Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Jenderal Louis
TRIBUNAMBON.COM - Komisariat Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Ambon menggelar kegiatan Live In di Negeri Lohia Sapalewa, Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Kegiatan yang digelar sejak 10 Desember hingga 17 Desember 2025 ini bukan sekadar agenda pengabdian, melainkan juga potret nyata ketimpangan pembangunan yang masih dirasakan masyarakat di wilayah pegunungan Pulau Seram.
Lohia Sapalewa merupakan negeri yang hingga kini masih bergulat dengan keterbatasan infrastruktur jalan dan akses jaringan komunikasi.
Untuk menjangkau lokasi kegiatan, rombongan GMKI harus menempuh perjalanan laut selama kurang lebih dua jam dari Pelabuhan Hunimua, Liang menuju Pelabuhan Waipirit.
Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui jalur darat sekitar enam jam dengan kondisi jalan rusak, sempit, dan sebagian besar belum beraspal.
Pada beberapa titik, kendaraan tidak dapat melintas sehingga peserta harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Tantangan semakin berat ketika rombongan harus menuruni jalur terjal menuju kaki gunung di kawasan pertemuan aliran Kali Papa dan Air Sapalewa.
Dari titik tersebut, akses menuju negeri hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih tiga kilometer melalui jalur tanah licin yang minim pengaman.
Baca juga: Pengamanan Nataru, Polres Malteng Gelar Apel Pasukan Operasi Lilin Salawaku 2025
Baca juga: 302 Hari, Hendrik Lewerissa Jabat Gubernur Maluku, Apa Saja Kisahnya dalam 41 Menit
Kondisi ini bukan sekadar tantangan sesaat bagi peserta Live In, melainkan realitas harian yang dihadapi masyarakat Lohia Sapalewa.
Keterbatasan infrastruktur berdampak langsung pada akses layanan dasar.
Warga harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapai pusat kecamatan, layanan kesehatan, pendidikan, hingga aktivitas ekonomi.
Di sisi lain, jaringan telekomunikasi yang tidak stabil membuat masyarakat kesulitan mengakses informasi, layanan digital, bahkan komunikasi darurat.
Di tengah berbagai keterbatasan tersebut, GMKI tetap menjalankan beragam program pelayanan lintas sektor.
Di bidang pendidikan, kegiatan meliputi sosialisasi pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi siswa SMP, sosialisasi kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab tanpa jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, dilakukan evaluasi pembelajaran Sekolah Minggu dan raport, kegiatan outbound bagi siswa SD, pendampingan administrasi guru PAUD, serta pelatihan Alat Permainan Edukatif (APE) PAUD.
Pada sektor kesehatan, GMKI melaksanakan sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), praktik cuci tangan yang benar, serta pemeriksaan kesehatan gratis berupa cek gula darah, kolesterol, dan asam urat.
Seluruh kegiatan ini dijalankan dengan menyesuaikan keterbatasan fasilitas, akses logistik, dan minimnya dukungan jaringan komunikasi.
GMKI juga mendorong pemberdayaan masyarakat melalui edukasi pertanian organik, pengendalian hama dan penyakit tanaman, pembuatan bedeng, serta penanaman sayur organik bersama warga.
Di bidang kebudayaan, dilakukan dialog musik tradisional serta pembuatan suling bambu dan alat musik bambu sebagai upaya menjaga identitas lokal yang tumbuh berdampingan dengan keterisolasian wilayah.
Sebagai bentuk dukungan nyata, GMKI Komisariat IAKN Ambon turut menyerahkan sejumlah bantuan.
Bantuan tersebut meliputi anakan pohon Pala kepada negeri, jemaat, dan AMGPM untuk mendukung penguatan ekonomi berbasis potensi lokal.
Selain itu, GMKI menyerahkan alat musik pianika bagi siswa SD dan SMP guna menunjang pembelajaran seni dan kreativitas.
Serta bantuan lampu untuk mendukung aktivitas belajar dan ibadah masyarakat di tengah keterbatasan penerangan.
Ketua Panitia Live In, Megi Lasibjanan, menegaskan bahwa pengalaman di Lohia Sapalewa membuka kesadaran kritis kader GMKI terhadap ketimpangan pembangunan.
“Lohia Sapalewa menunjukkan secara nyata bagaimana keterbatasan infrastruktur jalan dan akses komunikasi masih menjadi persoalan mendasar. Perjalanan panjang, medan berat, dan jarak yang jauh dari pusat kecamatan memperlihatkan bahwa pembangunan belum sepenuhnya menyentuh wilayah-wilayah pegunungan seperti ini. Pengabdian di sini juga menjadi panggilan moral untuk terus menyuarakan keadilan pembangunan,” ujarnya.
Harapan serupa disampaikan Raja Negeri Lohia Sapalewa, Thomas Soriale.
Ia berharap kehadiran GMKI tidak berhenti pada kegiatan sosial semata, tetapi juga menjadi jembatan advokasi bagi masyarakat.
“Kami sangat tersentuh dengan seluruh program yang dilakukan adik-adik GMKI. Namun, kami juga berharap kehadiran ini bisa membantu menyuarakan kondisi negeri kami, terutama soal jalan dan akses komunikasi. Kami berharap ada kolaborasi berkelanjutan agar Lohia Sapalewa tidak terus tertinggal dalam pembangunan,” katanya.
Rangkaian kegiatan Live In ditutup dengan perayaan Natal bersama masyarakat sebagai simbol kebersamaan dan penguatan ikatan sosial.
Menjelang kepulangan, dilaksanakan kembali ritual adat Pasawari sebagai bentuk pelepasan dan doa keselamatan, mengiringi rombongan yang harus kembali menempuh medan berat dan akses terbatas yang sama.
Melalui kegiatan ini, GMKI menegaskan kehadirannya tidak hanya sebagai pelaksana program sosial, tetapi juga sebagai suara kritis yang merekam dan menyampaikan realitas ketimpangan pembangunan di wilayah pegunungan Seram.
GMKI berharap, pengalaman dan temuan lapangan ini dapat mendorong perhatian serta kebijakan publik yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada masyarakat terpencil.