TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Sepanjang tahun 2025, kasus kekerasan seksual atau child abuse terhadap anak di Provinsi Riau masih menunjukkan angka yang memprihatinkan.
Sejumlah peristiwa mencatat bahwa pelaku kekerasan kerap berasal dari lingkungan terdekat korban, termasuk orang tua kandung sendiri.
Fenomena ini menempatkan anak pada posisi sangat rentan.
Bahkan di ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman.
Salah satu kasus terbaru terjadi di Kabupaten Siak dan menambah panjang daftar kekerasan anak di Riau.
Baca juga: Pria di Siak Ditangkap, Tega Cabuli Anak Kandung Sejak Masih Kelas 3 SD
Korban berinisial SS (20) diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri, PS (42).
Korban diketahui merupakan anak kesayangan pelaku.
PS diamankan polisi dari Polsek Tualang Polres Siak pada Rabu (24/12/2025).
Pelaku tak berkutik saat diringkus dan mengakui perbuatannya.
Pelaku selanjutnya dibawa ke Mapolsek untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Dari keterangan istri pelaku diketahui jika pelaku PS memiliki sikap tempramen yang membuat istri dan anaknya takut.
Atas perbuatannya itu, terduga pelaku PS dijerat dengan pasal 81 Ayat (3) Undang- Undang Republik Indonesia nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo Pasal 76D Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Peristiwa di Siak ini kembali menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak sering kali dilakukan oleh relasi terdekat, khususnya ayah kandung.
Kondisi ini menjadi alarm serius bagi upaya perlindungan anak di Riau.
Berdasarkan rangkuman Tribunpekanbaru.com dari berbagai sumber, berikut daftar kekerasan seksual pada anak yang terjadi pada rentang tahun 2025 di Riau:
Menanggapi kasus terbaru peristiwa ayah menyetubuhi anak kandungnya di Kabupaten Siak tentu saja menjadi sorotan.
Psikolog Sri Rahmadhani A,S.Psi., M.Psi mengatakan dari sudut pandang psikologi, kasus ayah yang menyetubuhi anak kandungnya bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan kerusakan serius pada relasi dasar dalam keluarga.
Relasi ayah-anak yang seharusnya dibangun atas rasa aman, kepercayaan, dan perlindungan, berubah menjadi relasi kuasa yang menindas dan melukai.
Anak berada pada posisi paling rentan karena bergantung sepenuhnya pada orang tua, baik secara emosional, fisik, maupun ekonomi.
Ketika pelaku adalah ayah yang temperamental dan ditakuti, anak hidup dalam kondisi ancaman psikologis terus-menerus.
Dalam situasi seperti ini, anak tidak memiliki ruang aman untuk menolak atau melapor. Diamnya anak bukan bentuk persetujuan, melainkan mekanisme bertahan hidup.
Kekerasan seksual yang berlangsung sejak usia sekolah dasar menunjukkan adanya kontrol psikologis jangka panjang.
Anak belajar bahwa keselamatan dirinya bergantung pada kepatuhan dan kerahasiaan.
Kondisi ini sering menimbulkan trauma kompleks, di mana anak mengalami kebingungan emosional, mati rasa, rasa bersalah, dan distorsi konsep diri.
Anak dapat tumbuh dengan keyakinan keliru bahwa dirinya penyebab kekerasan yang terjadi.
Dari sisi perkembangan, pengkhianatan oleh figur ayah sangat merusak pembentukan rasa percaya anak terhadap dunia.
Anak berisiko mengalami gangguan kelekatan, kesulitan membangun hubungan sehat, serta masalah kesehatan mental di masa dewasa, seperti kecemasan, depresi, atau stres pascatrauma.
Dalam sistem keluarga yang didominasi rasa takut, ibu dan anak sering kali sama-sama berada dalam posisi tidak berdaya.
Ketergantungan ekonomi dan ancaman emosional membuat kekerasan terus berulang tanpa terungkap.
Secara psikologis, ini dikenal sebagai sistem keluarga disfungsional berbasis ketakutan, bukan karena pembiaran yang disengaja, melainkan karena dominasi dan kontrol yang kuat dari pelaku.
Penting untuk dipahami bahwa anak korban incest bukan lemah, apalagi bersalah. Ia adalah korban dari penyalahgunaan kekuasaan dalam relasi paling intim.
Oleh karena itu, penanganan kasus seperti ini harus mengutamakan pemulihan psikologis korban, menciptakan rasa aman, serta memutus rantai kekerasan agar trauma tidak diwariskan ke generasi berikutnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan anak tidak hanya soal hukum, tetapi juga soal kesadaran psikologis dalam membangun keluarga yang aman, sehat, dan beretika.
(Tribunpekanbaru.com/Budi Rahmat)