SURYA.CO.ID, JOMBANG - Sebuah pagelaran unik yang memadukan puisi, musik, dan teater mengisi ruang di MWCNU Mojowarno, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, Jumat (19/12/2025).
Pertunjukan bertajuk 'Seberkas Cahaya' ini bukan sekadar tontonan, melainkan medium penyembuhan dan deklarasi bagi lima remaja yang pernah menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Inisiatif ini digerakkan oleh Shelter Rumah Hati Jombang sebagai bagian dari program pemulihan psikologis anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Melalui ekspresi seni, mereka diajak untuk merangkul kisah hidupnya sendiri dan memperkuat komitmen untuk membangun masa depan yang berbeda.
Kelima remaja tersebut, adalah Rama, Rafi (Jombang), Reval (Kediri), Ali (Surabaya), dan Fuad (Nganjuk), yang bergantian menampilkan monolog puisi, iringan musik, dan fragmen teater.
Mereka pernah menjalani pembinaan di berbagai lembaga, seperti LPKA Blitar, Rutan Nganjuk, dan Lapas Jombang.
Sebuah simbolisasi kuat hadir melalui dua aktor bertopeng hitam-putih dan hitam-belang. Keduanya merepresentasikan pergulatan internal antara hasrat untuk berubah dengan bayangan kesalahan masa lalu yang terus mengganggu.
Adegan penutup yang menampilkan kekalahan sosok bertopeng gelap menjadi metafora akan kemenangan harapan atas masa silam.
Mohammad Faisol Hidayat, Koordinator Pendamping Shelter Rumah Hati Jombang, menekankan bahwa konsep pertunjukan seluruhnya bersumber dari pengalaman personal anak binaan. Ide penggunaan topeng bahkan datang langsung dari mereka.
"Ini adalah narasi hidup mereka yang disampaikan secara lugas. Pertarungan dalam diri itu nyata, dan mereka ingin mengungkapkannya tanpa kedok," ucap Faisol saat dikonfirmasi SURYA.
Proses latihan selama kurang lebih sepuluh pekan pun tidak mudah. Tantangan terberat justru muncul saat mereka harus membawakan kisah sendiri di depan khalayak.
"Membawakan cerita orang lain bisa lancar. Namun mengungkap luka sendiri membutuhkan keberanian yang berbeda," imbuhnya.
Pendiri Shelter Rumah Hati Jombang, Prof Yusti Probowati menerangkan bahwa lembaganya telah fokus pada pendampingan anak berhadapan dengan hukum sejak 2011, baik yang melalui lapas maupun diversi.
"Mereka berasal dari berbagai daerah. Ada yang masih memiliki keluarga, ada pula yang sepenuhnya mandiri," ujar dosen psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Selama masa pendampingan sekitar delapan bulan, anak-anak dibiasakan dengan rutinitas harian seperti bangun pagi, beribadah, memasak, dan membersihkan lingkungan. Pola ini dianggap sebagai pondasi untuk melatih kemandirian dan tanggung jawab.
Selain pendampingan psikologis, mereka juga dilatih ketrampilan praktis seperti sablon dan pembuatan furniture sederhana. Pendekatan ini dipilih karena kecenderungan mereka yang lebih mudah menyerap pembelajaran berbasis kinestetik.
"Tidak setiap anak cocok dengan jalur akademis formal. Namun setiap anak dapat diajarkan untuk hidup teratur dan bertanggung jawab," ungkap Yusti.
Sejak berdiri, lembaga ini telah mendampingi sekitar 80-90 anak. Saat ini, jumlah anak binaan sengaja dibatasi lima orang agar pendampingan dapat lebih fokus dan mendalam.
Ahmad Fikri, Wakil Koordinator Pendamping menambahkan bahwa seni memiliki peran krusial dalam memulihkan kepercayaan diri.
"Puisi dan musik menjadi saluran jujur untuk mengungkapkan perasaan. Luka batin bisa terekspresikan tanpa harus dipaksa bercerita secara verbal," kata Fikri.
Ia menegaskan, pementasan ini bukan titik akhir, melainkan sebuah tahapan dalam perjalanan panjang mereka mencari identitas baru pasca-lapas.
"Harapan kami, mereka mampu menjalani hidup dengan lebih percaya diri. Panggung ini adalah bukti bahwa cahaya itu masih ada," bebernya.
Fikri juga mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan dan kesempatan kedua. Stigma dan penolakan, menurutnya, justru beresiko menggagalkan proses pemulihan dan mendorong mereka kembali ke lingkungan lama.
"Yang dibutuhkan adalah penerimaan. Dukungan sosial jauh lebih bermakna daripada prasangka," pungkasnya. ****