SURYA.CO.ID, PASURUAN - Bibir Alianto, warga Desa Semedusari, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan bergetar saat membacakan pernyataan warga 10 desa di Kecamatan Nguling dan Lekok kepada Presiden Prabowo Subianto, Jumat (19/12/2025) sore.
Alianto menjadi salah satu perwakilan warga 10 desa yang menolak rencana pembangunan instalasi militer yang beririsan dengan permukiman warga di dua kecamatan dan 10 desa tersebut.
Pernyataan itu dibaca usai Istighosah Bersama “Mengetuk Hati Presiden Prabowo untuk mengembalikan hak tanah warga 10 desa, Kecamatan Lekok dan Nguling di Lapangan Arepas Semongkrong, Desa Pasinan.
Tangis anak muda muda asal Semedusari ini pun pecah. Ia tidak kuat menahan emosi dan meluapkan semua keresahan warga yang telah dipendam selama bertahun-tahun.
Menurut Alianto, persoalan tanah yang mereka hadapi bukanlah masalah baru, melainkan telah berlangsung lintas generasi. Bahkan bisa dibilang ia menjadi generasi ketiga yang memperjuangkan tanah ini.
Ia menceritakan, sejak 2008 terlibat dalam advokasi warga mulai mendampingi masyarakat hingga menyampaikan aspirasi ke berbagai tingkatan pemerintahan. Namun hingga kini, belum ada kepastian penyelesaian.
“Saya mulai aktif sejak kuliah tahun 2008. Sudah sering mengadvokasi warga, mengadu ke bupati, DPRD, DPR RI, kementerian, sampai ke provinsi. Tetapi hasilnya seakan nihil dan tidak ada titik temu,” tutur Alianto.
Alianto menyebut, kondisi tersebut menimbulkan kelelahan psikologis dan kekecewaan mendalam bagi warga. Luapan emosi yang terjadi saat membaca pernyataan bukan rekayasa, melainkan ungkapan jujur dari hati yang tertekan.
“Itu mungkin luapan perasaan yang dalam. Keresahan yang sudah terlalu lama dipendam. Semoga, suara warga kali ini benar-benar didengar dan mendapat perhatian serius dari negara,” ujar Alianto.
Dari pantauan di lapangan, istighosah bertema “Bersatu Dalam Doa, Tegak Dalam Perjuangan : Untuk Mengembalikan Hak Tanah Warga di 10 Desa, Kecamatan Lekok dan Nguling" itu, diikuti ribuan warga.
Warga dari Desa Alas Tlogo, Pasinan , Wates, Jatirejo, Branang, Tampung, dan Gejugjati di Kecamatan Lekok, dan Desa Sumberanyar, Desa Semedusari, Desa Balonganyar di Kecamatan Nguling tumplek blek dalam istighosah ini.
Berikut pernyataan yang dibacakan warga 10 Desa
Yang Terhormat
Bapak Presiden Republik Indonesia
Bapak Prabowo Subianto
Di Istana Negara, Jakarta
Bapak Presiden,
Kami menulis surat ini dengan tinta darah kebaikan untuk anak cucu kami, dengan air mata yang lama tertahan. Kami datang dari Lekok dan Nguling.
Dari tanah yang dahulu memberi kami hidup, namun kini menjadi sumber luka yang tak kunjung sembuh.Tanah itu bukan sekadar hamparan bumi, Bapak Presiden.
Di sanalah kami menanam harapan,
membangun rumah dengan keringat,
menyemai doa untuk anak-anak kami
agar kelak mereka tumbuh tanpa rasa takut kehilangan.
Namun hari ini,
tanah yang kami jaga turun-temurun
diperebutkan tanpa keadilan yang jelas.
Kami kecil, suara kami lirih,
sering kali tak terdengar di ruang-ruang kekuasaan.
Bapak Presiden,
Negara ini berdiri di atas janji keadilan sosial.
Undang-undang berkata bumi dan air
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun mengapa kami, rakyat kecil,
justru tersingkir di tanah sendiri?
Kami tidak menuntut kemewahan.
Kami hanya ingin hak kami diakui,
ingin negara hadir bukan sebagai penonton,
melainkan sebagai pelindung.
Bapak Presiden,
Kami percaya Bapak adalah pemimpin
yang lahir dari disiplin dan keberanian.
Hari ini, kami mengetuk hati Bapak
agar keberanian itu berpihak kepada yang lemah.
Turunkanlah Bapak ke Lekok.
Dengarkanlah jerit kami sebelum kami mati di tanah sendiri.
Istighosah ini adalah salah satu cara warga menolak rencana pembangunan instalasi militer yang berdekatan dengan permukiman. Warga tampak khusyuk dan bersatu dalam doa serta harapan.
Ketua PCNU Kabupaten Pasuruan, KH Imron Mutamakkin dan sejumlah tokoh masyarakat, para kiai, serta tokoh agama tampak hadir. Mereka ada dalam barisan terdepan membersamai warga dalam istighosah ini.
Usai kegiatan, KH Imron Mutamakkin menegaskan pentingnya kehadiran semua pihak dalam mempercepat penyelesaian persoalan yang dihadapi warga di kawasan tersebut.
Menurut Kiai Imron, Nahdlatul Ulama (NU) merasa berkewajiban hadir karena persoalan itu menyangkut kepentingan warga yang selama ini hidup dan bermukim di wilayah tersebut.
Maka warga perlu mendapatkan support. "Kami juga pernah terlibat dalam sengketa serupa di wilayah sekitar. Karena itu, kami memahami betul kondisi warga yang selama bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian,” kata Kiai Imron.
Ia menilai, warga telah terlalu lama berada dalam posisi yang tidak adil. Bahkan kata dia, warga seolah-olah tertindas di tanahnya sendiri selama bertahun-tahun.
“Seakan-akan terjajah di bumi sendiri. Ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Saya berharap penyelesaian persoalan dapat dilakukan melalui dialog dan musyawarah, tanpa kekerasan dari pihak mana pun,” ungkapnya.
Gus Ipong, sapaan akrabnya, berharap persoalan ini bisa diselesaikan dengan duduk bersama, tanpa kekerasan, tanpa intimidasi, baik kepada warga maupun sebaliknya. Jadi selesai dengan damai.
Ia juga mendorong pemerintah daerah agar lebih proaktif memfasilitasi penyelesaian, meski aset yang disengketakan merupakan kewenangan pemerintah pusat, tetapi pemda tetap harus hadir secara aktif dan mengawal.
PCNU, lanjut Kiai Imron, siap terlibat sesuai kapasitasnya, baik melalui ikhtiar batin maupun ikhtiar lahir. NU akan terlibat sebisa mungkin. Ada ikhtiar batin seperti doa dan istighotsah, tetapi juga ikhtiar lahir.
“Kalau warga perlu ke DPR RI, kementerian, atau lembaga negara lainnya, maka pemerintah daerah wajib memfasilitasi itu. Negara harus hadir untuk mengurus dan menyelesaikan persoalan rakyatnya,”pungkasnya. ****