SURYA.CO.ID - Direktur PT Patera Surya Gemilang, Alie Wijaya Tan, mengaku rutin memberikan uang setoran bulanan kepada pejabat di Direktorat Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Hal ini dilakukan agar pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) perusahaannya berjalan lancar.
Alie membongkar praktik pungli tersebut saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan pemerasan pejabat Kemnaker di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (19/12/2025).
Menurut Alie, awalnya para pejabat PPTKA meminta biaya tidak resmi sebesar Rp500 ribu per tenaga kerja asing (TKA). Namun, karena merasa keberatan jika harus membayar per kepala, ia bernegosiasi untuk memberikan setoran tetap setiap bulan secara keseluruhan.
“Saya berdiskusi di kantor dengan pimpinan saya juga, kami hanya bisa memberikan sumbangan bentuk kontribusi itu waktu ke Pak Heri itu per bulan Rp20 juta,” kata Alie di persidangan dikutip SURYA dari Tribunnews.com.
Nilai setoran tersebut bervariasi antara Rp20 juta hingga Rp30 juta per bulan, tergantung siapa pejabat yang menjabat saat itu. Alie menegaskan bahwa uang tersebut bukan biaya resmi dan tidak diatur dalam ketentuan pengurusan izin.
“Itu biaya sebetulnya gini, itu biaya ada biaya yang diminta berbayar tapi kami tidak membayar yang diminta ya kalau enggak salah Rp500 ribu per kepala. Kami hanya bisa memberikan semacam sumbangan kontribusi,” sambung Alie.
Alie mengungkapkan bahwa uang tersebut diambil dari kas operasional perusahaan dan diberikan secara tunai. Ia terpaksa menyetor uang karena khawatir proses birokrasi RPTKA akan diperlambat, yang berisiko membuat pekerja asing di perusahaannya melampaui izin tinggal (overstay).
Dalam kesaksiannya, Alie memperkirakan total uang yang telah dikeluarkan perusahaannya selama hampir 15 tahun mencapai Rp4,8 miliar.
“Kalau enggak salah saya ingat Rp4,80 miliar dari tiga direktur dan waktu hampir 15 tahun," ungkap Alie.
Berdasarkan kesaksian Alie, berikut adalah rincian pejabat yang menerima uang setoran bulanan tersebut:
Mantan Sekjen Kemenaker, Heri Sudarmanto.
Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker tahun 2017–2019, Wisnu Pramono.
Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker tahun 2019–2024 yang kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta & PKK Kemnaker tahun 2024–2025, Haryanto.
Dalam perkara dakwaan terungkap bahwa Suhartono, mantan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemenaker periode 2020–2023 menyalahgunakan kewenangannya.
Suhartono memanfaatkan jabatan dalam proses pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk memeras para pemberi kerja maupun agen pengurusan izin RPTKA.
Suhartono melakukan perbuatan tersebut bersama tujuh terdakwa lainnya, yakni Putri Citra Wahyu, Jamal Shodiqin, Alfa Ehsad, Gatot Widartono, Devi Anggeraini, Wisnu Pramono, dan Haryanto.
Akibat perbuatan para terdakwa, negara dirugikan dan para pelaku disebut memperkaya diri dengan total mencapai Rp 135,3 miliar.
Sebagai Dirjen Binapenta dan PKK, Suhartono bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan di bidang penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Direktorat ini juga memiliki kewenangan untuk mengendalikan penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia.
Secara resmi, pengajuan RPTKA dilakukan melalui sistem online.
Namun, jaksa menyebut para terdakwa dengan sengaja tidak memproses sejumlah pengajuan RPTKA yang masuk.
Akibatnya, para pemberi kerja atau agen pengurusan izin terpaksa datang langsung ke kantor Kementerian Ketenagakerjaan untuk menanyakan kendala pengajuan mereka.
Dalam pertemuan tersebut, pemohon diberi tahu bahwa pengajuan RPTKA hanya bisa diproses jika mereka menyerahkan sejumlah uang di luar biaya resmi.
Jika uang tambahan itu tidak diberikan, permohonan RPTKA tidak akan diproses.
Jaksa mengungkapkan, sejak tahun 2020 hingga 2023, praktik penyerahan uang terjadi di kantor Kemnaker.
Uang tersebut diserahkan oleh para pemohon RPTKA melalui terdakwa Haryanto, Devi Anggeraini, dan Gatot Widartono, baik secara tunai maupun transfer.
Setelah uang diterima, pengajuan RPTKA kemudian diproses atas persetujuan Suhartono.
Jaksa juga menyebut, dalam rentang waktu 2017 hingga 2025 terdapat 1.143.823 pengesahan RPTKA di Direktorat PPTKA.
Setiap pengesahan dikenakan pungutan ilegal sebesar Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu per tenaga kerja asing.
Dari praktik tersebut, total uang yang terkumpul dari pengusaha maupun agen pengurusan izin RPTKA mencapai Rp 135,3 miliar.
Uang itu kemudian mengalir dan dibagi kepada para terdakwa:
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU Tipikor, dengan ancaman pidana terkait pemerasan dalam jabatan secara bersama-sama dan berlanjut.