Pidana Kerja Sosial di KUHP Baru, Sri Sultan HB X Tekankan Nilai Kemanusiaan
December 20, 2025 12:14 AM

 

TRIBUNJOGJA.COM - Alih-alih memenjarakan pelaku pelanggaran ringan, KUHP baru membuka ruang pemulihan melalui pidana kerja sosial. 

Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai, pendekatan ini harus memberi nilai bagi pelaku dan masyarakat, bukan sekadar mengganti bentuk hukuman.

Pandangan tersebut disampaikan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saat penandatanganan nota kesepahaman implementasi pidana kerja sosial antara Pemerintah Daerah DIY dan Kejaksaan Agung, Jumat (19/12/2025), di Kompleks Kantor Gubernur DIY.

Kesepakatan itu menjadi bagian dari persiapan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026.

Hukuman perkara ringan

Dalam KUHP yang baru, pidana kerja sosial diperkenalkan sebagai salah satu pidana pokok, terutama untuk perkara-perkara ringan.

Sri Sultan menegaskan, kebijakan tersebut menuntut perubahan cara pandang aparat penegak hukum dan pemerintah daerah dalam memperlakukan pelaku pelanggaran.

“Sekarang juga ada keputusan dari pengadilan dari hakim, itu bukan didrop masuk penjara tapi kerja sosial bagi persoalan ringan atau yang sedang, menurut keyakinan hakim, itu keputusannya kerja sosial,” ujar Sri Sultan.

Menurut dia, Pemerintah Daerah DIY akan berkoordinasi dengan kejaksaan untuk mengidentifikasi potensi bentuk kerja sosial yang relevan dengan kebutuhan daerah.

Jangan sampai merendahkan

Namun, Sri Sultan mengingatkan agar penentuan jenis pekerjaan tidak dilakukan secara serampangan dan mempertimbangkan dampak psikologis bagi terpidana.

“Kami nanti coba identifikasi bersama kejaksaan kira-kira potensi itu apa,” katanya.

Sri Sultan menyebut, kerja sosial bisa saja berupa kegiatan di ruang publik, termasuk pembersihan kawasan Malioboro. Akan tetapi, ia menekankan bahwa aspek martabat manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam implementasinya.

“(Bersihkan Malioboro) itu kan memungkinkan bisa aja tapi kan kita lihat urgensinya ya jangan sampai dia juga merasa malah direndahkan martabatnya, jangan,” ujar Sultan.

Ia mengingatkan, pidana kerja sosial yang keliru justru berpotensi merusak kepercayaan diri pelaku, alih-alih mendorong pemulihan.

Harus memberi nilai positif

Menurutnya, kerja sosial seharusnya memberi nilai positif yang membantu seseorang membangun kembali keyakinan diri dan tanggung jawab sosial.

“Jangan sampai dia juga merasa malah direndahkan martabatnya, jangan, malah hancur dia. Tapi itu dianggap sesuatu kerja yang memang memberikan value bagi dirinya untuk punya keyakinan kembali,” tutur Sri Sultan.

Lebih jauh, Sri Sultan menegaskan bahwa pidana kerja sosial tidak boleh dimaknai sebagai bentuk pembalasan atau kekerasan simbolik dari negara terhadap warganya.

Ia menilai, semangat kebijakan ini justru terletak pada upaya menjaga batas-batas peradaban dan kemanusiaan.

“Bukan itu pembalasan dendam atau kekerasan, tapi bagaimana dalam upaya kita mengembalikan harga diri, rasa kemanusiaan dan juga peradaban itu batas-batas seperti apa yang tidak dan yang berlebih. Jangan maunya sendiri,” kata Sri Sultan.

Berlaku 2 Januari 2026

Sementara itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Undang Mugopal menjelaskan bahwa penerapan pidana kerja sosial merupakan bagian dari KUHP baru yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026.

“Sebagaimana diketahui bersama tanggal 2 Januari nanti, kita akan penerapan KUHP yang baru, mulai berlaku tanggal 2 Januari 2026. Di KUHP yang baru ini ada salah satu pidana pokok yang baru yaitu pidana kerja sosial,” ujar Undang.

Ia mengatakan, penandatanganan nota kesepahaman dengan Pemerintah Daerah DIY dilakukan untuk mematangkan aspek teknis pelaksanaan pidana kerja sosial di daerah.

“Kami tadi dengan Ngarsa Dalem melaksanakan MOU dalam rangka implementasi pidana kerja sosial tersebut,” katanya.

Sesuai kebutuhan daerah

Menurut Undang, bentuk kerja sosial nantinya akan ditetapkan melalui putusan pengadilan dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah melalui koordinasi antara jaksa sebagai eksekutor dan pemerintah setempat.

“Nanti bisa di dalam putusannya pengadilan, nanti bentuk-bentuknya bisa dimusyawarahkan antara jaksa eksekutor dengan pimpinan daerah setempat. Apa yang dibutuhkan untuk pidana kerja sosial di wilayahnya masing-masing tentu akan berbeda satu dengan yang lain,” ucap Undang.

Dengan pendekatan tersebut, pidana kerja sosial diharapkan tidak hanya menjadi alternatif pemidanaan, tetapi juga sarana pembelajaran sosial yang memberi manfaat bagi masyarakat sekaligus menjaga martabat manusia, sebagaimana ditekankan Sri Sultan Hamengku Buwono X.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.