Natal, Keluarga, dan Luka Zaman
December 22, 2025 02:22 AM

Oleh: 
Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus STF Seminari Pineleng dan IAIN Manado

NATAL 2025 datang bukan dalam dunia yang sedang baik-baik saja. Ia hadir di tengah rumah-rumah yang retak oleh ketidakpastian ekonomi, di tengah keluarga-keluarga yang kehilangan tanah, pekerjaan, bahkan anggota keluarganya akibat bencana ekologis yang berulang di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Di tengah nyala lilin dan kidung malam kudus, ada tangisan yang tidak terdengar; ada luka yang tidak disembuhkan oleh retorika religius; dan ada pertanyaan iman yang menggugat: di manakah manusia ketika Allah memilih untuk hadir?

Tema Natal KWI-PGI 2025, “Allah Hadir untuk Menyelamatkan Keluarga”, tidak boleh direduksi menjadi slogan liturgis yang menenangkan perasaan, tetapi harus dibaca sebagai kritik profetis terhadap dunia yang membiarkan keluarga menjadi korban dari keserakahan, ketidakadilan, dan kebijakan yang abai terhadap kehidupan. Natal bukan sekadar peristiwa spiritual, melainkan peristiwa politik dalam arti terdalamnya: Allah mengambil posisi, dan posisi itu berpihak pada keluarga yang rapuh.

Inkarnasi sebagai Kritik Radikal terhadap Kekuasaan

Secara teologis, Natal berakar pada misteri inkarnasi: “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14). Inkarnasi bukan peristiwa metafisis yang steril dari sejarah, melainkan keputusan ilahi untuk masuk ke dalam realitas sosial yang timpang, keras, dan tidak ramah terhadap kehidupan. Allah tidak memilih istana Herodes, tetapi kandang ternak; bukan pusat kekuasaan, melainkan pinggiran.

Pilihan ini bersifat subversif. Ia menggugat teologi kemapanan yang mengidentikkan berkat Allah dengan kekayaan, stabilitas, dan kuasa politik. Seperti ditegaskan Moltmann (1993), inkarnasi adalah solidaritas Allah dengan penderitaan manusia, bukan legitimasi atas struktur yang menindas. Dengan lahir dalam keluarga miskin Nazaret, Allah menolak keselamatan yang elitis dan memilih keselamatan yang berwajah keluarga.

Dalam konteks Indonesia hari ini, inkarnasi menjadi kritik tajam terhadap model pembangunan yang memproduksi pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan sosial dan ekologis. Ketika tambang, perkebunan skala besar, dan proyek infrastruktur merampas ruang hidup keluarga, Natal bertanya dengan nada profetis: pembangunan untuk siapa, dan dengan korban siapa?

Keluarga Nazaret dan Realitas Keluarga Indonesia

Keluarga Kudus bukan keluarga ideal dalam pengertian romantik. Maria menghadapi stigma sosial; Yusuf berhadapan dengan dilema moral dan ketidakpastian ekonomi; Yesus lahir sebagai anak yang segera menjadi target kekerasan negara (Mat. 2:13-18). Keluarga Nazaret adalah keluarga rentan secara sosial, politik, dan ekonomi.

Dalam hal ini, Kitab Suci justru sangat relevan dengan realitas keluarga Indonesia hari ini. Data kemiskinan, kerentanan pekerjaan informal, serta dampak bencana ekologis menunjukkan bahwa jutaan keluarga hidup dalam situasi “Nazaret kontemporer”: bekerja keras tanpa jaminan, tinggal di ruang yang rawan, dan mudah tersingkir oleh kepentingan modal.

Natal menegaskan bahwa keselamatan Allah tidak bekerja di luar sejarah keluarga, melainkan di dalamnya. Namun di sisi lain, hal ini juga berarti bahwa setiap sistem sosial yang menghancurkan keluarga adalah sistem yang berlawanan dengan kehendak Allah (Brueggemann, 2016).

Kesederhanaan Natal sebagai Kritik atas Konsumerisme Religius

Natal modern sering kali terjebak dalam paradoks: merayakan kelahiran Sang Miskin dengan pesta konsumsi yang berlebihan. Kesederhanaan palungan berubah menjadi dekorasi estetis, sementara pesan etisnya diredam oleh logika pasar. Dalam perspektif etika sosial, ini adalah bentuk domestikasi iman – iman dijinakkan agar tidak mengganggu kenyamanan kelas menengah dan elite.

Padahal, kesederhanaan Natal bukan ajakan asketisme kosong, melainkan kritik terhadap akumulasi dan keserakahan. Paus Fransiskus (2015) menegaskan bahwa krisis ekologis dan krisis sosial bersumber dari paradigma teknokratis yang menempatkan keuntungan di atas martabat manusia dan alam. Bencana di Sumatra tidak bisa dilepaskan dari deforestasi, eksploitasi tambang, dan tata kelola lingkungan yang koruptif.

Natal yang tidak berani menyebut dosa struktural hanya akan menjadi perayaan sentimental. Sebaliknya, Natal yang setia pada Injil adalah Natal yang mengganggu nurani, menolak normalisasi kemiskinan, dan menuntut pertobatan kolektif.

Dari Emosi Moral ke Tanggung Jawab Struktural

Bela rasa (compassion) sering direduksi menjadi empati sesaat dan bantuan karitatif. Dalam konteks bencana, kita menyaksikan banjir solidaritas, tetapi juga cepatnya lupa setelah media beralih ke isu lain. Dari sudut pandang etika Kristiani, ini tidak cukup.

Yesus tidak hanya “tergerak oleh belas kasihan”, tetapi juga memulihkan struktur relasi yang rusak: menyembuhkan, memberi makan, menantang hukum yang menindas (Luk. 4:18–19). Bela rasa sejati harus bertransformasi menjadi keadilan sosial (Gutiérrez, 1988).

Karena itu, Natal 2025 menuntut pertanyaan yang tidak nyaman:

  • Mengapa keluarga miskin selalu menjadi korban pertama bencana?
  • Mengapa kerusakan ekologis jarang berujung pada pertanggungjawaban hukum yang serius?
  • Mengapa negara sering hadir terlambat, atau hanya sebatas prosedural?

Luka Psikologis dan Spiritualitas Pemulihan

Dari perspektif psikologi sosial, bencana meninggalkan trauma kolektif: kecemasan kronis, rasa tidak aman, dan hilangnya kepercayaan pada masa depan (Herman, 2015). Keluarga adalah ruang pertama yang menanggung beban ini, terutama perempuan dan anak-anak.

Natal tidak menghapus trauma secara magis. Namun ia menawarkan narasi pemulihan: Allah yang lahir sebagai anak rentan menegaskan bahwa kerapuhan bukan aib, melainkan ruang perjumpaan dengan rahmat. Gereja dan komunitas iman dipanggil untuk melampaui ritual menuju pendampingan psikososial yang berkelanjutan dan inklusif.

Manusia, Alam, dan Putusnya Relasi

Secara antropologis, krisis ekologis mencerminkan krisis cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri. Alam direduksi menjadi objek eksploitasi; manusia melihat dirinya sebagai penguasa, bukan bagian dari jejaring kehidupan (Descola, 2013).

Natal menghadirkan antropologi alternatif: Allah menjadi manusia, bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk berelasi. Inkarnasi memulihkan relasi manusia dengan Allah, sesama, dan alam. Keluarga menjadi ruang pendidikan ekologis pertama – tempat nilai hormat, cukup, dan tanggung jawab diwariskan lintas generasi.

Negara, Hukum, dan Keselamatan Keluarga

Dari sudut pandang hukum, keselamatan keluarga berkaitan langsung dengan hak konstitusional atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika pembiaran terhadap perusakan lingkungan terjadi, negara gagal menjalankan mandat dasarnya.

Natal mengingatkan bahwa hukum tanpa keadilan substantif adalah kekerasan terselubung. Penegakan hukum ekologis bukan pilihan moral tambahan, melainkan keharusan etis dan yuridis demi melindungi keluarga hari ini dan generasi mendatang (Rawls, 1999).

Natal sebagai Panggilan Profetis Kolektif

Natal 2025 bukan hanya perayaan iman, tetapi seruan pertobatan publik. Allah telah hadir – pertanyaannya kini: apakah manusia bersedia berubah? Keselamatan keluarga menuntut keberanian melampaui simbol, menuju transformasi gaya hidup, kebijakan, dan struktur ekonomi.

Di tengah kemiskinan, ketidakpastian ekonomi, dan bencana ekologis akibat keserakahan manusia, Natal menegaskan bahwa harapan tidak lahir dari optimisme kosong, melainkan dari keberanian moral untuk berpihak pada kehidupan. Dari palungan yang sunyi, terdengar seruan yang tajam: keselamatan dimulai ketika keluarga dilindungi, alam dirawat, dan keadilan ditegakkan. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.