Lima Logical Fallacies dalam Argumentasi Komite Reformasi Polri Terkait Perpol 10/2025
December 19, 2025 10:38 PM

Oleh: Boni Hargens, Ph.D

  • Analis Politik Senior dan Pendiri Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
  • Mantan Anggota Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) Antara

TRIBUNNEWS.COM - Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 telah memicu kontroversi hukum yang signifikan di Indonesia. 

Perdebatan ini melibatkan berbagai pihak dengan perspektif yang sangat berbeda, mencerminkan kompleksitas interpretasi hukum dalam konteks reformasi institusi keamanan.

Tokoh-tokoh terkemuka seperti Mahfud MD dan Jimly Assidiqi menilai bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan secara fundamental dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Mereka berpendapat bahwa peraturan ini berpotensi melemahkan pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian dan mengabaikan prinsip-prinsip konstitusional yang telah ditetapkan oleh MK.

Saya memberikan interpretasi yang berbeda. Perpol justru mendukung dan mengimplementasikan keputusan MK dengan cara yang lebih praktis dan operasional, bukan melawannya. Perspektif ini menekankan pada mekanisme internal yang lebih jelas dan terstruktur.

Perdebatan ini telah memicu diskursus hukum dan politik yang sangat intens di kalangan publik dan media massa.

Opini publik terpolarisasi, dengan berbagai kelompok masyarakat mengambil posisi yang berbeda berdasarkan pemahaman mereka terhadap putusan MK dan implementasinya melalui Perpol.

Kompleksitas perdebatan ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip hukum konstitusional dan bagaimana argumentasi hukum seharusnya dibangun.

Tanpa kerangka berpikir yang logis dan sistematis, diskusi tentang isu-isu hukum seperti ini dapat dengan mudah tergelincir ke dalam perdebatan yang tidak produktif dan bahkan menyesatkan.

Lima Bentuk Logical Fallacies dalam Argumen Komite Reformasi Polri

Argumentasi Komite Reformasi Polri dinilai analis politik dan hukum Boni Hargens memiliki berbagai kelemahan fundamental dalam pendekatan logikanya.

Meskipun para tokoh ini memiliki kredibilitas dan pengalaman yang tidak diragukan, argumentasi mereka terkait Perpol Nomor 10 Tahun 2025 mengandung sejumlah kesesatan berpikir atau logical fallacies yang dapat melemahkan kekuatan hukum dan rasionalitas dari posisi mereka.

Logical fallacies adalah kesalahan dalam penalaran yang membuat argumen menjadi tidak valid atau menyesatkan.

Dalam konteks hukum, keberadaan fallacies ini sangat problematis karena dapat mengaburkan fakta, memanipulasi emosi, dan mengalihkan perhatian dari isu substantif yang seharusnya menjadi fokus pembahasan.

Kesalahan-kesalahan logika ini tidak hanya melemahkan argumentasi secara akademis, tetapi juga berdampak pada kualitas diskursus publik. Ketika tokoh-tokoh berpengaruh menggunakan argumentasi yang mengandung fallacies, hal ini dapat mempengaruhi opini publik secara tidak fair dan menciptakan polarisasi yang tidak didasarkan pada pemahaman hukum yang akurat.

Ada lima bentuk kelemahan argumentasi Komite Reformasi Polri yang kami temukan dalam merespons Perpol 10/2025 yaitu argumentasi ad hominem, logika straw man, false dilemma, red herring, dan appeal to emotion.  

Pertama,  saya s melihat adanya argumen ad hominem yaitu pandangan yang menyerang pribadi daripada gagasan. Salah satu kesalahan logika paling mendasar yang muncul dalam argumentasi Komite Reformasi Polri adalah penggunaan ad hominem, yaitu serangan terhadap karakter atau kredibilitas pembuat kebijakan daripada menganalisis substansi dari Perpol itu sendiri. Fallacy ini sangat merusak karena mengalihkan fokus diskusi dari konten hukum yang seharusnya dievaluasi.

Dalam beberapa kesempatan, kritik terhadap Perpol dimulai dengan mempertanyakan integritas atau motif dari para pembuat kebijakan di internal Polri.

Argumentasi seperti "peraturan ini dibuat oleh pihak yang memiliki kepentingan mempertahankan status quo" adalah contoh klasik ad hominem yang tidak menyentuh substansi peraturan itu sendiri.

Komite sering mengaitkan Perpol dengan track record negatif institusi Polri secara umum, seolah-olah segala sesuatu yang berasal dari institusi tersebut otomatis bermasalah. 

Ini mengabaikan kemungkinan bahwa peraturan spesifik ini bisa memiliki merit terlepas dari sejarah institusi. Kecenderungan untuk menolak argumen berdasarkan siapa yang menyampaikannya, bukan berdasarkan kualitas argumen itu sendiri, menciptakan bias konfirmasi yang berbahaya dalam analisis hukum.

Ad hominem mengabaikan prinsip fundamental dalam analisis hukum bahwa setiap peraturan harus dievaluasi berdasarkan kontennya, bukan berdasarkan siapa yang membuatnya.

Pendekatan ini mengalihkan perhatian dari analisis substantif tentang apakah Perpol benar-benar bertentangan dengan putusan MK atau tidak. 

Lebih jauh lagi, ad hominem menciptakan atmosfer diskusi yang tidak sehat di mana orang lebih fokus pada menyerang lawan bicara daripada mencari kebenaran. Dalam konteks hukum konstitusional yang kompleks, pendekatan seperti ini sangat kontraproduktif.

Argumentasi hukum yang kuat seharusnya berfokus pada analisis tekstual Perpol, membandingkannya dengan putusan MK, dan mengevaluasi konsistensi antara keduanya berdasarkan prinsip-prinsip interpretasi hukum yang established.

Serangan terhadap pembuat kebijakan hanya mengaburkan diskusi dan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pemahaman yang lebih baik tentang isu hukum yang sebenarnya.

Kedua , argumentasi “orang-orangan sawah” atau Straw Man yaitu memelintir isi Perpol untuk memudahkan penolakan.

Straw man fallacy terjadi ketika seseorang mendistorsi, melebih-lebihkan, atau menyederhanakan argumen lawan secara tidak akurat agar lebih mudah diserang. Ini adalah salah satu kesalahan logika yang paling umum dan berbahaya dalam perdebatan hukum. 

Dalam konteks perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, Komite Reformasi Polri sering kali menyederhanakan isi Perpol dengan cara yang tidak akurat.

Mereka menggambarkan peraturan tersebut seolah-olah secara total mengabaikan atau melawan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal kenyataannya Perpol mengakomodasi beberapa aspek putusan MK secara selektif dengan interpretasi tertentu.

Komite sering menyatakan bahwa Perpol "sepenuhnya bertentangan" dengan putusan MK, tanpa mengakui bahwa ada beberapa pasal dalam Perpol yang justru mengimplementasikan aspek-aspek tertentu dari putusan tersebut.

Penyederhanaan ini membuat Perpol terlihat lebih buruk dari yang sebenarnya.
Hukum konstitusional penuh dengan nuansa dan interpretasi. Dengan mengabaikan kompleksitas ini dan menyajikan Perpol sebagai hitam-putih melawan MK, Komite menciptakan straw man yang mudah diserang tetapi tidak akurat merepresentasikan realitas hukum yang ada.

Strategi straw man lainnya adalah dengan mengambil satu atau dua aspek problematik dari Perpol dan mempresentasikannya seolah-olah mewakili keseluruhan peraturan, sambil mengabaikan bagian-bagian yang sebenarnya sejalan dengan putusan MK.

Analis lain menunjukkan bahwa ketika Perpol dibaca secara menyeluruh dan dalam konteks yang tepat, banyak pasal yang sebenarnya operasionalisasi dari prinsip-prinsip yang ditetapkan MK.

Namun, dengan menggunakan straw man, Komite Reformasi Polri menciptakan versi terdistorsi dari Perpol yang lebih mudah dikritik.

Ketika argumen didistorsi, diskusi menjadi tidak produktif karena para pihak tidak lagi membahas isu yang sama. Ini menghalangi kemungkinan untuk mencapai pemahaman bersama atau solusi kompromi.

Untuk menghindari straw man, kritik terhadap Perpol harus didasarkan pada pembacaan yang fair dan komprehensif terhadap seluruh isi peraturan, membandingkannya secara spesifik dengan pasal-pasal relevan dalam putusan MK, dan mengakui baik kesesuaian maupun ketidaksesuaian yang ada. 

Hanya dengan pendekatan yang jujur dan menyeluruh seperti ini, diskusi hukum dapat berlangsung secara produktif dan menghasilkan pemahaman yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.

Ketiga , False Dilemma yaitu menyajikan pilihan hitam-putih tanpa alternatif. Komite Reformasi Polri sering menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan: Perpol bertentangan dengan MK dan harus dibatalkan sepenuhnya, atau Perpol diterima dan putusan MK diabaikan.

Dikotomi ini mengabaikan spektrum solusi yang ada di antaranya. Kenyataannya, ada berbagai opsi seperti revisi parsial, penyesuaian pasal-pasal tertentu, atau interpretasi hukum yang lebih fleksibel yang dapat menyelaraskan Perpol dengan putusan MK tanpa pembatalan total.

False dilemma adalah kesalahan logika di mana seseorang menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan ekstrem, padahal sebenarnya ada banyak alternatif di antaranya. 

Dalam argumentasi Komite Reformasi Polri, false dilemma ini sangat jelas terlihat dan sangat merusak kualitas diskursus hukum.

Argumentasi yang sering muncul adalah: "Perpol ini bertentangan dengan MK, oleh karena itu harus dibatalkan." Pernyataan ini menciptakan false dilemma karena mengasumsikan bahwa satu-satunya respons terhadap potensi ketidaksesuaian adalah pembatalan total, padahal dalam praktik hukum dan kebijakan publik, ada banyak mekanisme untuk mengatasi ketidaksesuaian parsial.

Hukum konstitusional jarang bersifat hitam-putih. Biasanya ada ruang untuk interpretasi, penyesuaian, dan harmonisasi yang memungkinkan berbagai instrumen hukum untuk bekerja bersama meskipun ada ketegangan tertentu.

Dengan menyempitkan pilihan menjadi "batalkan atau terima," Komite mengabaikan kompleksitas ini dan menciptakan situasi konfrontasional yang tidak perlu. 

False dilemma tidak hanya melemahkan argumentasi secara logis, tetapi juga menutup pintu untuk solusi pragmatis yang mungkin lebih baik melayani kepentingan reformasi Polri dan kepatuhan konstitusional.

Pendekatan yang lebih konstruktif akan mengidentifikasi secara spesifik aspek-aspek mana dari Perpol yang bermasalah, mengusulkan perbaikan konkret, dan membuka dialog tentang berbagai cara untuk mencapai tujuan reformasi sambil menghormati putusan MK.

Dalam praktik kebijakan publik yang baik, pembatalan total biasanya adalah pilihan terakhir yang hanya diambil ketika semua opsi lain sudah dicoba dan gagal. Dengan langsung melompat ke tuntutan pembatalan, Komite Reformasi Polri menunjukkan pendekatan yang kurang sofistikated dan kurang memahami bagaimana sistem hukum dan kebijakan bekerja dalam realitas yang kompleks.

Keempat, Red Herring yakni mengalihkan isu utama dengan topik lain yang mungkin tak relevan. Red herring adalah taktik argumentasi di mana pembicara memperkenalkan topik yang tidak relevan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama yang sedang diperdebatkan.

Dalam konteks perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, kesalahan logika ini sangat sering muncul dan sangat efektif dalam mengaburkan fokus diskusi yang seharusnya spesifik dan substantif.

Apakah pasal-pasal spesifik dalam Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konkret dalam putusan Mahkamah Konstitusi? 

Diskusi dialihkan ke kritik umum terhadap institusi Polri, sejarah pelanggaran HAM, atau isu-isu reformasi yang lebih luas yang tidak secara langsung berhubungan dengan konten Perpol.

Fokus pembahasan menjadi kabur, dan pertanyaan hukum spesifik yang seharusnya dijawab tidak pernah ditangani secara memadai.

Red herring sangat efektif karena topik-topik yang diangkat sering kali legitimate dan penting dalam konteks yang lebih luas. Isu korupsi, pelanggaran HAM, dan kebutuhan reformasi institusional memang adalah concern yang valid.

Namun, ketika topik-topik ini digunakan untuk menghindari pertanyaan spesifik tentang kesesuaian Perpol dengan putusan MK, mereka menjadi red herring yang mengaburkan diskusi hukum yang seharusnya terfokus.

Red herring mencegah diskusi yang produktif dan penyelesaian masalah yang konstruktif. Ketika isu utama tidak pernah ditangani secara langsung, tidak mungkin untuk mencapai pemahaman bersama atau solusi yang memuaskan semua pihak.

Analisis hukum yang berkualitas memerlukan fokus yang tajam pada pertanyaan-pertanyaan spesifik: Pasal mana dalam Perpol yang bertentangan dengan putusan MK? Apa dasar hukum untuk mengatakan bahwa pasal tersebut bertentangan?

Apakah ada interpretasi alternatif yang dapat menyelaraskan keduanya? Red herring menghalangi diskusi untuk mencapai tingkat spesifisitas dan kedalaman yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Untuk menghindari red herring, semua pihak dalam perdebatan harus berkomitmen untuk tetap fokus pada pertanyaan hukum spesifik yang sedang diperdebatkan, mengakui ketika sebuah topik tidak relevan dengan isu utama, dan dengan sabar mengembalikan diskusi ke jalur yang benar ketika pengalihan terjadi. Hanya dengan disiplin seperti ini, diskursus hukum dapat menghasilkan pencerahan daripada kebingungan.

Kelima, Appeal to Emotion artinya memanfaatkan sentimen publik untuk menarik dukungan terhadap argument yang dibangun. Appeal to emotion adalah kesalahan logika di mana argumen bergantung pada manipulasi perasaan audiens—seperti ketakutan, kemarahan, atau simpati—daripada pada bukti dan penalaran yang rasional.

Dalam konteks argumentasi Komite Reformasi Polri terhadap Perpol Nomor 10 Tahun 2025, taktik ini sangat menonjol dan berpotensi memanipulasi opini publik tanpa dasar hukum yang kuat.  

Menciptakan narasi di mana masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu digambarkan sebagai korban dari Perpol, tanpa menunjukkan secara konkret bagaimana peraturan tersebut akan merugikan mereka secara hukum.

Membandingkan situasi ideal yang diinginkan dengan realitas Perpol, sambil mengabaikan keterbatasan praktis dan kompleksitas implementasi kebijakan dalam dunia nyata. 

Hukum konstitusional harus didasarkan pada analisis tekstual, prinsip-prinsip interpretasi yang established, dan pemahaman yang mendalam tentang hierarki norma hukum.

Emosi, meskipun penting dalam konteks politik yang lebih luas, tidak boleh menjadi dasar untuk menentukan apakah sebuah peraturan bertentangan dengan konstitusi atau putusan mahkamah. 

Ketika appeal to emotion digunakan sebagai strategi argumentasi utama, ini mengindikasikan kelemahan dalam argumen substantif. Jika ada dasar hukum yang kuat untuk menentang Perpol, argumen tersebut seharusnya dapat disampaikan dengan fakta, analisis, dan logika tanpa perlu bergantung pada manipulasi emosi.

Untuk memahami secara konkret bagaimana kesalahan-kesalahan logika yang dimaksud mempengaruhi perdebatan tentang Perpol Nomor 10 Tahun 2025,  kitab isa membandingkan pandangan Mahfud MD sebagai representasi Komite Reformasi Polri, dan Boni Hargens) sebagai representasi pandangan analitis yang berbeda.

Mahfud MD menilai bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi karena dianggap melemahkan mekanisme pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian. Ia berpendapat bahwa peraturan ini mengembalikan kewenangan berlebihan kepada internal Polri dan mengabaikan prinsip checks and balances yang ditekankan oleh MK.

Saya memberikan interpretasi yang berbeda, menilai bahwa Perpol justru memperkuat implementasi putusan MK dengan menyediakan mekanisme internal yang lebih jelas, terstruktur, dan accountable. Ia berpendapat bahwa apa yang dilihat sebagai "melemahkan pengawasan eksternal" sebenarnya adalah "memperjelas mekanisme operasional" yang tetap sejalan dengan prinsip-prinsip MK.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa kualitas argumentasi sangat bergantung pada metodologi yang digunakan. Ketika argumen dibangun dengan menghindari logical fallacies dan fokus pada analisis substantif, seperti yang dilakukan Boni Hargens, hasilnya adalah diskusi yang lebih produktif dan informatif.

Sebaliknya, ketika argumen bergantung pada emosi, generalisasi, dan penyederhanaan, seperti yang sering muncul dalam pendekatan Mahfud MD dan Komite Reformasi Polri, hasilnya adalah perdebatan yang polarized dan kurang konstruktif.

Ini bukan untuk mengatakan bahwa Mahfud MD atau Komite Reformasi Polri salah dalam concern mereka tentang reformasi Polri atau pentingnya menjaga checks and balances.

Namun, cara mereka menyampaikan concern tersebut—dengan menggunakan logical fallacies—melemahkan posisi mereka dan mengurangi kemungkinan untuk mencapai solusi yang konstruktif dan didasarkan pada pemahaman hukum yang akurat.

Jakarta, 19 Des 2025

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.