TRIBUNTRENDS.COM - Pola promosi film di era digital mengalami pergeseran signifikan.
Ketergantungan pada wawancara panjang di media cetak maupun tur pers konvensional kian berkurang, seiring meningkatnya peran media sosial sebagai panggung utama pemasaran.
Para aktor kini tampil langsung sebagai penggerak utama promosi karya mereka.
Salah satu strategi yang semakin mencuri perhatian adalah method marketing, yakni pendekatan promosi di mana aktor mempertahankan karakter, simbol visual, atau narasi film bahkan di luar layar selama periode promosi berlangsung.
Konsep ini merupakan perluasan dari metode akting ke ranah pemasaran.
Baca juga: Orang Terdekat Dicurigai Jadi Pembunuh Anak Maman Suherman, Susno Duadji Peringatkan Satu Hal
Timothée Chalamet menjadi contoh paling menonjol melalui film Marty Supreme.
Dalam beberapa bulan terakhir, sebagaimana dilaporkan The Standard, aktor berusia 29 tahun itu secara konsisten tampil dengan warna oranye mencolok, baik di karpet merah, pemutaran khusus, hingga saat muncul di ruang publik bersama kekasihnya, Kylie Jenner.
Pilihan visual tersebut mungkin menuai pro dan kontra, namun dari sudut pandang pemasaran justru terbukti ampuh.
Warna oranye perlahan menjelma sebagai penanda budaya yang langsung diasosiasikan publik dengan Marty Supreme.
Warna ini bukan sekadar aksesori promosi.
Dalam film tersebut, Chalamet memerankan Marty Mauser, tokoh fiktif yang terinspirasi dari legenda tenis meja Marty Reisman.
Dalam salah satu adegan, Mauser mengklaim dirinya sebagai pencetus bola pingpong berwarna oranye, sebuah taktik untuk menarik perhatian publik pada olahraga itu.
Di dunia nyata, ide tersebut seolah diterjemahkan Chalamet menjadi kampanye promosi yang nyata dan berkelanjutan.
Dari sinilah istilah method marketing menemukan bentuknya.
Chalamet bahkan tampil dalam sebuah video viral berupa rapat pemasaran fiktif bersama eksekutif A24.
Di sana, ia melontarkan gagasan promosi absurd, mulai dari “menjatuhkan bola pingpong dari langit” hingga “mengecat Patung Liberty menjadi oranye”.
Dalam video tersebut, ia menanggapi presentasi dengan komentar singkat bernada parodi, “Keren,” yang diucapkan dengan santai.
Justru sikap inilah yang membuat publik merasa dilibatkan dalam lelucon, bukan sekadar menjadi sasaran promosi.
Keberhasilan strategi ini terletak pada kesadaran diri sang aktor.
Chalamet tak tampil sebagai figur yang kaku atau terlalu serius, melainkan sebagai bintang yang memahami dinamika internet.
Ia menunjukkan bahwa viralitas bukan hasil kebetulan, melainkan produk perencanaan yang matang.
Pendekatan ini juga diperkuat lewat strategi merchandise Marty Supreme.
Jaket rancangan Nahmias bertuliskan judul film dikenakan oleh figur lintas generasi, seperti Hailey Bieber, Tom Brady, dan Bill Nye.
Langkah tersebut memperluas jangkauan simbol film ke berbagai segmen budaya.
Desainer Doni Nahmias menjelaskan, “Ini adalah bagian dari rencana peluncuran, menghadirkan orang-orang yang kami anggap mewakili makna ‘kehebatan’.” Dampaknya signifikan: jaket yang semula dijual sekitar £190 kini diperdagangkan kembali dengan harga ribuan pound.:"
Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam lanskap pemasaran hiburan.
Media tradisional kian kehilangan daya tarik, sementara selebritas memilih berkomunikasi langsung dengan penggemar melalui media sosial.
The New York Times menulis pada 2023, “Generasi selebritas baru berbagi secara luas di media sosial dengan cara mereka sendiri, bergerak cepat dan tanpa perlu kesabaran atau tekanan seperti dalam wawancara tradisional.” Janji jurnalisme selebritas tentang akses eksklusif pun semakin memudar.
Chalamet memanfaatkan kondisi ini secara strategis. Ia pernah mengumumkan pemutaran khusus filmnya lewat Instagram dengan pesan singkat, “Datang ke sini. Jam 9 malam. Saya akan memutar 30 menit pertama ‘Marty Supreme’.”
Ratusan penggemar kemudian memadati lokasi acara.
Kehadirannya yang dikawal pria berkostum helm bola pingpong oranye pun langsung membanjiri linimasa media sosial keesokan harinya.
Strategi viral semacam ini yang kerap “nyaris melanggar batas” juga diterapkan oleh aktor dan studio lain.
Zendaya, misalnya, dikenal dengan method dressing melalui busana tematik yang selaras dengan karakter filmnya.
Lionsgate dan Yorgos Lanthimos pun mengandalkan promosi berbasis pengalaman ekstrem yang dirancang untuk memancing percakapan daring.
Namun, Chalamet memiliki pembeda yang jelas: ia tetap menjaga jarak dari ranah personal.
Aksi viral yang dilakukan tidak bertujuan membuka kehidupan pribadinya, melainkan menciptakan momen yang sengaja dirancang agar mudah dibagikan dan diperkuat oleh algoritma media sosial.
Method marketing pun menandai babak baru dalam promosi hiburan, saat aktor bukan hanya wajah film, tetapi juga perancang utama gema budaya di sekitarnya.
Selama pendekatan ini masih efektif, bukan tak mungkin semakin banyak bintang akan menempuh jalur serupa, setidaknya hingga dunia maya menemukan sensasi berikutnya.
***
(TribunTrends.com/MNL)