Bupati Jayapura Yunus Wonda: Saya Tak Akan Teken Izin Sawit Tanpa Persetujuan Masyarakat Adat
December 19, 2025 07:29 PM

 

Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita

TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas ekspansi perkebunan sawit di Tanah Papua memicu reaksi beragam dari tingkat daerah hingga aktivis lingkungan.

Bupati Jayapura, Yunus Wonda, menegaskan kedaulatan penuh atas pembukaan lahan di Kabupaten Jayapura berada di tangan masyarakat adat.

Menanggapi hasil pertemuan para kepala daerah se-Tanah Papua bersama Presiden Prabowo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025), Yunus menyatakan tidak akan menandatangani izin operasional apa pun jika pemilik hak ulayat menyatakan penolakan. 

Baginya, investasi seperti sawit dan tambang harus berangkat dari kesepakatan murni masyarakat, bukan sekadar instruksi pusat yang mengabaikan suara akar rumput.

"Kalau masyarakat adat setuju, saya akan ikut. Itu prinsip saya, saya sudah putuskan, selama masyarakat bilang kami mau tambang, sawit, saya dukung pasti saya akan buat persetujuan."

"Tapi kalau masyarkaat tidak setuju. Saya tidak tandatangan," kata Yunus usai melepas bantuan natura di halaman kantor bupati, Sentani, Jumat (19/12/2025).

Baca juga: Dewan Adat-Aktivis Lingkungan Kecam Rencana Prabowo Perluas Sawit di Papua: Berkaca dari Sumatera

Yunus Wonda turut menyoroti sengkarut perizinan tambang di wilayahnya yang dinilai masih jauh dari kata tertib.

Dari 11 perusahaan tambang yang beroperasi di Bumi Khenambay Umbai, data BPK menunjukkan hanya tiga perusahaan yang mengantongi izin resmi pemerintah.

"Data kami dari BPK yang punya izin hanya 3 saja, satu perusahaan yang di bawah cagar alam sehingga harus keluar dari situ," bebernya.

Bahkan, satu di antaranya kedapatan beroperasi di kawasan Cagar Alam Cycloop sehingga diperintahkan untuk segera angkat kaki.

Bupati menegaskan, kekayaan alam Papua seharusnya dinikmati oleh masyarakat lokal, bukan sekadar "dijaga" sementara pihak asing datang mengeruk keuntungan secara ilegal tanpa memberikan kesejahteraan nyata bagi pemilik tanah.

Masyarakat seharusnya secara penuh berdaulat atas hak kepemilikan ataupun pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kaya di wilayah tersebut.

"Tuhan kasih untuk dinikmati, bukan jaga-jaga terus, kita jaga, orang lain datang ambil. Nanti kita tinggal berteriak kalau diambil, [tetapi] selama masyarakat adat setuju saya ikut [beri izin]," ujarnya.

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menyuarakan alarm bahaya atas ambisi pemerintah dalam proyek swasembada pangan dan energi ini.

Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki, menilai kebijakan monokultur skala besar seperti sawit dan tebu merupakan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan lokal masyarakat Papua.

Suasana sambutan Direktur WALHI Papua, Maikel Primus Peuki, saat membuka Kegiatan Semiloka Pengarustamaan Perubahaan Iklim Bagi Generasi Muda Papua
Direktur WALHI Papua, Maikel Primus Peuki, saat membuka Kegiatan Semiloka Pengarustamaan Perubahaan Iklim Bagi Generasi Muda Papua (Tribun-Papua.com/Stella Lauw)

WALHI mengkritik keras kebijakan pemerintah pusat yang dianggap sering memandang hutan Papua sebagai lahan kosong, padahal terdapat hak-hak adat yang melekat erat di sana.

Proyek ini dikhawatirkan hanya akan memperkuat dominasi korporasi ketimbang memberdayakan kearifan lokal.

Baca juga: WALHI Papua Kritik Model Pembangunan ala Prabowo dan Komersialisasi Hutan Adat di Tanah Papua

Kebijakan tersebut dinilai sebagai ancaman terhadap hak adat masyarakat Papua, kelestarian hutan adat, ketahanan pangan lokal, dan keberlanjutan lingkungan

Presiden Prabowo dinilai mengabaikan Otonomi Khusus (Otsus) dan Pemerintahan Khusus dengan kewenangan tersendiri menghormati Tanah Papua bukan tanah kosong. Ada pemilik adat yang berhak atas tanah dan hutan adat.  

Hamparan sawit di kebun kelapa sawit Cendrawasih  Estate, Sinar Mas Region Papua di Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, Papua. Seorang pekerja kebun sawit sedang duduk sejenak.
Hamparan sawit di kebun kelapa sawit Cendrawasih Estate, Sinar Mas Region Papua di Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, Papua. Seorang pekerja kebun sawit sedang duduk sejenak. (Tribun-Papua.com/Putri Nurjannah Kurita)

Pemerintah pusat dan daerah belum melibatkan masyarakat adat secara bebas dan informatif (Free, Prior, and Informed Consent / FPIC) sebelum mengambil keputusan.

Kebijakan ini dapat memicu konflik agraria, mempercepat kerusakan hutan, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang selama ini bertumpu pada sagu, dan hasil hutan lainnya. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.