POSBELITUNG.CO - Alat bukti kasus tudiangan Ijazah Jokowi palsu yang mencapai 721 dinilai sebagai penanganan kasus yang spesktakuler.
Kasus ini pun diduga dikendalikan oleh sosok yang punya kepentingan di belakangnya.
Dugaaan ini disampaikan Penasihat ahli Kapolri, Aryanto Sutadi.
Menrutu dia, karena bermuatan politis, maka kasus tudingan ijazah palsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) tak kunjung usai meski sudah ada penetapan tersangka.
Dalam kasus ini, Bareskrim Polri telah menetapkan delapan orang tersangka.
Mereka adalah Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma, Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis.
Penasihat ahli Kapolri itu juga menduga ada pihak-pihak yang berpolitik dengan menggunakan kasus ijazah palsu Jokowi ini sehingga kasus menjadi berkepanjangan.
"Penyidikan kasus ini seandainya tidak ada muatan politiknya, karena muatan politik antara orang-orang yang berpolitik yang menggunakan masalah sengketa ijazah palsunya Pak Jokowi ini untuk berkelanjutan berkepanjangan," kata Aryanto dilansir Kompas TV, Kamis (25/12/2025).
Aryanto menyebut jika kasus ijazah palsu Jokowi ini murni hanya kasus pidana dan tidak ada muatan politik di baliknya, proses penyidikannya mungkin bisa selesai dalam dua bulan.
Alat bukti yang digunakan juga tidak perlu hingga ratusan dan saksi yang diberiksa juga tak perlu banyak.
"Kalau kasus ini kasus pidana murni, hanya menuduh menggunakan ijazah palsu ya, itu penyidikannya itu kalau ukuran saya sih 2 bulan aja mesti selesai."
"Dulu dari mulai laporan yang disampaikan itu cukup alat buktinya misalkan berapa cuma 20, lah. Kemudian saksinya juga saksi ahli paling lima saja cukup. Kemudian alat-alat bukti yang di lapangan yang ditemukan, bukti digital itu ya 20 aja cukup," kata Aryanto.
Namun, faktanya dalam kasus ijazah palsu Jokowi ini, penyidik harus mengumpulkan alat bukti hingga 721 jumlahnya.
Saksi yang diperiksa penyidik juga sangat banyak, hingga 100 orang saksi, dan ada juga saksi ahli sebanyak 20 orang.
Dari keterangan saksi dan alat bukti yang ada, penyidik juga baru menetapkan tersangka setelah empat bulan penyidikan.
"Tetapi ini karena kasusnya di belakangnya ada orang yang mengendalikan, kalau dalam tanda petik menurut saya itu ya."
"Jadi akhirnya penyidik juga sudah mengumpulkan 712 alat bukti. Menurut saya itu sangat spektakuler ya."
"Kemudian saksinya 100, saksi ahlinya ada 20. Kemarin baru setelah 4 bulan penyidikan baru ditetapkan menjadi tersangka. Tersangka itu pun tidak ditahan," ungkap Aryanto.
Jika Ingin Kasus Cepat Selesai, Tersangka Harus Ditahan
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadja, mengatakan jika ingin kasus ijazah Jokowi cepat selesai, polisi harus menahan para tersangkanya.
Kasus tudingan ijazah palsu ini diketahui sudah bergulir sejak lama. Pada tahun 2025 ini kasus tersebut kembali mencuat sejak Maret 2025 dan berkembang menjadi perkara hukum hingga sampai pada penetapan 8 tersangka dalam kasus ijazah Jokowi yang dibagi menjadi 2 klaster.
Klaster pertama ada lima tersangka, yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah. Mereka hingga saat ini masih belum diperiksa sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Kemudian klaster kedua ada tiga tersangka, yaitu Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma atau dokter Tifa. Ketiganya diketahui sudah diperiksa sebagai tersangka sebanyak 2 kali oleh Polda Metro Jaya.
Dalam kasus ini, seluruh tersangka dijerat dengan Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.
Klaster pertama juga disangkakan melanggar Pasal 160 KUHP tentang penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, dengan ancaman pidana enam tahun penjara.
Sementara itu, tersangka klaster kedua yang terdiri atas Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa menghadapi ancaman pidana lebih berat karena mereka dikenakan 2 pasal tambahan, yakni Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 35 Undang-Undang ITE yang mengatur tentang penghapusan atau manipulasi dokumen elektronik milik orang lain.
Dengan tambahan pasal itu, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifa terancam hukuman penjara antara 8 hingga 12 tahun.
Meski sudah ada penetapan tersangka, pemeriksaan tersangka, hingga gelar perkara khusus, Roy Suryo c.s. yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu belum juga ditahan sampai saat ini.
Polisi sebelumnya mengungkapkan alasan belum menahan Roy Suryo cs karena mereka mengajukan ahli dan saksi meringankan, sehingga tim penyidik akan memeriksa saksi yang diajukan terlebih dahulu sebelum memutuskan menahan tersangka atau tidak.
Fickar pun mengatakan memang proses pidana yang tidak disertai penahanan tidak ada waktu yang membatasi.
Jika ingin kasus cepat selesai, kata Fickar, polisi harus melakukan penahanan terhadap para tersangka.
"Sepanjang polisi belum yakin buktinya sudah terpenuhi, maka dia (kasusnya) masih boleh jalan, tetapi itu tadi tidak dikaitkan dengan penahan," ungkapnya dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews, dikutip pada Rabu (24/12/2025).
"Tapi biasanya yang didorong supaya cepat itu biasanya tersangkanya ditahan. Kalau tersangkanya ditahan, kepolisian itu mengejar supaya proses ini berlanjut, penahannya belum selesai gitu," sambungnya.
Menurut Fickar, penyidik tampak santai saja meski para tersangka belum juga ditahan, sebab merasa masih punya banyak waktu.
"Tidak ada pembatasan di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) itu harus sekian waktu, harus sekian waktu gitu. Sepanjang alat-alat buktinya sudah dipenuhi, silakan diajukan ke pengadilan," paparnya.
"Tapi kewenangan menangkap dan menahan itu dibatasi oleh undang-undang. Umpamanya penyidik itu (bisa menahan tersangka) cuma 20, bisa diperpanjang 40 hari. Nah, setelah itu harus lepas dia."
"Kecuali bagi tindak pidana yang ancamannya 9 tahun ke atas. Menurut pasal 21 KUHAP itu ya, itu bisa sampai diperpanjang 30 lagi, 60 hari bahkan di penyidikan, demikian juga di penuntutan," kata Fickar.
Namun, lanjut Fickar, tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun atau di bawah 9 tahun, tidak terikat penahanan.
"Atau kalau tidak ditahan, ya tidak ada waktu yang membatasi, sampai ditemukan alat bukti yang cukup, dalam hal ini minimal dua alat bukti dan penyidiknya sudah yakin kemudian diserahkan kepada penuntut umum," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Rifqah/ Posbelitung.co)