LPD dan Jatiluwih Bentuk Modal Budaya Di Bali, Rai Mantra Ingatkan Masyarakat Sebagai Pemilik
December 27, 2025 03:03 PM

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Budaya tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga merupakan aset strategis dan sistem pertahanan peradaban yang harus dipahami, dilindungi, dan dikelola secara tepat. 

Hal tersebut diungkapkan oleh, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Daerah Pemilihan Provinsi Bali, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. 

Rai Mantra memaparkan, pemahaman terhadap budaya sebagai modal budaya sangat penting untuk memayungi berbagai sektor kehidupan di Bali, mulai dari lembaga adat dan ekonomi masyarakat, hingga pengembangan pariwisata budaya. 

Modal budaya mengandung nilai, pengetahuan, dan kompetensi yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi fondasi kehidupan masyarakat Bali.

Baca juga: Nekat Bangun Akomodasi di Kawasan UNESCO, Pansus TRAP Panggil 13 Pemilik Usaha Jatiluwih 

“Budaya itu bukan sekadar tradisi, tapi di dalamnya ada pengetahuan, ada nilai, ada sistem. Modal budaya inilah yang menjadi dasar dalam membangun pariwisata budaya, lembaga seperti LPD, hingga pengelolaan aset-aset budaya milik masyarakat,” ujar mantan Wali Kota Denpasar 2 periode ini, Sabtu 27 Desember 2025. 

Ia mencontohkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai bentuk nyata percampuran antara modal budaya dan modal ekonomi. 

LPD tidak sepenuhnya bisa diukur dengan rasio ekonomi modern karena kepemilikan dan manfaatnya bersifat kolektif, dilindungi oleh sistem adat, serta berlandaskan nilai budaya masyarakat setempat.

“LPD itu tidak murni korporasi. Ada konsep benefit dan kepemilikan kolektif. Perlindungannya juga kolektif. Itu adalah pengetahuan yang lahir dari budaya kita sendiri,” jelasnya.

Sejumlah gubuk di DTW Jatiluwih yang dipertanyakan  Anggota Pansus TRAP DPRD Bali pada selasa 2 Desember 2025/ Agus Aryanta.
Sejumlah gubuk di DTW Jatiluwih yang dipertanyakan Anggota Pansus TRAP DPRD Bali pada selasa 2 Desember 2025/ Agus Aryanta. (Tribun Bali/I Komang Agus Aryanta)

Rai Mantra juga menekankan bahwa pengelolaan modal budaya memerlukan kompetensi dan pengetahuan, baik dalam pelayanan publik maupun kepariwisataan. 

Masyarakat dan pelaku pariwisata harus memahami organisasi budaya, bahasa, ritual, serta nilai-nilai yang wajib dijaga dan dihormati, sekaligus mengetahui batas informasi yang bisa dibagikan kepada wisatawan.

Sebagai contoh konkret, ia menyinggung Jatiluwih, yang memiliki aset budaya berupa sistem Subak dan terasering sawah. 

Pengetahuan masyarakat dalam mengelola alam tersebut merupakan produk peradaban yang lahir dari kebudayaan, hingga akhirnya mendapat legitimasi internasional sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.

“Jatiluwih itu aset masyarakat. Modal budayanya berasal dari pengetahuan mereka sendiri, bagaimana membuat terasering, bagaimana mengelola Subak. Itu peradaban, itu intelektual yang dilindungi,” katanya.

Namun demikian, Rai Mantra menilai bahwa masyarakat pemilik modal budaya juga berhak memperoleh pengembalian yang adil atas aset yang mereka jaga. 

Ia membuka ruang bagi DPD RI untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah agar mencari jalan tengah, termasuk melalui stimulus atau kebijakan afirmatif yang berpihak kepada masyarakat adat.

“Yang penting ada kesepakatan bersama. Masyarakat tetap menjaga legitimasi budaya, sementara pemerintah hadir memastikan pemenuhan kebutuhan hidup mereka,” tegasnya.

Ia menambahkan, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan sejatinya telah memberikan payung hukum perlindungan budaya. 

Perlindungan terhadap modal budaya bukan hanya menjaga warisan, tetapi juga mencerminkan harga diri, kecerdasan, dan tingkat peradaban masyarakat Bali.

“Yang dilindungi itu bukan hanya hasil fisiknya, tetapi intelektual di baliknya. Inilah hasil dari peradaban yang berjalan dan harus terus kita jaga bersama,” pungkas Rai Mantra.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.