (Bukit Barisan) kemudian Gubernur dan pejabat yang lain, saya katakan, ini serius dan saya tetapkan sebagai Bencan Nasional. Saya harus menjalankan menejemen krisis yang saya pimpin sendiri. 28 Desember saya betul betul sudah sampai di Banda Aceh, saya melakukan tour, i was so shock melihat semuanya, Ibu Ani (Yudhoyono) menangis sepanjang perjalanan karena melihat jenazah yang berada di mana-mana, bergelempangan, ribuan. (Banda Aceh) lumpuh total, flat.
Namanya Banda Aceh itu no infrastrucutre, pemerintah daerah juga betul-betul tidak berfungsi. Itulh situasi yang shocking for me dan saya kira juga bagi semua … di situ kami lakukan rapat darurat pertama kemudian keputusan yang saya ambil, saya mengeluarkan keputusan dan direktif yang pertama sebagai Presiden di Aceh dalam suasana yang tidak menentu waktu itu.
Keputusan pertama, my direction is save more live, utamakan search and resque opeartion dilakukan tidak boleh putus, medical treatment, masih ada saudara kita yang bisa diselamatkan dengan medical treatment yang cepat dan kemudian memastikan yang ada di pengungsian yang tersebar di mana-mana itu ada makanan ada minuman, so logistic operation menjadi sangat penting meskipun keadaannya belum kondusif benar.
Tapi itulah first thing first. Kemudian nomor dua, memobilisasi resources. Aceh lumpuh. Oleh karena itu, Gubernur Sumatera Utara almarhum Tengku Rizal Nurdin bersama saya memobilisasi dukungan dari Sumatera Utara. Kita gunakan alat komunikasi TNI, dari intel, dari polisi … itulah yang bisa kita lakukan untuk memastikan masih ada komunikasi dan langkah-langkah pengambilan keputusan yang cepat.”
Jusuf Kalla juga punya ceritanya sendiri ketika mendapat informasi bencana yang melanda Aceh pada 2004 itu. Setelah mendapat kabar itu, JK meminta Menteri Komunikasi dan Informasi saat itu, Sofyan Djalil, untuk segera berangkat ke Aceh. “Pakai pesawat saya,” kata JK saat itu, sebagaimana dikutip dari video reels kanal IG Pinterpolitik, 18 Desember 2025.
Sesampainya di Aceh, Sofyan, sambil menangis, langsung memberikan laporan kepada JK. Dia bilang, korban jiwa kemungkinan mencapai 50 ribu orang. Setelah mendengar itu, Wakil Presiden langsung mengumpulkan beberapa menteri, meminta agar obat-obatan segera dikirim ke Aceh, serta disiapkan dana untuk kebutuhan makanan warga Aceh.
Lalu ada pejabat Kemenkes yang bilang bahwa waktu sudah malam dan semua gudang penyimpanan obat sudah dikunci dan mereka tak tahu alamat yang memegang kuncinya. Mendengar itu, JK sontak marah, konon dia langsung menggebrak meja.
“Sekarang berikan alamat gudang-gudang penyimpanan itu, tidak usah mencari yang pegang gembok. Ambil pistol dan tembak gembok itu. Keluarkan uang malam ini dan bawa besok pagi-pagi ke Medan di sana saudara beli mei dan langsung bawa ke Aceh. Saya adalah Wapres dan saudara adalah pegawai negeri. Saudara jalankan perintah ini, saya yang bertanggung jawab atas segala persoalan yang akan datang. Kalau saudara menolak, letakkan jabatan saudara sekarang juga.”
Begitulah, Jusuf Kalla sendiri terbang ke Aceh pada Senin, 27 Desember 2004, pagi.
Tsunami Aceh 2004 adalah cerita tentang bencana yang begitu dahsyat. Tapi ia juga cerita tentang kemanusiaan, persaudaraan, dan solidaritas. Dalam waktu 72 jam setelah bencana, dilaporkan bahwa lebih dari 50 negara sudah mengumumkan komitmennya untuk membancu Aceh. Jumlah itu meningkat menjadi lebih dari 100 negara dalam dua minggu, sebagaimana dilansir kanal IG Himayah Foundation dalam reels-nya, 16 Desember 2025.
Global Humanitarian Assistance dalam laporannya pada 2006 menyebutkan, bencana ini memicu total komitmen bantuan internasional hingga 14 miliar dolar AS yang menjadikannya salah satu respon kemanusiaan terbesar sepanjang masa.
AS sendiri mengirimkan kapal induk USS Abraham Lincoln ke perairan Aceh untuk membantu evakuasi medis dan distribusi logistik udara. Sementara Australia mengerahkan lebih dari 1000 personel militer dan bantuan senilai satu miliar dolar AS. Tak ketinggalan Jepang, Jerman, Kanada, Uni Eropa, dan lain sebagainya. Negara-negara Timur Tengah mengirimkan Tim SAR, logistik, helikopter, kapal, hingga tenaga medis. Dan yang paling mengubah situasi adalah masuknya lembaga-lembaga global seperti UNICEF, UN-OCHA, WHO, WFP, UNHCR, dan ratusan NGO internasional.
Dalam laporan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) tahun 2009, Aceh menerima lebih dari 470 organisasi asing yang terlibat langsung dalam operasi kemanusiaan dan rekonstruksi. Skala ini tidak pernah pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia.
Operasi darurat ini mencakup berbagai langkah besar yang digerakkan secara simultan dan sebuah jembatan udara kemanusiaan internsional dibuka menjadikan Bandara Sultan Iskandar Muda menjadi bandara tersibuk di Asia dalam kurun waktu dua bulan.
Word Food Program pun mulai mendistribusikan makanan kepada lebih dari 500 ribu penyintas pada hari ke-10 bencana, mereka memastikan kebutuhan dasar tetap terpenuhi di tengah kekacauan dan diikuti dengan upaya pembangunan hunian darurat yang dilakukan secara massif dengan lebih dari 100 ribu unit rumah sementara dibangun dalam tahun pertama pascabencana.
Tak lupa, pelayanan kesehatan juga dilakukan secara massif, termasuk vaksinasi dan pencegahan luka terbuka yang biasa dialami warga terdampak bencana.
Tentang Tsunami Aceh 2004
Tsunami Aceh 2004 merupakan salah satu bencana alam terburuk dan besar di Indonesia. Bencana ini menelan korban hingga ratusan ribu jiwa, terjadi setelah Aceh lebih dulu terkena gempa berkekuatan 9,2 SR pada Minggu, 26 Desember 2004, pagi. Tak ada yang mengira, setelah itu datang gelombang laut besar setinggi 30 meter.
Tsunami Aceh terjadi pada hari Minggu, 26 Desember 2004 silam. Sekitar pukul 07.50 WIB, kawasan Aceh bagian barat dan sekitarnya merasakan guncangan gempa sebesar 9,1 hingga 9,3 SR berpusat di 20-25 kilometer barat daya Sumatera. Tidak berselang lama, warga di pesisir pantai melihat air laut menjadi surut dan garis pantai mundur hingga ratusan meter.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba datang gelombang besar setinggi kurang lebih 30 meter yang menyapu pantai barat Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Diperkirakan gelombang tsunami ini menyapu bersih daratan dengan kecepatan mencapai 800 km per jam.
Hanya dalam waktu tujuh menit, kota-kota di pesisir barat Aceh sudah dipenuhi dengan puing-puing bangunan dan mayat dalam kondisi tragis. Dilaporkan sekitar 132.000 jiwa meninggal dunia dan 37.000 orang dinyatakan hilang.
27 Desember 2004, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa tsunami Aceh merupakan bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sementara itu, pada 31 Desember 2004, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang terdampak tsunami paling parah.
Saking besarnya guncangan di Aceh, gempa juga menimbulkan tsunami di beberapa negara lainnya, seperti Sri Lanka, Thailand, dan India.
Diperkirakan tsunami besar yang menghantam kota Aceh disebabkan oleh gempa besar yang terjadi di perairan barat Aceh, Nicobar, dan Andaman. Gempa ini terjadi akibat adanya interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Guncangan gempa pada saat itu sebesar 9,1 hingga 9,3 SR yang berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 meter sehingga tergolong gempa dangkal. Menurut ahli, gempa yang terjadi saat itu dapat menimbulkan tsunami karena adanya pergeseran batuan secara tiba-tiba.
Itulah yang kemudian memicu terjadinya gempa yang disertai dengan lentingan batuan di bawah pulau dan dasar laut. Akibatnya, permukaan air laut menurun ke arah palung dan menimbulkan terjadinya gelombang laut besar yang disebut tsunami.
Sepanjang tahun 2005-2009, proses rekonstruksi dan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kembali kondisi Kota Aceh. Pada masa itu, banyak rumah bantuan didirikan, termasuk berbagai infrastruktur dan fasilitas umum.