TRIBUNTRENDS.COM - Dinding tua Keraton Kasunanan Surakarta kembali menjadi saksi perbedaan pandangan di antara keluarga kerajaan.
Kali ini, sorotan tertuju pada Panggung Songgo Buwono sebuah menara ikonik yang baru saja rampung direvitalisasi.
Kedatangan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menginjakkan kaki di atas menara tersebut memicu riak pendapat di internal keraton.
GKR Panembahan Timoer Rumbai Kusuma Dewayani sempat melontarkan kritik tajam. Baginya, tindakan Menteri Kebudayaan bersama sejumlah orang naik ke atas menara sakral tersebut dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap adat.
Namun, pandangan berbeda disampaikan langsung oleh Raja Keraton Solo, Pakubuwono (PB) XIV Hangabehi.
Saat ditemui usai kegiatan di Masjid Agung Keraton pada Jumat (19/12/2025), Sang Raja menegaskan bahwa prosedur yang dijalankan sudah berada di koridor yang tepat, termasuk mengenai tata busana.
“Ya mesti pakai pakaian beskap. Sudah (sesuai aturan). Semua sudah sesuai dengan aturan,” ujarnya.
Baca juga: Ketidakhadiran PB XIV Purbaya di Peresmian Museum Keraton Solo, GKR Timoer: Benar-benar Tak Diundang
Salah satu poin yang diperdebatkan adalah aturan sakral mengenai siapa yang diperbolehkan naik ke Songgo Buwono.
Sebelumnya, Gusti Timoer menekankan bahwa siapapun yang menaiki menara tersebut seharusnya sudah melalui prosesi sumpah.
Menanggapi hal tersebut, Sinuhun Hangabehi menjelaskan bahwa aspek spiritual telah dipenuhi melalui ritual wilujengan sejak awal proyek revitalisasi dimulai.
Ritual ini menjadi pintu izin bagi para pekerja maupun pihak terkait untuk beraktivitas di bangunan suci tersebut.
“Itu kan bagian dari finalisasi peresmian. Ditinjau. Dalamnya kan diganti semua. Kalau kemudian tidak boleh lihat ke dalam ya gimana. Nggak ada pelecehan adat. Itu sudah ada sumpahnya dulu. Waktu pembangunan juga ada wilujengan ijin ke atas,” tuturnya.
Baca juga: Wajah Baru Panggung Songgo Buwono: Menara Sakral Keraton Solo yang Berdiri Gagah dan Megah
Bagi Hangabehi, kehadiran pemerintah dalam memugar bangunan bersejarah adalah bentuk kepedulian yang harus diapresiasi dengan keterbukaan.
Ia menilai, hampir seluruh sudut keraton memiliki nilai kesakralan, namun bukan berarti menutup akses bagi pihak yang membantu melestarikannya.
“Yang namanya bangunan di keraton semuanya sakral. Jadi kalau peran pemerintah hadir untuk ikut revitalisasi ini ya tetap ada wilujengan ijin. Semua kompleks itu sakral tidak hanya Panggung Songgo Buwono. Maka dari itu kalau ada niat dari pemerintah merevitalisasi keraton kita utamakan pasti bisa untuk masuk. Untuk melihat kondisi yang ada di dalam tidak hanya di luar. Saya kira begitu saja,” jelasnya.
Secara pribadi, Hangabehi juga menegaskan kapasitasnya sebagai pemimpin keraton yang memiliki hak penuh atas menara itu, mengingat prosesi sumpah yang telah ia jalani jauh di masa lalu.
“Saya sudah disumpah semenjak saya masih di pangeran,” tuturnya lagi, merujuk pada gelarnya saat masih menjadi KGPH Mangkubumi.
Baca juga: Sejarah Panggung Songgo Buwono Keraton Solo, Fadli Zon Lancang Naik, Pernah Terbakar, Ini Fungsinya
Kunjungan Fadli Zon pada Selasa (16/12/2025) lalu murni bersifat teknis untuk memastikan kualitas pemugaran.
Setelah sekian lama termakan usia, Songgo Buwono kini berdiri lebih kokoh dengan perbaikan pada material kayu dan lantai.
Hangabehi pun menepis kabar adanya ritual-ritual khusus selama peninjauan tersebut.
Fokus utama sang menteri hanyalah memastikan bahwa dana dan usaha revitalisasi memberikan hasil terbaik bagi warisan budaya nasional ini.
“Di dalam hanya melihat kondisi yang sudah dibangun aja. Lantainya diganti semua. Kayu yang sudah rapuh diganti semua,” jelas Hangabehi.
Ia menambahkan, keterlibatan menteri sangat krusial untuk evaluasi hasil kerja.
“Pak Menteri pasti ingin melihat hasilnya seperti apa. Nggak ada (ritual). Pak Menteri hanya melihat hasilnya. Kalau ada yang kurang pastinya akan ada yang akan disusulkan. Bagus lantai yang ada di teras luar diinjak sudah kuat. Diganti full udah kuat,” pungkasnya.
Panggung Songgo Buwono bukan sekadar menara. Dibangun pada era Pakubuwono III, bangunan ini adalah simbol poros dunia dan pusat laku spiritual para raja.
Dengan rampungnya revitalisasi yang didukung pemerintah dan swasta ini, Songgo Buwono kini kembali bersinar sebagai ikon kejayaan budaya Surakarta di masa depan.
(TribunTrends.com/TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin)