– Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap oknum jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, Redy Zulkarnain (RZ), pada Rabu (17/12/2025), mengungkap fakta ironis.

Penangkapan tersebut bukan terjadi saat transaksi suap berlangsung, melainkan justru saat pengembalian uang hasil dugaan pemerasan yang sebelumnya lolos dari jerat pidana internal kejaksaan.

Dalam operasi senyap itu, KPK mengamankan barang bukti uang tunai sekitar Rp900 juta.

Uang tersebut diketahui merupakan dana yang dikembalikan oleh para pelaku kepada korban, setelah kasus dugaan pemerasan ini hanya berujung pada sanksi etik di lingkungan kejaksaan tanpa proses hukum pidana lebih lanjut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, praktik pemerasan yang diduga dilakukan Redy bersama pengacara Didik Feriyanto (DDK) dan penerjemah Maria Siska (MS) terhadap warga negara asing (WNA) asal Korea Selatan, Chihoon Lee, sebenarnya telah terendus sejak lama.

Nilai pemerasan disinyalir mencapai total Rp2,4 miliar, terkait penanganan perkara pencurian data di Pengadilan Negeri Tangerang.

Sebelum OTT KPK, kasus tersebut sempat ditangani oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (JAM Intel) Kejaksaan Agung (Kejagung).

Namun, penanganan internal itu hanya menjatuhkan sanksi etik atau disiplin kepada Redy dan pihak terkait, tanpa memproses dugaan tindak pidana pemerasan secara hukum.

Merasa perkara telah selesai di ranah etik, para pelaku kemudian berniat mengembalikan sisa uang hasil pemerasan sebesar Rp900 juta kepada korban.

Momen pengembalian uang inilah yang menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan penindakan.

“Terus kok uangnya dikembalikan? Seharusnya uang itu tidak dikembalikan, untuk dijadikan barbuk (barang bukti). Makanya ditangkap KPK, kena OTT. Itu sebabnya barang buktinya sekitar Rp900 juta,” ungkap sumber yang dikutip pada Jumat (19/12/2025).

(*)

# Kejaksaan Tinggi # jaksa # Redy Zulkarnain # KPK # OTT