TRIBUN-TIMUR.COM, YOGYAKARTA- Dukungan kepada Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar beserta jajaran Syuriyah Nahdlatul Ulama terus mengalir.
Salah satunya adalah a’wan PBNU sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Prenggan, Kotagede, KH Abdul Muhaimin, meminta Rais Aam PBNU KH. Miftahul Akhyar beserta jajaran Syuriyah Nahdlatul Ulama tetap teguh berpegang pada konstitusi organisasi.
Ia menegaskan, pimpinan NU tidak boleh tunduk pada tekanan, ancaman, atau ultimatum dari pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas struktural sebagaimana diatur dalam AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU.
Menurut KH. Abdul Muhaimin, menjaga marwah dan kedaulatan konstitusi organisasi adalah keharusan.
Ia mengingatkan kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, mencegah kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan, terutama bila upaya yang ditempuh berisiko melemahkan AD/ART atau mereduksi kehormatan jam’iyyah.
Dalam konteks ikhtiar islah, ia menekankan bahwa seluruh langkah penyelesaian dinamika internal Nahdlatul Ulama wajib berada di rel konstitusi.
Baca juga: Sahabat Ansor, PMII dan Pentolan NU Mengenang 360 Hari Wafatnya H Tonang
“Islah itu penting, tetapi caranya tidak boleh bertentangan dengan AD/ART dan Perkum NU,” ujarnya.
KH. Abdul Muhaimin juga menilai forum bertajuk “Musyawarah Kubro” yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo tidak memiliki dasar konstitusional.
Ia merujuk Anggaran Dasar NU Pasal 22 yang hanya mengenal forum permusyawaratan sah: Muktamar, Muktamar Luar Biasa, Musyawarah Nasional Alim Ulama, dan Konferensi Besar.
“Tidak ada nomenklatur Musyawarah Kubro dalam AD NU,” tegasnya.
Lebih lanjut, Pasal 27 AD NU, kata dia, hanya mengatur jenis rapat seperti Rapat Kerja, Rapat Pleno, Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah, serta rapat lain yang tidak memiliki kewenangan setingkat Muktamar. Dengan demikian, hasil Musyawarah Kubro tidak dapat dikategorikan sebagai keputusan resmi jam’iyyah yang mengikat.
Ia juga menggarisbawahi batas kewenangan mustasyar. Dalam AD NU Pasal 17, mustasyar berfungsi memberi nasihat kepada pengurus sesuai tingkatannya, diminta atau tidak diminta. “Mustasyar bukan institusi eksekutif atau legislatif. Wewenangnya sebatas nasihat, bukan memaksakan kehendak, apalagi dengan ancaman. Jika itu terjadi, jelas melampaui batas dan menjadi preseden buruk bagi NU,” katanya.
Terkait keputusan organisasi, KH. Abdul Muhaimin mengingatkan bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama telah menggelar Rapat Pleno pada 9 Desember 2025 di Hotel Sultan.
Forum tersebut, menurutnya, sah secara konstitusional dan telah mengambil keputusan organisasi yang legal, prosedural, dan legitimated.
Kehadiran sejumlah pejabat negara dalam Rapat Pleno itu, termasuk Kementerian Agama Republik Indonesia dan pemerintah daerah, dinilai sebagai pengakuan atas legalitas forum.
“Tidak mungkin pejabat negara menghadiri kegiatan ilegal,” ujarnya.
Karena itu, ia menegaskan, seluruh pengurus dan warga NU wajib mematuhi keputusan Rapat Pleno PBNU sebagai keputusan resmi jam’iyyah.
Adapun berbagai saran, rekomendasi, dan aspirasi dari forum non-struktural atau kultural NU tetap dihormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi internal, namun tidak memiliki daya ikat organisatoris.
“NU besar karena musyawarah, dan tetap utuh karena aturan. Keduanya harus berjalan seiring—tanpa saling meniadakan,” katanya.(*)