Ternyata Ini yang Dilakukan Mohammad Hatta Selama dalam Pembuangan
Moh. Habib Asyhad December 28, 2025 04:34 PM

Mohammad Hatta adalah orang yang disiplin. Kedisiplinan itu bahkan tetap dia terapkan selama dalam pembuangan Belanda.

Intisari-Online.com -Ini adalah cerita-cerita Mohammad Hatta selama dalam pembuangan Belanda di Banda Neira. Bagaimana kisahnya?

1. Keteraturan Hatta di Banda

Hatta adalah kedisiplinan. Hal itu pun berlaku di pembuangan. Di Banda bahkan kehadiran Hatta seperti penunjuk waktu. Bangun pagi pukul lima, dia mandi, dan salat Subuh. Pukul 06.00 – 07.00, Hatta membaca majalah sambil minum kopi tubruk, sarapan sepotong roti (Hatta dan Syahrir berlangganan roti kepada warga Arab setempat) dan sebutir telur mata sapi.

Setelah itu sampai pukul 08.00, Hatta mulai berbincang dengan Sjahrir tentang berbagai hal. Empat jam kemudian dia belajar ditemani buku-bukunya yang tebal-tebal dan berjumlah 16 peti itu. Terkadang dia mengetik untuk mengisi surat kabar Pemandangan dan Batavia. Di sela waktu belajarnya, Hatta masih menyempatkan mengetik materi kursus tertulis soal ekonomi bagi para simpatisannya yang dilakukan dengan surat-menyurat. Kegiatan siang ditutup dengan salat Zuhur.

Selepas salat Hatta beristirahat hingga pukul 16.30. Lalu berjalan-jalan menyusuri kebun pala atau pantai sampai pukul 17.30. Nah, di kebun pala ini para pekerja kebun bersiap-siap pulang begitu melihat Hatta.

2. Bertengkar Soal Silaturahmi

Banda Neira tak hanya menjadi tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir. Beberapa tokoh pergerakan nasional Indonesia juga pernah dibuang ke sini. Salah satunya Iwa Sumantri (bersama tokoh pejuang dr. Tjipto Mangunkusumo, Iwa dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Banda sejak 1928). Di rumah Iwa ini setiap malam Minggu dilakukan pertemuan antartokoh. Termasuk Hatta dan Sjahrir yang tinggal serumah. Namun lama kelamaan Sjahrir merasa bosan dan enggan datang.

Dalam catatan hariannya, Sjahrir menyebut datang ke pertemuan itu seperti siksaan. “Acaranya selalu sama. Ada tuan B yang gemar bercerita. Segera sesudah kami datang, mulailah dia menceritakan dongeng seribu satu malam ... sambil makan kue-kue dan minum teh sampai jauh malam ... waktu hilang percuma ...malam tadi kubiarkan Hafil pergi sendiri ... tentu mereka gusar padaku ... tapi yah apa boleh buat,” tutur Sjahrir pada 30 Mei 1936.

Hafil adalah sebutan Sjahrir untuk Hatta. Soal keengganan Sjahrir itu membuat mereka pernah bertengkar. Semenjak itu Sjahrir tak pernah lagi ikut dalam pertemuan-pertemuan tadi.

3. Berubah Pikiran di Banda Neira

Dalam surat-suratnya, Sjahrir menyebut ada perubahan sikap yang prinsip dalam diri Hatta selama masa pembuangan di Banda Neira. Selama ini Hatta dikenal sebagai tokoh non-kooperasi, tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Tapi, dalam penilaian Sjahrir, Hatta sesungguhnya memiliki sifat seorang kooperator. Dalam hatinya dia masih punya kepercayaan kepada pemerintah kolonial dalam banyak hal. Dia percaya terhadap humanitas dari suatu pemerintah yang dari asalnya modern dan demokratis. Sikap ini yang berubah.

Pada 7 Maret Sjahrir menulis, “Dulu keberatanku yang utama terhadap Hafil ialah bahwa dia begitu naif. Meski acap kali dikatakan orang bahwa dia wakil yang paling militan dari kaum non-kooperator, dalam hatinya dia sebenarnya tidak pernah lain dari seorang `kooperator’, artinya seorang oposisi loyal secara moral. Dasar pikiran-pikiran politik sesungguhnya adalah kepercayaan pada kemungkinan kehidupan politik yang demokratis dalam suasana kolonial.”

Sjahrir melanjutkan menulis, “Sekarang dia tidak akan bisa lagi begitu militan seperti sebelum diasingkan, tapi pengasingannya ini juga telah membuat sifat ‘kooperatornya’ dulu itu sekarang jauh lebih kurang daripada dulu, dalam arti bahwa sekarang dia lebih pahit perasaannya daripada ketika dia masih menjadi non-kooperator yang sengit. Hafil sungguh-sungguh jadi terbuka matanya; dia lebih banyak belajar dari kejadian-kejadian ini daripada hidup berpolitik di Eropa selama beberapa tahun ....”

4. Mengajarkan Nasionalisme Ke Anak-anak Banda

Di Banda, Sjahrir mengangkat anak dari keluarga Raja Baadilla, tokoh Banda keturunan bangsawan Arab. Mereka diajari membaca, berhitung, sejarah, juga sopan santun. Juga belajar politik sebab anak-anak bebas menguping diskusi politik yang serius di kalangan bembang (orang buangan) di Banda.

Bahkan, di setiap kegiatan bermain Hatta menyelipkan nilai-nilai perjuangan. Misalnya, suatu kali Hatta mengecat perahu dengan warna merah putih. Tak ada setitik pun warna biru di perahu. Tentu saja aktivitas berbau patriotik itu menarik perhatian pejabat setempat yang orang Belanda. Ketika ditanya, Bung Hatta dengan tenang menjawab, “Anda kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru.”

Di masa yang lain, ketika piknik ke Pulau Pisang atau Pulau Banda Besar, Sjahrir mengajarkan lagu “Indonesia Raya”. Mereka menyanyikan lagu itu dengan penuh semangat, sebab tidak ada orang yang dapat mendengarkan nyanyian mereka.

5. Bertahan Karena Anak-anak Angkat

Delapan tahun di Banda tak membuat Hatta (dan Sjahrir) kesepian. Ya, anak-anak angkat mereka memberi warna ceria dalam pengasingan. Tidak seperti yang dialami Tjipto dan Iwa.

Meski begitu, ada saja ulah anak-anak ini. Misalnya, kaca jendela rumah Om Kacamata (sebutan anak-anak untuk Bung Hatta) pecah berantakan terkena bola yang ditendang Des. Atau, Des menyenggol dan memecahkan vas bunga yang ada di kamar baca Hatta. Beberapa buku, harta berharga bagi Hatta, basah belepotan air jambangan.

Toh ulah itu tak meretakkan hubungan Hatta-Sjahrir dengan bocah Baadilla. Bahkan, bisa dibilang anak-anak inilah yang menolong Hatta-Sjahrir bertahan selama masa pengasingan di Banda. Om Kacamata dan Om Rir (sebutan anak-anak untuk Sjahrir) membunuh rasa bosan yang menggigit dengan bermain gundu, sepakbola, mendaki gunung, memetik kembang anggrek, atau menikmati bulan putih di langit malam Banda.

6. Gigih Mengajarkan Semangat Koperasi

Deliar Noer, penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, mencatat bagaimana rakyat setempat memberikan penghormatan besar kepada Hatta dan para tokoh yang ditahan di Bangka. “Sampai-sampai, dalam berbelanja di pasar, para penjual tidak mau menerima pembayarannya.” Dalam kacamata Hatta, warga Bangka, “sudah menjadi rakyat Republik Indonesia.”

Walau jarang turun gunung (rumah pengasingan Hatta terletak di Gunung Menumbing), Hatta senantiasa bermurah hati menularkan pengetahuannya kepada warga setempat. Misalnya, dalam soal koperasi. Hatta tak henti-hentinya menekankan pentingnya koperasi bagi kesejahteraan warga. Putra mendiang Wedana Bangka, K. Rusdi Abidin, mencatat kegigihan “Bapak Koperasi” ini melalui ceramah-ceramah yang dilakukan Hatta di sekolah atau dalam peringatan-peringatan hari nasional di Mentok.

7. Wartawan Kecepatan Suruh Menunggu

Buku selalu menjadi teman setia Hatta di mana pun dia berada. Tak terkecuali di Gunung Menumbing, Bangka. Selain membaca, aktivitas Hatta untuk membunuh sepi di pengasingan adalah mengunjungi penduduk setempat, bermain catur atau bridge. Kegiatan ini umumnya berakhir menjelang pukul 21.00 karena Hatta akan menyudahi permainan dan meminta rekan-rekannya masuk ke ruang tidur.

Soal waktu Hatta memang sangat disiplin. Suatu ketika seorang wartawan asing datang ke Bangka untuk mewawancarai Hatta. Disepakati waktu wawancara pukul 13.00. Wartawan itu datang pukul 12.30 dan Hatta hanya membukakan pintu dan mempersilakannya menunggu. Serba teratur, sederhana, dan tak segan memberikan teladan. Begitulah sosok Hatta yang terekam dari cerita warga Bangka yang pernah bertemu dengannya.

8. Ternyata Takut Air

Terkesan kaku, begitulah sosok Hatta. Namun dia tak terusik dengan kekakuannya itu. Seperti yang dikisahkan Des Alwi saat menemani Hatta dan Sjahrir di Banda Neira.

Suatu ketika, Des mengajak kedua orang itu berenang di pantai. Awalnya mereka tidak mau. Namun setelah dibujuk, kedua “Bung” itu mau juga turun ke air. Tapi dasar Hatta, bukannya mencopot celana panjang dan menggantinya dengan celana renang, dia malah menggulung celana panjang sampai selutut dan tetap memakai sepatu tenis sewaktu berenang.

“Kami terpingkal-pingkal melihat kejadian itu,” kata Des Alwi mengenang. Mungkin karena malu, akhirnya Hatta memutuskan berenang sendiri, mojok di sudut pantai. Hatta ternyata takut air.

9. Pindah ke Rumah Setan

Ketika masa sewa rumah milik De Vries di Banda Neira selesai, Hatta pun pindah ke sebuah rumah yang tak jauh dari situ dan sudah lama kosong. Rumah itu kepunyaan seorang keluarga Ambon yang tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, bernama Nanlohy. Beberapa kenalan Hatta menasihati untuk tidak pindah ke rumah itu sebab ada setannya. Penyewa sebelumnya, seorang juru rawat, sering melihat sebuah peti mati hitam di tengah rumah ketika pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja.

Setelah dua atau tiga hari menempati rumah itu, datang seorang dari keluarga Baadillah dan bertanya kepada Hatta apakah tidurnya tidak terganggu. Hatta menjawab bahwa setan yang dikatakan menghuni rumah itu sudah disuruh pergi.

“Tuan Hatta kan orang Padang, dan biasanya orang Padang tahu membaca ayat suci dan karena itu dia tidak diganggu oleh setan. Malahan setan yang lari apabila berdekatan dengan dia,” kata seorang penduduk setempat.

10. Mengajar Filsafat kepada Orang Buangan

Saat meminang Rahmi Rachim, Hatta menyerahkan mas kawin yang unik: buku karangannya sendiri. Alam Pikiran Yunani itu ditulisnya sewaktu ia dibuang di Digul.

Dibandingkan Sukarno, cara Hatta mendidik kesadaran rakyat melalui kaderisasi dianggap lebih berbahaya. Nah, pola kaderisasi itu diterapkan di Digul.

Di sela-sela waktunya yang tersusun rapi, Hatta menyempatkan untuk memberi kursus kepada orang buangan sesamanya. Dengan begitu, waktu buangan dapat dimanfaatkan untuk mengadakan persiapan bagi keperluan masa depan. Kursus itu tak menyangkut masalah politik, ekonomi, dan sosiologi. Namun juga filsafat.

Menurut Hatta, filsafat meluaskan pemandangan serta mempertajam pikiran. Dari bahan-bahan kursus filsafat itulah akhirnya terwujud sebuah buku Alam Pikiran Yunani.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.