Menggugat Interpretasi Amar Maruf Nahi Munkar yang Sempit
December 23, 2025 07:50 PM

Oleh : Musyafa Syamil Arroyan, S.Pd
Alumni UIN Saizu dan Mahasiswa Dual Degree in Islamic Studies UIII

BERBICARA kaitannya konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar tentu menjadi suatu yang ajaran umum di tengah Masyarakat Muslim. Praktik melakukan kebaikan yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi larangan, serta memerangi hal yang buruk merupakan suatu ajaran yang melekat, yang barang tentu telah banyak diajarkan sedari kecil. Dalam aktualisasinya, konsep ini memberikan manfaat baik kepada individu itu sendiri, kelompok, maupun masyarakat secara luas.
Tulisan ini dibuat guna merespon penafsiran sebagian pihak yang hari ini nampak sempit kaitanya doktrin tersebut. Selain sering diartikan secara ekstrem, penulis melihat terjadinya suatu pergeseran perilaku masyarakat muslim yang awalnya mendasarkan muamalahnya pada konsep ini, namun hari ini mereka cenderung mengamalkan sebagian ajaranya, mensimplifikasi daripada melakukanya secara utuh. Amar Maruf menjadi bagian yang diminati secara dominan ditengah Masyarakat muslim, namun sebagian sisanya, Nahi Munkar nya nampak gugup dalam pengamalanya.

Mengenal Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam literatur Islam, mudah kita temui riwayat yang membahas dan menjelaskan kaitanya konsep ini. Bahkan di dalam Al-Qur’an Hadist, ajaran Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga disebut dalam banyak kesempatan, tak hanya sekali. Tentu dalam pengalamanya prinsip ini tidak hanya berlaku pada persoalan keagamaan saja, namun juga dalam aspek kehidupan bersosial dan bermuamalah sehari-hari.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang cukup populer dalam memerintahkan konsep ini yakni QS. Al-Imran: 110 yang berbunyi: 
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [Ali Imran/3:110]
Atau dalam suatu hadis Riwayat Hudzaifah yang cukup dikenal yang artinya:
Nabi SAW bersabda “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian benar-benar mengajak kepada yang ma’ruf dan benar-benar mencegah dari yang munkar atau jika tidak, niscaya Allah akan mengirimkan hukuman/siksa kepada kalian sebab keengganan kalian tersebut, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. Tirmidzi dari Hudzaifah ibn al-Yaman, hadits no.  2095).
Secara umum, konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar memberikan penegasan akan kewajiban setiap muslim untuk berbuat baik dengan mengajak dirinya sendiri, orang lain, serta keluarganya dan mencegah atau memerangi perbuatan yang buruk. Namun, tak jarang beberapa pihak melakukan penafsiran yang sempit kepada seruan ini hingga memunculkan upaya-upaya ekstrem seperti takfiri, pembubaran paksa, bahkan tak jarang menjadi alat justifikasi akan kekerasan yang mereka buat. Penulis sendiri lebih ingin menyoroti adanya interpretasi yang sempit lebih pada pengamalan sehari-hari yang cenderung melakukanya dengan pemahaman yang pendek sehingga pengamalanya nampak tak utuh.

Interpretasi yang tak selesai
Selain adanya salah penafsiran yang memicu aktivitas ekstrem dan dijadikanya dalil ini menjadi alat justifikasi akan kekerasan, penulis melihat fenomena interpretasi sempit yang berujung pada simplifikasi value dari konsep ini. interpretasi semacam ini cenderung melakukan penyesuaian dalam aktualisasi semangat doktrinya, sebagian yang menguntungkan akan di lakukan, bagian yang “merugikan” akan di hindari. Dalam pengamalanya, interpretasi semacam ini hanya berhenti pada bagian Amar Maruf atau berbuat kebajikanya saja, bagian Nahi Munkar atau melawan keburukanya tidak menjadi minat. 
Dalam diskursus ini, penulis melihat fenomena dimana kelompok muslim hari ini memang tetap berpegang teguh pada semangat Fastabiqul Khairat atau berlomba dalam kebaikan yang sejalan dengan penekanan ajaran Amar Ma’ruf atau seruan melakukan kebajikan. Namun diwaktu yang sama, mereka tidak melakukan bagian Nahi Munkar nya padahal seringkali banyak keburukan yang berada di depan matanya sendiri. Hal ini penulis amati terjadi pada umat muslim, kelompok Islam bahkan Organisasi Islam itu sendiri di berbagai tingkatan yang diam melihat banyak nya kerusakan, bahkan tak jarang menjadi bagian daripada pelaku kerusakan dan kejahatan itu sendiri.
Sebagian tokoh cendekiawan Islam mendefinisikan doktrin Amar Maruf, Nahi Munkar adalah suatu ajaran yang satu dan integral. Salah satu tokoh tersebut adalah Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah yang berpendapat bahwasanya keduanya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Melansir dari Website Resmi Muhammadiyah, Abdul Muti melihat dua makna dari Amar  Maruf Nahi Munkar sebagai satu kesatuan sehingga Nahi Munkar pun wajib dilakukan dengan cara yang Ma’ruf, bukan dengan cara yang Munkar. Penulis secara umum setuju dengan apa yang di maksud oleh Abdul Mu’ti, terlebih lagi, gagasan ini di tebar dalam rangka mencegah upaya-upaya ekstrem dengan dalih nahi munkar melalui kekerasan
Sebagai contoh, orang yang memberi makan orang yang kelaparan, satu sisi merupakan amalan baik (Amar Ma’ruf), di waktu yang sama, hal ini juga memerangi keburukan (Nahi Munkar) yakni memerangi kelaparan dari orang tersebut. Jadi memang ada benarnya ketika dalam praktiknya keduanya memang satu kesatuan dan saling melengkapi satu sama lain. Namun, menurut penulis, ajaran semacam itu seringkali disalah artikan sehingga mereduksi semangat Amar Maruf Nahi Munkar itu sendiri. 
Melalui pemahaman bahwa dengan berbuat baik juga sudah otomatis memerangi keburukan (Nahi Munkar), pada akhirnya banyak Masyarakat muslim yang cenderung membiarkan praktik keburukan atau kejahatan yang sebenarnya mereka bisa mereka selesaikan melalui upaya mereka. Terkadang, demi merasa aman, tidak mau repot dan juga karena di dukung dengan pemahaman integral tadi membuat Masyarakat untuk tidak berbuat apa-apa, membiarkan praktik jahat itu tetap berlangsung di depan matanya.

Persoalan Praktik Hari ini
Penulis melihat praktik doktrin Amar Ma’ruf Nahi Munkar di tengah Masyarakat muslim di Indonesia nampak tak utuh dalam pengamalanya. Bagi penulis, Doktrin ini nampak terdengar utopis hari ini semenjak mayoritas hanya melakukan bagian Amar Ma’ruf nya saja, bagian memerangi keburukanya (Nahi Munkar) tidak.  Hal ini bisa dilihat ditengah banyaknya dinamika bernegara hari ini, mayoritas nampak hening, sunyi, diam gemetar untuk melontarkan komentar atau kritik yang konstruktif. Semua seakan dibawah cengkraman penguasa dan dibawah bayang-bayangnya. Padahal, mereka tahu adanya kejahatan, kerusuhan di depan matanya tetapi mereka memutuskan untuk diam. Entah apa alasanya.
Sebagai contoh, pada fenomena bencana alam di Indonesia yang baru-baru ini melanda wilayah Aceh dan Sumatera, selain faktor cuaca, bencana ini terjadi karena adanya deforestasi dan praktik tambang besar-besaran yang dilakukan secara dominan oleh pemerintah. Dalam rangka simpati, banyak masyarakat melakukan galang dana untuk membantu para korban terdampak yang mana menjadi hal yang amat mulia, namun dalam melontarkan kritik kepada pelaku, banyak pihak cenderung abstain dari upaya tersebut, meskipun penulis yakin mereka sebenarnya resah akan persoalan tersebut.
Persoalan ini banyak terjadi pada para anak muda, masyarakat muslim, bahkan organisasi-organisasi yang mengaku Islam sekalipun. Bahkan tak jarang, mereka yang mengaku Islam justru malah terlibat menjadi pelaku kerusakan dan kejahatan yang terjadi. Fenomena diamnya pihak-pihak terhadap kejahatan ini merupakan cerminan tidak maksimalnya mereka dalam memanfaatkan potensi mereka memerangi keburukan (Nahi Munkar). Pada akhirnya, hal ini hanya berakhir pada normalisasi yang berujung pada pelemahan daya kritis dan memberikan preseden buruk pada generasi lanjutan tanpa adanya keteladanan.
Bagi penulis, dalam konteks menjadi Masyarakat di suatu negara, khususnya di Indonesia, berani berbeda, melontarkan kritik yang obyektif menjadi suati hal yang mahal, semenjak tak banyak lagi pihak yang minat dan berani. Mereka cenderung menjalani keyakinan berbuat baik sudah cukup, tanpa bertindak melawan keburukan yang ada di depan matanya dengan dalih tak mau repot dan cari masalah. Padahal, jikalau berada forum atau ruang kelas, tak jarang berbicara dan berdiskusi panjang lebar dan lantang kaitanya doktrin-doktrin keagamaan dan perjuangan, namun aktualisasi pada kehidupan sehari-harinya tak jarang terasa begitu sunyi. (***)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.