Oleh: Azhari*)
Berkisar 21 tahun lalu, air mata seakan-akan mengalir deras dari Aceh hingga ke berbagai negara lain ketika bumi Serambi Mekah harus menanggung beban tumpahnya air laut yang meratakan sebagian pesisir pantai di bumi Aceh dan isinya.
Dalam waktu hitungan menit, air bah yang bersumber dari lautan atau bahasa Jepangnya disebut Tsunami itu mengalir deras ke pesisir pantai hingga menjangkau radius sekitar lima kilometer.
Tsunami itu diawali gempa dahsyat, ada yang menyebut 8,7 magnitudo dan juga 9,1 magnitudo.
Namun, bukan masalah soal hitungan kekuatan gempa pada 26 Desember 2004 itu.
Yang jelas, korban berjatuhan dan infrastruktur hancur disapu derasnya air asin dari laut yang hitungannya diperkirakan mempunyai kekuatan mencapai 800 kilometer per jam atau nyaris sama dengan kecepatan pesawat terbang.
Jadi, pada 26 Desember 2004 atau 21 tahun silam, Aceh berduka. Aceh menangis.
Keduanya menjadi tagline untuk mengambarkan situasi Aceh yang mencekam dilanda tsunami sebagai bencana dahsyat sepanjang abad 21 itu.
Tak pernah ada yang menyangka sebelumnya.
Warga pesisir Aceh berbondong-bondong ke pantai karena mengejar rezeki nomplok, ikan-ikan mengapung di antara onggokan batu karang pascagempa kuat itu.
Tapi, seketika juga tanpa disadari, air laut yang sebelumnya surut meninggalkan ikan-ikan yang tergeletak di pesisir pantai, sekejab kembali dan berubah seperti monster yang memporak-porandakan seluruh infrastrktur, rumah penduduk rata dengan tanah, korban meninggal dunia disebut tidak kurang dari 200 ribu jiwa.
Puluhan atau mungkin ratusan ribu kendaraan bermotor terbawa arus deras tsunami, hanyut tak beraturan.
Jasad-jasad tergeletak di antara reruntuhan bangunan, duka Aceh karena air laut yang asin menerjang.
Tatkala air laut dengan "amarahnya" itu datang sehingga menjadi bencana terdahsyat sepanjang abad 21.
Ketika itu, Aceh berstatus sebagai daerah Darurat Militer, karena eskalasi konflik bersenjata antara RI dan GAM.
Konflik dan tsunami, derita rakyat di Aceh pun bertambah lengkap.
Kemudian di balik peristiwa tsunami, menjadi titik awal Aceh damai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pascatsunami Aceh, pihak BMKG mulai mewanti-wanti bahwa Aceh dan sejumlah provinsi lainnya di Indonesia sebagai daerah rawan bencana, terutama gempa bumi karena berada di zona megathrust.
Baca juga: Aceh Damai, Perspektif Jurnalistik
Kini setelah 21 tahun lalu.
Akhir November 2025, Aceh dilanda bencana lagi yang mungkin tak kalah dahsyatnya dengan tsunami.
Bukan air asin, tapi bencana kali ini adalah banjir dan tanah longsor.
Berhari-hari awan hitam memayungi bumi Aceh, melahirkan butiran hujan yang tak berhenti, siang dan malam.
Nyaris sepekan, hujan deras di kota, di desa sampai di pegunungan tanpa terbendung. Aceh terdampak bencana hidrometeorologi.
Kondisi yang sama juga melanda Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Beberapa hari kemudian, korban berjatuhan.
Ternyata Aceh yang terparah terkena bencana hidrometeorologi 2025.
Ada 18 dari 23 kabupaten dan kota di Aceh yang terkena terjangan air dan lumpur.
Jutaan penduduk di 23 kabupaten dan kota di Aceh pun mulai was-was dan panik, ada yang memilih segera mengungsi dan ada yang bertahan di rumah-rumah tinggi, sambil berharap hujan teduh dan menunggu air surut.
Ternyata, air di pemukiman terus meninggi seiring hujan yang tak kunjung reda.
Sebagian masyarakat mulai meninggalkan rumahnya seperti di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Utara, Lhokseumawe, Bireuen, dan Pidie Jaya.
Kemudian Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Mayo Lues, Kota Subulusalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Barat.
Banjir kali ini berbeda.
Bukan hanya air, tapi ikut menyeret lumpur serta kayu-kayu gelondongan, entah dari mana asalnya.
Jalan raya, pemukiman dan lahan-lahan pertanian rakyat tenggelam.
Banjir dan longsor berdampak hanyutnya jembatan, jalan antar kabupaten dan kecamatan serta desa terputus, sehingga ada desa-desa yang terisolasi.
Listrik padam, telekomunikasi berhari-hari terputus menyebabkan Aceh terkurung dari dunia luar untuk beberapa hari sebagai bukti bencana ini nyaris seperti tsunami kedua.
Banda Aceh, Kota Sabang dan Aceh Besar, memang tidak separah bencana di Aceh Tamiag, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan daerah dataran Tinggi Tanah Gayo, namun dampaknya juga luar biasa, seperti krisis gas elpiji, krisis listrik dan terputus komunikasi karena jaringan bermasalah.
Untuk beberapa hari saat bencana banjir di luar Banda Aceh dan Aceh Besar, pemandangan warga antrean berjam-jam hanya untuk mengisi BBM di kendaraanya di SPBU, jadi panorama yang menyesakkan pascahujan deras berhari-hari.
Selain itu, harga bahan kebutuhan sehari-hari seperti daging ayam, telur ayam, dan cabai merah, berada di atas rata-rata normal karena tidak bisa dipasok dari Medan, menyusul terputusnya jembatan vital di jalan transumatera akibat bencana banjir.
Aceh Tamiang, yang merupakan kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, ditetapkan sebagai daerah terparah dalam bencana hidrometeorologi ini.
Tak kala hujan mereda, air pun surut.
Namun itu belum menyelesaikan masalah.
Di sejumlah lokasi memunculkan persoalan baru, seperti di Pidie Jaya, Aceh Tamiang, Bireuen dan Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah berupa rendamar lumpur.
Masjid, mushalla, rumah, tempat usaha, gedung sekolah dan puskesmas serta infrastruktur publik lainnya, terendam lumpur.
Ladang dan sawah pun tak lagi berbatas karena tertimbun lumpur yang terbawa bersama air bah.
Perih mata pun bertambah, selain air dan lumpur.
Tatkala air surut, tumpukan kayu gelondongan menutupi lahan.
Mirisnya, ada kayu yang panjangnya berkisar 4 atau 5 meter dan bernomor yang menunjukkan kayu-kayu itu terindikasi ada pemiliknya atau bukan harta yang tak bertuan.
Banyak komentar dan pendapat publik, bahwa banjir dan tanah longsor di Aceh itu selain tingginya intensitas hujan juga akibat deforestasi atau hilangnya tutupan hutan secara permanen.
Deforestasi biasanya akibat aktivitas manusia seperti penebangan pohon untuk lahan pertanian, pertambangan, atau pembangunan infrastruktur, yang mengubah hutan menjadi lahan non-hutan.
Terlepas dari penyebab banjir dan longsor yang memang kenyataannya membawa tumpukan kayu dan lumpur yang merendam, namun diperlukan langkah-langkah hukum dari aparat berwenang untuk melakukan penyelidikan.
Yang jelas, diyakini atau tidak, pasti ada pihak tertentu yang mulai gusar sebab akan menghadapi konsekuensi hukum karena perbuatannya telah menyebabkan hutan gundul dan memicu bencana dashyat dan masyarakat jadi korban.
Mari kita tunggu kerja keras aparat penegak hukum untuk mengusut siapa pemilik kayu-kayu gelondongan yang sudah bernomor itu, material yang terbawa derasnya air bah dan lumpur yang merendam pemukiman penduduk di sejumlah daerah di Aceh.
*) PENULIS adalah salah satu wartawan peliput konflik, damai, tsunami, dan rehab-rekon Aceh, juga mantan Kepala Biro Antara Aceh, serta eks Sekretaris Perum LKBN ANTARA.