TRIBUNBATAM.id - Wacana Presiden RI Prabowo Subianto menanam kelapa sawit di Papua untuk menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) menuai penolakan. Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut.
Presiden Prabowo sebelumnya menyampaikan keinginannya agar lahan di Papua dimanfaatkan untuk penanaman sawit guna mendukung swasembada energi nasional dalam lima tahun ke depan.
Hal itu disampaikannya dalam Rapat Percepatan Pembangunan Papua bersama sejumlah kepala daerah se-Papua di Istana Negara, Rabu (17/12/2025).
Selain sawit, Prabowo juga mewacanakan penanaman tebu dan singkong sebagai bahan baku etanol untuk mendukung ketahanan energi Indonesia.
Namun, Ahok menilai rencana menjadikan Papua sebagai kawasan perkebunan sawit tidak masuk akal dan berpotensi merusak lingkungan. Penolakan itu disampaikannya melalui kanal YouTube miliknya pada Minggu (21/12/2025).
“Ini enggak masuk akal sehat,” kata Ahok menanggapi wacana tersebut.
Ahok mengakui bahwa sejumlah negara maju tidak terlepas dari praktik deforestasi, termasuk China dan Malaysia. Meski begitu, ia menegaskan pembukaan lahan di negara-negara tersebut tidak dilakukan secara serampangan.
“Malaysia itu buka sawit di bekas tambang. Di China, pembukaan lahan tambang harus seimbang dengan reboisasi,” ujarnya.
Berbeda dengan Indonesia, Ahok menilai kebijakan lingkungan saat ini cenderung hanya menebang hutan tanpa upaya pemulihan yang seimbang.
“Kita cuma potong saja, enggak ada penanaman. Hutan lindung pun disikat, dicuri, dan pura-pura enggak tahu,” tegasnya.
Karena itu, Ahok menentang keras jika Papua dijadikan kawasan perkebunan sawit baru. Ia hanya memberi pengecualian apabila sawit ditanam di lahan bekas tambang atau wilayah yang sudah rusak dan tandus.
“Kalau Papua itu jadi ganti sawit, saya menentang. Tapi kalau daerah bekas tambang, tailing, daerah yang tandus, itu masih oke untuk ketahanan energi,” katanya.
Ahok pun menutup pernyataannya dengan perumpamaan yang menyentil keras kebijakan tersebut.
“Jadi kata nenek saya, jangan tukar beras dengan ubi,” pungkasnya.
Pernyataan Ahok ini menambah panjang polemik rencana pemanfaatan lahan Papua, yang dinilai harus mempertimbangkan aspek lingkungan, keberlanjutan, dan hak masyarakat setempat.
Politisi PDIP Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) buka-bukaan soal boroknya permainan bos sawit dalam mempermainkan hasil sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Hal itu diungkapkan Ahok di channel Youtube miliknya pada Minggu (21/12/2025) usai wacana tanam sawit di Papua diutarakan Presiden RI Prabowo Subianto.
Ahok terang-terangan tidak setuju tanah Papua diubah menjadi lahan perkebunan sawit seperti Sumatra dan Kalimantan.
Pasalnya kata Ahok, sawit bukan solusi untuk memperbaiki ekonomi Papua. Sebab banyak permainan kotor yang dilakukan bos sawit.
Hal inilah kata Ahok, yang membuatnya menolak membuka lahan sawit di Pulau Belitung saat dirinya menjadi Bupati Belitung Timur.
Ahok mengatakan bahwa dirinya sudah tahu permainan bos-bos sawit dalam mengakali pembukaan lahan hijau menjadi sawit.
Biasanya kata Ahok, bos sawit hanya modal pinjam nama orang untuk bisa buka lahan apabila pemerintah membuka lahan sawit dengan model perkebunan rakyat (PR).
“Karena plasma 20 persen apalagi 80 persen ditemukan di lapangan banyak nomini, pinjam nama orang doang, itu tidak jalan,” jelas Ahok.
Maka kata Ahok, cara agar mengakali pengusaha sawit yang nakal saat itu dirinya mengusulkan agar pengusaha mau memberikan hasil 20 atau 40 persen hasil sawit ke koperasi desa.
Hal ini kata Ahok, harusnya bisa dilihat Prabowo sebagai peluang. Apalagi pemerintah saat ini memiliki program koperasi desa.
Di mana seharusnya hal itu bisa dimanfaatkan untuk mengelola sawit rakyat. Bukan melalui BUMN atau pun swasta.
“Harusnya koperasi yang memegang, bukan lagi BUMN,” jelas Ahok.
Sebagian masyarakat Papua menolak adanya penanaman pohon sawit.
Beberapa kelompok masyarakat Papua yang menolak sawit adalah masyarakat adat suku besar Tehit bersama sub-suku Mlaqya, Gemna, Afsya, Nakna, dan Yaben seperti dimuat Walhi Papua pada 3 November 2025.
Mereka mendiami wilayah Distrik Konda dan Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya.
Mereka menolak rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh sebuah perusahaan sawit dalam negeri.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan kepada masyarakat, masyarakat adat menegaskan bahwa mereka tidak pernah memberikan persetujuan kepada pihak manapun untuk menguasai atau memanfaatkan tanah dan hutan adat mereka.
“Kami tidak pernah menyerahkan sejengkal pun tanah adat kepada perusahaan atau pemodal. Tanah dan hutan adat adalah sumber kehidupan kami yang telah diwariskan secara turun-temurun,” ujar Holland Abago, perwakilan masyarakat adat Tehit, Selasa (28/10/2025).
Mereka menilai, proses perizinan dan rencana operasi perusahaan sawit tersebut dilakukan tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.
Selain itu, masyarakat menilai proyek tersebut bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menekan emisi karbon, sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB ke-80 di New York pada 23 September 2025.
“Rencana perkebunan sawit ini bertentangan dengan komitmen negara, konstitusi, serta prinsip pembangunan berkelanjutan. Pemerintah seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat, bukan mengabaikannya,” lanjut Abago.
Dalam pernyataannya, masyarakat adat mengajukan empat tuntutan utama yakni meminta Bupati Sorong Selatan untuk menolak dan tidak mengeluarkan izin usaha perkebunan di atas tanah adat.
Meminta Kepala Kantor Pertanahan Sorong Selatan untuk menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memproses penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah adat Tehit.
Menegaskan bahwa tanah dan hutan adat hanya diwariskan untuk kesejahteraan generasi penerus dan keinginan kehidupan.
Perlu diingat bahwa jika tuntutan tidak ditindaklanjuti, masyarakat akan menggelar aksi besar-besaran sebagai bentuk pembelaan terhadap hak adat mereka.
“Pengetahuan dan komitmen kami dalam menjaga hutan adat selama ini telah memberikan kontribusi bagi kehidupan dan keselamatan bumi. Oleh karena itu, kami menolak segala bentuk eksploitasi yang mengancam masa depan lingkungan dan generasi kami,” tegas Abago.
Perlu diketahui, wilayah adat Tehit di Sorong Selatan selama ini diketahui memiliki kawasan hutan yang masih terjaga dengan baik dan menjadi penyangga penting ekosistem di Papua Barat Daya.
( Tribunpekanbaru.com / wartakota )