Di tengah berbagai tekanan, tim pemulihan bencana Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara layak didukung penuh
Jakarta (ANTARA) - Upaya keras pemulihan bencana alam di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, yang dikawal pemerintah pusat melalui BNPB dan pemerintah daerah, kerap dihadapkan pada berbagai kritik.
Penanganan bencana agar lebih cepat, tanpa memikirkan medan, risiko, dan tingkat kesulitan. Terdengar elegan, namun dengan narasi memojokkan, tanpa berbasis data dan fakta, apalagi menyodorkan gagasan solutif, justru menjadi beban moral tim pemulihan.
Mereka membangun harapan melalui aksi konkret: evakuasi korban, distribusi bantuan, rekonstruksi infrastruktur, sampai menyiapkan tempat tinggal sementara layak korban.
Sementara gelombang kritik mengalir dari masyarakat, media, dan pengamat, terkesan menyerang sisi kelemahan tim, tanpa mempertimbangkan tingkat kesulitan.
Pertanyaannya, bagaimana kritik bisa jadi bagian support system, bukan kontraproduktif? Seperti dikemukakan pakar komunikasi Jürgen Habermas dalam teori komunikasi aksi, perlu dialog rasional yang menghasilkan perbaikan bukan mendistorsi atau mengaburkan esensi. Kritik tanpa dasar empirik hanya memperburuk polarisasi.
Dukungan konstruktif diperlukan untuk jalan keluar sistematis dan memperkuat strategi pemulihan. Di tengah keterbatasan sumber daya dan kompleksitas geografis, kritik seharusnya diniatkan sebagai dukungan menguatkan, bukan mengacaukan.
Karena itu, tim pemulihan, seharusnya bukanlah pihak yang dijadikan sasaran kritik dan kemarahan. Mereka menjalankan kewajiban moral menyelamatkan nyawa dan meringankan beban korban pascabencana. Bagi mereka, tidak ada ruang untuk berdebat, apalagi disampaikan dalam intonasi kemarahan dan kecaman.
Pakar komunikasi John Rawls dalam A Theory of Justice mengatakan bahwa integritas moral mengharuskan tindakan berdasarkan prinsip keadilan rasional, bukan sudut pandang sarat tendensi.
Menghargai perjuangan tim pemulihan dengan nilai kebenaran dan dukungan penuh merupakan prinsip komunikasi kebencanaan yang harus dipegang teguh. Seperti adagium "don't blame anyone for anything", jangan salahkan siapapun atas tindakan apapun. Hal ini bukan sebagai upaya pembenaran atau antikritik, melainkan upaya menciptakan kohesi sosial.
Di saat krisis, dorongan mencari kambing hitam sering menguat, ketimbang dukungan partisipatif, terutama dari oposisi politik atau media yang haus sensasi.
Tim pemulihan membutuhkan daya gedor solusi menyangkut bagaimana distribusi dan alokasi bantuan, koordinasi medis, dan pemulihan ekonomi serta kebutuhan makan korban. Perlu introspeksi apakah kritik itu membantu memecahkan masalah atau justru memperlemah tim yang sedang berjuang di garda depan.
Polarisasi disinformasi
Polarisasi disinformasi bisa memburuk ketika pengamat terburu-buru melontarkan data spekulatif tanpa verifikasi, seperti klaim pemerintah terlambat, tanpa mempertimbangkan konteks medan sulit, seperti di Aceh atau Sumatera Barat.
Kritik dimainkan sebagai penciptaan disinformasi baru menyesatkan. Dari perspektif filsafat komunikasi, hal ini menunjukkan bahwa era post-truth benar-benar mengendalikan fakta, sehingga kebenaran dikooptasi opini.
Pakar komunikasi Lee McIntyre mengatakan disinformasi sering menggantikan realitas faktual, menggeser apa yang sebenarnya terjadi dengan opini spekulatif. Pendekatan sistematis, data ilmiah, dan fakta lapangan melalui validasi cermat, justru diabaikan.
Harapan agar penanganan bencana lebih cepat tanpa memikirkan medan, risiko, dan tingkat kesulitan akan melahirkan kritik tidak elementer, apalagi disampaikan dengan narasi mendiskreditkan. Kondisi ini justru menjadi beban moral tim dan memperburuk keadaan.
Tim membangun narasi harapan melalui aksi konkret: evakuasi korban, distribusi bantuan, rekonstruksi infrastruktur, sampai menyiapkan tempat tinggal sementara yang layak, sedangkan kritik terus mengalir, berubah menjadi serangan tajam pada sisi kelemahan.
Kritik media sosial sering kali kurang validasi data, apalagi sekedar share. Ini dapat memicu disinformasi dan kegentingan baru, padahal tim evakuasi memiliki data real-time yang dapat diakses. Dampaknya, kepercayaan publik runtuh, bantuan terhambat, dan traumatik korban bertambah.
Media sosial, yang memiliki sifat prominen atau kedekatan dengan masyarakat, seharusnya justru melindungi masyarakat dari narasi palsu yang bisa menghancurkan ikatan sosial.
Media sosial dapat menjadi trendsetter dan menjadi rujukan media arus utama karena akurasi datanya. Bukan malah menjadi transmitter berita bohong atau hoaks. Media sosial, karena kekuatan penetrasinya, bisa menjadi penopang tim pemulihan agar bekerja tepat sasaran.
Koordinasi transparansi
Kekuatan utama tim pemulihan adalah koordinasi lintas sektor: pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat sipil. Kolaborasi dapat menghasilkan data transparan, mendorong kerja sama sistematis dan mengokohkan ikatan kontrak sosial.
BNPB mengoordinasikan logistik dengan cepat, di tenda-tenda pengungsian tim medis memberi pelayanan pengobatan dan konseling psikologis, sementara di dapur umum relawan bekerja menyiapkan makanan bagi para pengungsi. Oleh sebab itu kritik tentang "keterlambatan" sering diabaikan karena fokus para tim pemulihan hanya bagaimana meringankan beban para korban.
Inilah pentingnya transparansi sebagai pilar utama rekonstruksi pascabencana. Maka diperlukan sistem pusat pelaporan atau media center yang mengakomodir laporan tim di lapangan secara real-time.
Hal ini, terutama menyangkut pertambahan jumlah korban, langkah penanganan bagi korban yang masih hidup dan hal krusial yang menyangkut kepekaan masyarakat, tanpa manipulasi citra. Inilah yang disebut sebagai demokrasi deliberatif Habermas, dimaksudkan untuk menghindari kevakuman informasi yang dapat diisi konspirasi, dengan informasi kebohongan sehingga memperburuk krisis.
Kekuatan empati
Komunikasi terbuka tim pemulihan dapat tercermin dalam pengakuan kesalahan dan permintaan maaf tulus jika ada persoalan di lapangan yang sulit ditangani. Permintaan maaf bukan kelemahan, tapi kekuatan moral untuk membangun kembali kepercayaan global.
Budaya feodal kita sering menganggap minta maaf sebagai kehilangan muka. Tetapi bagi tim pemulihan, kata maaf justru terdengar humanis, dan bentuk empati pada korban.
Pandangan Charles Taylor menguatkan tesis tersebut, bahwa hidup tak sekadar direfleksikan dari apa yang dijalani, tetapi bagaimana semua itu dikomunikasikan dengan jujur demi integritas nasional. Upaya tim pemulihan tak mengenal kata gagal, tetapi kritik harus tetap dihidupkan bukan di ruang sensasi, melainkan di tataran solusi.
Bukan seperti thread viral di media sosial yang menyalahkan, tanpa data. Prinsip-prinsip ini saling terkait dan menguatkan. Koordinasi menguatkan transparansi, kejujuran membangun kepercayaan, empati menyatukan dan kritik memberi solusi.
Hermeneutika Hans-Georg Gadamer berpesan agar kita memahami konteks sebelum menilai. Di tengah berbagai tekanan, tim pemulihan bencana Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara layak didukung penuh, sebab krisis bukan kematian, tapi peluang bertumbuh.
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen Politeknik Negeri Media Jakarta dan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.







