Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum dan politik Boni Hargens menilai pentingnya pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip hukum konstitusional dan bagaimana argumentasi hukum seharusnya dibangun dalam menafsirkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Sebab tanpa kerangka berpikir yang logis dan sistematis, menurutnya, diskusi tentang isu hukum tersebut dapat dengan mudah tergelincir ke dalam perdebatan yang tidak produktif dan bahkan menyesatkan.
"Perdebatan ini telah memicu diskursus hukum dan politik yang sangat intens di kalangan publik dan media massa," ujar Boni dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Dikatakan bahwa opini publik telah terpolarisasi, dengan berbagai kelompok masyarakat mengambil posisi yang berbeda berdasarkan pemahaman mereka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan implementasinya melalui Perpol.
Adapun Boni berpendapat Perpol justru mendukung dan mengimplementasikan putusan MK dengan cara yang lebih praktis dan operasional, bukan melawannya. Perspektif itu menekankan pada mekanisme internal yang lebih jelas dan terstruktur.
Hal tersebut berbeda dengan berbagai tokoh terkemuka, seperti Mahfud Md dan Jimly Asshiddiqie, yang juga merupakan bagian dari Komisi Percepatan Reformasi Polri. Mereka menilai Perpol tersebut bertentangan secara fundamental dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait jabatan anggota Polri.
Dengan demikian, keduanya berpendapat peraturan tersebut berpotensi melemahkan pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian dan mengabaikan berbagai prinsip konstitusional yang telah ditetapkan oleh MK.
Menurut Boni, argumen keduanya memiliki berbagai kelemahan fundamental dalam pendekatan logikanya lantaran terdapat kesesatan berpikir atau logical fallacies yang dapat melemahkan kekuatan hukum dan rasionalitas.
"Kesalahan-kesalahan logika ini tidak hanya melemahkan argumentasi secara akademis, tetapi juga berdampak pada kualitas diskursus publik," tuturnya.
Ia menyebutkan setidaknya terdapat lima bentuk kelemahan argumentasi tersebut dalam merespons Perpol 10/2025, yaitu argumentasi ad hominem, straw man, false dilemma, red herring, dan appeal to emotion.
Pada argumen ad hominem, kata dia, terdapat kecenderungan pandangan yang menyerang pribadi daripada gagasan. Sementara pada argumentasi “orang-orangan sawah" atau straw man, terdapat potensi "memelintir" isi Perpol untuk memudahkan penolakan.
Lalu pada false dilemma, sambung Boni, yaitu menyajikan pilihan hitam-putih tanpa alternatif, di mana terdapat penyajian situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan, yakni Perpol bertentangan dengan putusan MK dan harus dibatalkan sepenuhnya atau Perpol diterima dan putusan MK diabaikan.
"Dikotomi ini mengabaikan spektrum solusi yang ada di antaranya," ucap Boni.
Selanjutnya, dirinya mengatakan argumentasi red herring, yakni mengalihkan isu utama dengan topik lain yang mungkin tak relevan. Kemudian, appeal to emotion, yang artinya memanfaatkan sentimen publik untuk menarik dukungan terhadap argumen yang dibangun.
Dia menuturkan ketika argumen dibangun dengan menghindari logical fallacies dan fokus pada analisis substantif, hasilnya merupakan diskusi yang lebih produktif dan informatif.
"Sebaliknya, ketika argumen bergantung pada emosi, generalisasi, dan penyederhanaan, hasilnya adalah perdebatan yang polarized dan kurang konstruktif," ungkap dia.
Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas meminta Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Nomor 10 Tahun 2025 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tidak diperdebatkan.
Menurutnya, hanya terdapat perbedaan cara pandang terhadap perpol tentang pelaksanaan tugas anggota Polri di luar struktur organisasi Polri, terutama di 17 kementerian/lembaga, tersebut dan putusan MK tentang penegasan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dimaksud.
"Seperti saya dengan Prof. Mahfud pun berbeda pandangan kalau terkait dengan apa yang harus dilakukan terhadap sebuah putusan MK. Itu kan biasa saja," ujar Supratman dalam Konferensi Pers Refleksi Akhir Tahun 2025 di Jakarta, Kamis (18/12).
Maka dari itu, dia menilai hal tersebut merupakan bagian dari demokratisasi lantaran perbedaan pendapat bukan berarti sesuatu yang tidak baik.
Dia mengatakan yang menjadi masalah apabila hakim MK sudah menyatakan resmi terkait sebuah putusan dan menjelaskan kepada publik sehingga tidak perlu ada tafsir.







