Jakarta (ANTARA) - Hujan yang turun berhari-hari di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat datang nyaris bersamaan dengan persiapan bangsa ini memperingati Hari Ibu Tahun 2025. Di tengah genangan air yang tak kunjung surut dan tanah yang runtuh, ironi itu terasa begitu dekat.
Ketika Hari Ibu yang ke-97 dirayakan dalam pidato resmi dan spanduk-spanduk peringatan, banyak ibu justru duduk di lantai pengungsian, memeluk anak yang ketakutan, menenangkan lansia yang tubuhnya kian rapuh, dan menunggu kepastian tentang kapan dan bagaimana negara hadir untuk mereka.
Peringatan Hari Ibu, dalam situasi seperti ini, bukan sekadar agenda kalender, melainkan momen refleksi yang menuntut kejujuran kebijakan.
Bencana selalu membawa kehilangan, tetapi ia tidak pernah datang secara adil. Pola yang berulang menunjukkan bahwa kelompok yang paling terdampak hampir selalu sama, yakni perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pengungsi bencana di Indonesia adalah perempuan dan anak-anak.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret tentang siapa yang paling lama bertahan di tengah krisis, siapa yang paling sering mengalah, dan siapa yang paling jarang didengar suaranya dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam setiap bencana, perempuan tidak hanya kehilangan rumah dan sumber penghidupan, tetapi juga memikul beban pengasuhan yang berlipat.
Mereka menjadi pengasuh utama anak-anak yang trauma, penjaga lansia yang sakit, sekaligus penopang emosi keluarga di ruang pengungsian yang serba terbatas.
Anak-anak kehilangan rasa aman, rutinitas belajar, dan ruang bermain yang seharusnya menjadi bagian dari pemulihan psikologis mereka. Lansia berhadapan dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis yang sulit ditangani dalam kondisi darurat.
Penyandang disabilitas sering kali harus menyesuaikan diri dengan sistem evakuasi, fasilitas, dan layanan darurat yang sejak awal tidak dirancang untuk kebutuhan mereka.
Pada titik inilah bencana berhenti menjadi peristiwa alam semata dan menjelma sebagai persoalan keadilan sosial.
Mandat KemenPPPA
Situasi ini menempatkan kebijakan publik sebagai penentu arah. Mandat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menemukan relevansinya yang paling nyata justru di tengah krisis.
Pengarusutamaan gender dan perlindungan anak dalam situasi darurat bukan istilah administratif dalam dokumen perencanaan, melainkan cara pandang tentang siapa yang harus lebih dulu dilindungi, siapa yang harus diberi ruang aman, dan siapa yang suaranya wajib didengar.
Tanpa perspektif ini, penanganan bencana kerap terjebak pada pendekatan seragam yang tampak rapi di atas kertas, tetapi abai pada realitas di lapangan.
Sering kali bantuan dihitung dari jumlah, bukan dari kebutuhan. Posko pengungsian berdiri, tetapi tanpa ruang aman bagi perempuan dan anak.
Layanan kesehatan reproduksi tidak diposisikan sebagai prioritas. Mekanisme perlindungan dari kekerasan berbasis gender luput dari perhatian.
Suara ibu penyintas jarang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan, seolah pengalaman mereka tidak cukup penting untuk membentuk kebijakan.
Ketika hal ini terjadi, ketangguhan perempuan justru dipuji berlebihan, sementara ketidakadilan struktural yang memaksa mereka menjadi tangguh dibiarkan berulang, tanpa koreksi.
Bangsa ini kerap merayakan Hari Ibu dengan menyanjung pengorbanan, kesabaran, dan daya tahan perempuan.
Namun refleksi kebijakan menuntut keberanian untuk bertanya lebih dalam, apakah negara terlalu bergantung pada ketangguhan ibu, tanpa cukup melindungi mereka.
Ketangguhan seharusnya tidak menjadi alasan untuk menormalisasi beban yang tidak adil. Menghormati ibu bukan berarti membiarkan mereka terus menanggung risiko terbesar, melainkan memastikan bahwa sistem yang dibangun negara bekerja untuk meringankan beban tersebut.
Pergerakan perempuan
Hari Ibu lahir dari sejarah panjang pergerakan perempuan Indonesia, dari kesadaran bahwa perempuan adalah subjek pembangunan, bukan sekadar penerima dampak.
Semangat ini menjadi sangat relevan dalam konteks bencana, hari ini. Menghormati ibu berarti memastikan bahwa kebijakan penanggulangan bencana responsif terhadap kebutuhan perempuan dan anak, inklusif bagi lansia dan penyandang disabilitas, serta membuka ruang partisipasi bagi para penyintas dalam proses pemulihan.
Pemulihan yang adil tidak hanya membangun kembali infrastruktur, tetapi juga memulihkan martabat, rasa aman, dan kepercayaan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bersama kementerian dan lembaga lain serta pemerintah daerah, berada pada posisi strategis untuk memastikan bahwa kehadiran negara tidak berhenti pada fase darurat.
Bencana seharusnya menjadi momentum koreksi kebijakan, untuk memperbaiki cara pandang, memperkuat sistem perlindungan, dan membangun pemulihan yang lebih berkeadilan.
Ini mencakup perencanaan yang sensitif gender, layanan terpadu di pengungsian, mekanisme perlindungan anak yang aktif, serta pelibatan perempuan penyintas sebagai sumber pengetahuan kebijakan.
Di tengah hujan dan genangan, seorang ibu di pengungsian memeluk anaknya agar tetap hangat. Dalam pelukan itu ada ketakutan yang tak terucap, kelelahan yang menumpuk, dan harapan yang sangat sederhana, yakni dilindungi.
Hari Ibu seharusnya menjadi lebih dari perayaan simbolik. Tetapi lebih sebagai ujian moral kebijakan publik, tentang sejauh mana negara hadir ketika ibu berada pada titik paling rentan dalam hidupnya.
Jika negara masih membiarkan ibu menanggung beban bencana sendirian, maka yang gagal bukanlah para penyintas, melainkan kita semua yang merancang dan menjalankan kebijakan. Selamat Hari Ibu ke-97 Tahun 2025.
Hari Ibu bukan tentang seremoni, melainkan cermin tentang keberpihakan, keadilan, dan keberanian negara untuk benar-benar hadir.
*) Fakih Usman adalah Inspektur Kemen PPPA.







