Sepenggal Kisah Perjalanan Perempuan Banjarbaru Taklukkan Rasa Takut Lewat Olahraga Ekstrem
December 22, 2025 03:52 PM

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU- Bagi Ayuzarika Al Tauri, hidup adalah petualangan. Perempuan yang akrab disapa Cha ini pun begitu cinta pada olahraga ekstrem.

Hingga usia 42 tahun, Cha telah menekuni berbagai olahraga ekstrem, mulai dari diving, trail adventure, naik gunung, panjat tebing, hingga paralayang.

Namun siapa sangka, kecintaannya itu bermula dari keterbatasan. “Waktu kecil cuma bisa lihat olahraga ekstrem dari televisi atau film. Biayanya mahal, jadi rasanya mustahil bisa mencoba,” kenangnya, Minggu (21/12).

Obsesi itu baru benar-benar terwujud saat Cha memiliki penghasilan sendiri. Dia mulai mengikuti berbagai kursus dan sertifikasi olahraga ekstrem. Hal ini karena hampir semua olahraga menantang mensyaratkan lisensi serta perlengkapan khusus yang tak murah.

Salah satu titik awal terbesar dalam hidup Cha adalah dunia diving. Dari sekadar coba-coba, Cha mengikuti latihan kelas pemula, naik ke level advance, specialty, dive guide, dive master, hingga akhirnya mencapai tingkat profesional sebagai instruktur.

Baca juga: BREAKING NEWS- Selebgram Balangan Kalsel Ditahan, Imbas Kasus Video Asusila Sesama Jenis 

 Baca juga: Penyaluran KUR Kalsel Tembus Rp4,61 Triliun, Kepada 75 Ribu Debitur

“Alhamdulillah, sekarang sudah bisa melatih dan mengeluarkan lisensi,” katanya.

Cha bahkan mendirikan sekolah selam bernama Borneo Cha Divecenter di Banjarbaru. Dari hobi, diving pun berkembang menjadi profesi dan sumber penghasilan.

Kecintaannya pada alam juga tersalurkan lewat trail adventure. Bagi Cha, memacu motor trail di jalur offroad adalah kombinasi sempurna antara hobi bermotor dan eksplorasi alam. “Masuk hutan, naik gunung, lewati lembah dan sungai. Tantangannya nggak bisa ditebak. Justru di situ adrenalin dan serunya,” ucapnya.

Petualangan Cha berlanjut ke cabang olahraga lain yakni paralayang hingga dipercaya menjadi atlet Kota Banjarbaru pada Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Tanahlaut. Hasilnya tak main-main, dia mengantongi 1 medali emas, 1 perak, dan 4 perunggu.

Bagi Cha, label “ekstrem” bukan soal nekat, melainkan soal pemahaman dan kesiapan. Menurutnya, semua olahraga memiliki risiko, baik yang disebut ekstrem maupun tidak. “Kuncinya ada di ilmu dan prosedur. Kalau sudah belajar, ikut kursus, dan punya lisensi, risiko bisa diminimalisir. Percaya pada instruktur dan jangan abaikan safety,” tegasnya.

Cha punya cara sendiri memaknai rasa takut. Baginya, takut muncul karena ketidaktahuan. “Apa yang menakutkan justru harus dipelajari. Takut jatuh saat paralayang? Pelajari teknik jatuh yang aman. Takut kehabisan napas saat diving? Belajar prosedur darurat. Semua ada ilmunya,” jelasnya.

Meski terlihat tangguh, Cha mengaku tantangan terberatnya bukan cedera atau medan ekstrem, melainkan waktu.  Karena harus membagi peran antara pekerjaan, hobi, serta keluarga. “Waktu itu yang paling mahal,” katanya sambil tertawa.

Namun justru dari olahraga ekstrem, Cha belajar membentuk karakter. Terbiasa berada di situasi tertekan dan tak terduga membuatnya lebih fokus dan tidak mudah panik. “Kuncinya fokus. Sisanya serahkan ke Tuhan. Karena pada akhirnya, ada takdir yang tidak bisa kita ubah,” ucapnya.

Bagi Cha, kata “jatuh” bukanlah kegagalan. Ia lebih menyebutnya sebagai keberhasilan yang tertunda. “Kalau jatuh ya bangun lagi. Jatuh lagi, bangun lagi. Seratus kali jatuh, 101 kali harus bangkit, sampai waktu yang bilang cukup,” ujarnya.

Selama fisik masih mampu, Cha mengaku akan terus berpetualang. Olahraga ekstrem sudah menjadi gaya hidup.

Meski begitu, keluarga tetap nomor satu. Dukungan pun mengalir penuh, bahkan suami dan anak-anaknya ikut menyukai olahraga ekstrem. “Anak-anak saya umur 8 tahun sudah diving, umur 12 sudah paralayang,” tuturnya.

Cha pun ingin mewariskan semangat kepada generasi muda. Menurutnya, tak ada batasan usia untuk memulai olahraga ekstrem. Hambatan utama biasanya hanya waktu dan biaya. “Teman saya ada yang baru diving di usia 58 tahun. Masa anak muda kalah," ungkapnya.

Di akhir kalimat, Cha mengingatkan olahraga ekstrem adalah simbol kebebasan menaklukkan rasa takut, namun tetap harus dibarengi kerendahan hati. “Di alam, kita bukan siapa-siapa. Kita hanya makhluk kecil yang sedang menikmati ciptaannya. Tetap rendah hati, jangan sombong, dan selalu tawakal,” tutupnya. (andra ramadhan)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.