TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Organisasi Perempuan Mahardhika menyatakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan Tahun 2026.
Penolakan bukan tanpa alasan, namun PP tersebut dinilai tidak berpihak pada kehidupan buruh, khususnya buruh perempuan.
Sikap tersebut disampaikan dalam konferensi pers daring bertepatan dengan peringatan Hari Pergerakan Perempuan, Senin (22/12/2025) sore.
Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Ajeng Pengesti, menilai kebijakan pengupahan terbaru justru melanggengkan politik upah murah dan mengabaikan realitas biaya hidup pekerja.
“PP Pengupahan 2026 mungkin sah secara hukum, tetapi tidak adil secara sosial," tegasnya.
"Negara terlihat lebih sibuk menjaga keuntungan pengusaha ketimbang menjamin buruh bisa hidup layak,” ujar Ajeng melanjutkan.
Baca juga: Menjelang Aksi 16 HAKTP, Perempuan Mahardika Manokwari Soroti Nasib Perempuan di Papua Barat
Ajeng menjelaskan, upah minimum yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan buruh justru dibatasi melalui mekanisme indeks tertentu.
Skema ini dinilai menahan kenaikan upah agar tidak dianggap mengganggu stabilitas ekonomi pengusaha, meski pertumbuhan ekonomi dan keuntungan perusahaan meningkat.
Ia juga mengkritik pemerintah karena tidak menyediakan rumus transparan dalam penentuan indeks tersebut.
Akibatnya, kebijakan yang berdampak pada jutaan pekerja dinilai lebih bersifat politis daripada berbasis kebutuhan hidup riil.
Selain itu, Perempuan Mahardhika juga menyoroti proses penetapan upah yang disebut elitis dan maskulin, dengan minimnya partisipasi buruh perempuan.
“Buruh perempuan tidak dilibatkan, apalagi didengar pendapatnya. Musyawarah tanpa keseimbangan kekuasaan bukanlah keadilan,” tegas Ajeng.
Baca juga: Aksi 16 HAKTP di Manokwari: Perempuan Papua Menolak Diam-Tantang Rezim Anti Demokrasi
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menambahkan terdapat tiga persoalan utama dalam PP Pengupahan 2026.
Kontradiksi kebijakan negara yang agresif mendorong Proyek Strategis Nasional namun abai terhadap kesejahteraan pekerja.
Formula penghitungan upah yang masih bertumpu pada variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga melanggengkan politik upah murah.
Redefinisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dituntut agar disusun secara demokratis dan partisipatif, mencakup kondisi riil pekerja, termasuk sektor digital dan kerja yang diinformalkan.
Ika juga menekankan pentingnya perspektif gender dalam kebijakan pengupahan. Menurutnya, upah perempuan masih dipandang sebagai upah pekerja lajang, tanpa mempertimbangkan kenyataan bahwa banyak perempuan menjadi kepala keluarga.
“Kami menuntut penetapan upah layak berbasis kebutuhan hidup riil dan keadilan gender, serta mendesak demokratisasi proses penetapan upah dengan keterlibatan bermakna buruh perempuan,” tutup Ika.