TRIBUN-TIMUR.COM - Kasus dugaan penipuan yang menyeret nama mantan anggota DPD RI, Bahar Ngitung, masih menjadi sorotan publik.
Setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditreskrimum Polda Sulawesi Selatan, desakan agar Bahar segera ditahan semakin menguat.
Desakan itu datang dari berbagai kalangan, termasuk pegiat hukum Firmansyah Muis.
Ia menilai penahanan layak dilakukan karena unsur hukum acara pidana sudah terpenuhi.
“Penetapan tersangka berarti penyidik sudah memiliki bukti permulaan yang cukup. Sesuai Pasal 21 KUHAP, penahanan bisa dilakukan jika ada risiko tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan pidana. Dalam kasus ini, alasan itu relevan,” kata Firmansyah, Senin (22/12/2025).
Bahar Ngitung ditetapkan tersangka atas dugaan penipuan dan atau penggelapan sesuai Pasal 378 dan/atau 372 KUHP.
Penyidik Polda Sulsel telah mengeluarkan SPDP dan melimpahkan berkas ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan untuk diteliti.
Namun, hingga kini, Bahar belum ditahan.
Firmansyah menilai kondisi ini bisa menimbulkan persepsi negatif di masyarakat, terutama karena tersangkanya mantan pejabat negara.
“Penahanan bukan hukuman, tapi instrumen hukum agar proses penyidikan tidak terganggu. Jangan sampai publik menilai ada perlakuan khusus,” tegasnya.
Selain itu, sejumlah pihak menyoroti belum jelasnya identitas korban dalam kasus ini.
Hingga kini, kepolisian belum mengumumkan siapa yang dirugikan.
“Ketiadaan informasi soal korban justru menegaskan pentingnya penahanan dan transparansi. Publik berhak tahu duduk perkara sebenarnya,” ujar Muis.
Ia menekankan keterbukaan soal alur transaksi dan posisi korban penting untuk mencegah spekulasi dan menjaga kredibilitas penegak hukum.
Berkas Bahar Ngitung saat ini masih berstatus P-19, artinya dikembalikan jaksa untuk dilengkapi.
Tersangka dan barang bukti juga belum diserahkan ke kejaksaan.
“Kami mendorong Polda Sulsel segera melengkapi berkas, menetapkan langkah penahanan, dan membawa perkara ini ke tahap penuntutan. Jangan biarkan kasus ini berlarut tanpa kepastian hukum,” kata Firmansyah.