Oleh: Jafar Insya Reubee*)
TAK terbantahkan bahwa Aceh memiliki akar histori yang heroik tentang pengaruh dan jasanya di Dunia Melayu. Bahkan, Aceh adalah kiblat peradaban Islam di Asia Tenggara.
Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, mencatat kontribusi dan hegemoni Aceh dalam jejaring dunia Melayu hingga seluruh pulau di sekitarnya.
Klaim Azyumardi yang asal Sumbar ini dapat dibuktikan pada data historik lain, yang mana Kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara berada di tanah Aceh.
Dalam hal ini, saya sempat mengikuti kajian agama di “Aceh Corner” Green Wood Negeri Selangor yang menghadirkan Hasan Basri M Nur, pelajar asal Aceh di UUM Malaysia, sebagai nara sumber.
Menurut Hasan Basri, terdapat tiga teori tentang Kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara, dan ketiga teori tersebut menempatkan Aceh sebagai porosnya.
Dahsyat bukan? Adalah bukan dongeng, Aceh adalah bangsa besar pada masa lampau, penguasa Selat Melaka. Para sejarawan Melayu sepakat tentang ini.
Teori pertama menyebutkan Kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara adalah Peureulak, Aceh Timur sekarang ini. Temuan ini dicatat oleh penjelajah Eropa, Marcopolo.
Teori pertama ini diajukan oleh Prof Ali Hasyimi dalam pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam pada tahun 1980-an awal.
Saat itu, sempat dibangun Monisa (Monumen Islam Asia Tenggara) di Aceh Timur, tapi sekarang tak ada kabar lagi. Ayo, Bupati Al-Farlaki, lanjutkan dan perkuat teori ini.
Teori kedua menyepakati bahwa Kerajaan Samudra Pasai yang berpusat di Kecamatan Samudra, Aceh Utara, adalah sebagai Kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara.
Teori ini diakui oleh semua ilmuwan dunia, karena adanya peninggalan histori berupa batu nisan Raja Meurah Silu (Malik As-Salih) dan raja-raja penerusnya di Desa Beringin, Kecamatan Samudra.
Teori ketiga menyebutkan Kerajaan Lamuri di Aceh Besar sebagai kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. Teori ini diajukan oleh Prof Dr Husaini Ibrahim MA dalam kajian disertasinya di USM Malaysia.
Dapat disimpulkan, ketiga teori tersebut menempatkan Aceh (Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Besar) sebagai sentral peradaban Islam masa lampau. Sungguh besar nama Aceh pada masa itu.
Namun, seiring pembatalan Traktat Sumatra oleh Belanda dan Inggris pada 1924, suasana Aceh perlahan berubah.
Inggris dan Belanda mulai merusak kebesaran dan kejayaan Aceh. Kita menuntut dan berharap agar Inggris dan Belanda dapat meluruskan masalah ini, sekarang juga.
Pasca pembatalan Traktat Sumatra 1924, awal mula kekacauan adalah manakala Kerajaan Belanda membuat Maklumat Perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada 1873.
Walau kalah pada gelombang pertama yaitu pada April 1873 yang mana Panglima Perang Belanda tewas di tangan pejuang Aceh, namun Belanda menyerbu lagi pada Desember 1873. Jahat benar kalian Belanda ya.
Sejak Maklumat Perang 1873 oleh Kerajaan Belanda, nyaris membuat Aceh tak pernah merasa senang sejak saat itu hingga kini: Deuk Troe, Ruyang Rayoe, Saket Asoe sepanjang masa.
Oh, Belanda, jahat sekali kalian. Kita wajib meminta Belanda untuk mencabut Maklumat Perang itu. Perang itu harus diselesaikan secara damai.
Saat ini, pada 2025, rakyat Aceh makin phang phoe (hancur lebur) setelah hantaman badai banjir bandang akibat ulah tangan jahat yang membabat hutan Sumatra.
Rakyat di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie Jaya, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues hingga Aceh Tenggara, saat ini menjerit dalam kelaparan, ancaman kemiskinan dan penyakit.
Mereka seakan tak memiliki tempat mengadu selain kepada Allah melalui doa. Semoga kejayaan Aceh masa lampau akan ter-reinkarnasi dalam waktu dekat dan rakyatnya tidak lagi deuk troe (kelaparan). Amin.
*) PENULIS adalah Pemerhati Pembangunan Aceh, berdomisili di Negeri Selangor Kerajaan Malaysia.