Oleh: Sosiolog Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Dr Elfiandri MSi
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Kebijakan Wali Kota Pekanbaru yang akan menertibkan sistem parkir di minimarket waralaba seperti Alfamart dan Indomaret mulai 1 Januari 2026 patut diapresiasi sebagai upaya membenahi tata kelola ruang kota.
Parkir bukan sekadar urusan kendaraan, tetapi menyangkut ketertiban, rasa keadilan, dan kualitas layanan publik di ruang perkotaan.
Karena itu, kebijakan ini harus dibaca lebih luas, tidak hanya sebagai penertiban lapangan, tetapi juga sebagai pembenahan sistem.
Dalam konteks penertiban, hal paling mendasar yang harus dipastikan adalah ketersediaan infrastruktur parkir.
Baca juga: Admin IG UPT Perparkiran Pekanbaru Take Down Story Tentang Penerapan Parkir Gratis di Ritel Modern
Baca juga: Zul Keberatan Parkir Gratis di Ritel Modern di Pekanbaru, Minta Pemko Carikan Pekerjaan Lain
Jika parkir ditarik atau ditertibkan, maka otomatis harus ada fasilitas yang jelas dan layak.
Penolakan masyarakat terhadap parkir liar sering kali bukan karena enggan membayar, tetapi karena tidak adanya kejelasan, seperti tidak adanya karcis, dan tidak ada standar layanan.
Selama ini, keberadaan juru parkir di depan minimarket sering berdalih membuka lapangan kerja.
Namun pada praktiknya, banyak dari mereka tidak tertib dan tidak terdata secara resmi.
Kondisi inilah yang kemudian melahirkan pungutan liar.
Pungli, dalam perspektif sosiologi perkotaan, bukan sekadar pelanggaran kecil, tetapi praktik yang perlahan merusak tatanan kota dan menormalisasi ketidakadilan di ruang publik.
Kita kerap menemui situasi di mana warga memarkir kendaraan dengan tertib, lalu ketika hendak pergi tiba-tiba muncul juru parkir yang meminta uang.
Ada yang legal, tetapi tidak sedikit yang ilegal. Ketidakjelasan ini menciptakan ketidaknyamanan dan rasa dipaksa, sehingga parkir berubah dari layanan menjadi beban psikologis bagi warga kota.
Karena itu, minimarket waralaba seperti Alfamart dan Indomaret harus ikut bertanggung jawab.
Mereka tidak bisa hanya menikmati keuntungan bisnis tanpa menyediakan sistem parkir yang tertib.
Penyediaan garis parkir yang jelas, rambu, serta ruang yang memadai adalah kewajiban minimum.
Parkir tidak boleh dibiarkan tumbuh liar di ruang usaha modern yang seharusnya tertata.
Jika tenaga parkir memang diperlukan, maka harus dididik dan diberi standar pelayanan.
Mereka perlu dibekali identitas resmi, seragam, serta pemahaman tentang etika pelayanan publik.
Hal ini penting bukan hanya untuk ketertiban, tetapi juga untuk citra Kota Pekanbaru sebagai kota jasa dan perdagangan yang ramah serta beradab.
Saya menegaskan, kebijakan penertiban ini bukan untuk ditolak, tetapi perlu dilaksanakan dengan sistem yang adil.
Di pasar modern, karcis parkir seharusnya wajib diberikan, baik diminta maupun tidak.
Karcis adalah bukti layanan, sekaligus simbol akuntabilitas.
Tanpa karcis, parkir akan terus berada di wilayah abu-abu antara resmi dan liar.
Penertiban juga tidak boleh tebang pilih.
Sektor informal yang tidak menyediakan lahan parkir, tetapi memanfaatkan badan jalan untuk usaha, juga harus ditertibkan.
Pemerintah perlu tegas menagih komitmen, apa janji pelaku usaha kepada pemerintah, dan bagaimana tanggung jawab mereka dalam memenuhi hak-hak konsumen, termasuk soal parkir.
Pengelola parkir, siapa pun itu, harus bertanggung jawab penuh.
Masyarakat yang memarkir kendaraan sesungguhnya telah menjalankan kewajiban mereka dengan membayar.
Maka sudah seharusnya mereka mendapatkan rasa aman, kenyamanan, dan kepastian layanan. Parkir bukan sekadar transaksi uang, tetapi bagian dari pelayanan publik.
Penertiban parkir ini harus menjadi momentum untuk membangun standar layanan kota.
Pekanbaru membutuhkan sistem parkir yang tertib, transparan, dan manusiawi.
Jika kebijakan ini dijalankan konsisten dan menyeluruh, maka bukan hanya parkir yang tertib, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola kota akan tumbuh kembali. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)