Akademisi UMM Ungkap Fakta Akar Bullying Ada di Rumah, Pendidikan Agama Jadi Kunci
December 28, 2025 08:03 PM

BANGKAPOS.COM, BANGKA — Mahasiswa Program Studi Doktor Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rokayah S.E., M.Pd., menyoroti maraknya kasus perundungan atau bullying yang selama ini lebih banyak disorot terjadi di lingkungan sekolah..Padahal, menurutnya, akar persoalan justru kerap bermula dari lingkungan keluarga.

Hal tersebut disampaikan Rokayah seusai melaksanakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) di Masjid Nurul Iman, Kelurahan Bacang, Pangkalpinang, Sabtu (27/12/2025), sebagaimana rilis yang diterima Bangkapos.com.

Rokayah menjelaskan, kegiatan PKM tersebut dilatarbelakangi oleh temuan bahwa praktik bullying tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga sering berlangsung di dalam rumah. 

Tanpa disadari, pola komunikasi dan perilaku yang kurang sehat di lingkungan keluarga membentuk sikap anak yang kemudian terbawa ke kehidupan sosialnya, termasuk di sekolah.

“Selama ini bullying seolah hanya dipahami sebagai persoalan sekolah. Padahal, dari hasil pengamatan dan penelitian saya, praktik perundungan juga terjadi di rumah dan memberikan kontribusi besar terhadap perilaku anak di luar rumah,” kata Rokayah.

Rokayah menuturkan, kebiasaan berkomunikasi dengan nada kasar, merendahkan, atau penuh emosi di lingkungan keluarga kerap ditiru anak. Perilaku tersebut kemudian dipraktikkan saat anak berinteraksi dengan teman sebaya di sekolah, meskipun orang tua sering kali tidak menyadarinya.

Menurut Rokayah, pola tersebut memang tidak selalu muncul pada setiap anak, namun tetap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan karakter dan perilaku sosial mereka.

“Anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar di rumah. Ketika tidak ada edukasi yang tegas bahwa perilaku merendahkan atau menyakiti orang lain itu salah, maka di sekolah perilaku tersebut bisa dianggap wajar,” katanya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Rokayah mengungkapkan bahwa praktik bullying sudah muncul sejak usia dini. Bahkan, pada jenjang taman kanak-kanak (TK), ia menemukan sekitar 35 hingga 50 persen aktivitas anak yang mengarah pada perilaku perundungan.

Namun, kondisi tersebut kerap dianggap lumrah karena anak-anak masih berada pada usia yang dianggap belum memahami dampak perbuatannya.

“Memasuki jenjang SD, pola itu muncul kembali dan dari tahun ke tahun datanya terus meningkat. Di Pangkalpinang sendiri tercatat puluhan kasus kekerasan terhadap anak, dan sebagian besar memiliki keterkaitan dengan praktik bullying,” ungkapnya.

Rokayah menegaskan, bullying merupakan persoalan yang kompleks dan bersifat sistematis. Faktor keluarga, lingkungan sekitar, sekolah, hingga kebijakan pemerintah saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Karena itu, upaya pencegahan tidak bisa dibebankan hanya kepada satu pihak.

“Ini adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya orang tua, bukan hanya sekolah, tetapi seluruh elemen harus memahami persoalan ini secara utuh agar praktik bullying dapat diminimalkan,” tegasnya.

Sebagai Kepala Sekolah MI Tahfiz Plus Khoiru Ummah, Rokayah juga menekankan pentingnya pendidikan agama Islam dalam membentuk regulasi sosial-emosional anak.

Ia menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki potensi amarah, hawa nafsu, dan dorongan naluriah yang jika tidak dikendalikan dengan nilai-nilai keagamaan, dapat berkembang menjadi perilaku destruktif.

“Agama berfungsi sebagai pengendali. Tanpa akidah dan kontrol nilai, potensi tersebut bisa muncul secara berlebihan dan berdampak pada kekerasan, termasuk bullying,” jelasnya.

Rokayah menambahkan, fenomena bullying tidak mengenal batas status sosial. Perilaku tersebut dapat terjadi pada keluarga dengan latar belakang ekonomi rendah, menengah, hingga tinggi. Bahkan, berdasarkan hasil kajiannya, hampir 80 persen pelaku bullying sebelumnya merupakan korban perundungan.

“Mereka melakukan itu sebagai bentuk pelampiasan atau balas dendam dari pengalaman yang pernah mereka alami,” ujarnya.

Lebih jauh, pemerhati dan praktisi pendidikan anak usia dini dan pra balig tersebut menilai peran keluarga sebagai faktor paling awal sekaligus paling menentukan. Kurangnya perhatian orang tua, kesibukan mengejar pemenuhan materi, serta minimnya pemahaman bahwa anak merupakan amanah, menjadi celah munculnya persoalan tersebut.

“Banyak orang tua merasa tugasnya selesai ketika kebutuhan materi anak terpenuhi. Padahal, mengurus anak bukan hanya soal uang, tetapi bagaimana mendidik, membimbing, dan hadir secara emosional,” katanya.

Rokayah mengajak para orang tua untuk terus belajar, baik melalui majelis taklim, membaca, maupun mengikuti forum-forum edukatif. Dengan pemahaman yang memadai, orang tua diharapkan mampu mengendalikan diri di rumah sekaligus membekali anak agar mampu menghadapi dan mencegah bullying.

“Anak perlu dikuatkan, baik yang berpotensi menjadi korban maupun yang berisiko menjadi pelaku,” kata Rokayah.

Selain itu, Rokayah berharap pemerintah memberikan perhatian serius terhadap persoalan perundungan, mulai dari kebijakan pendidikan hingga pengawasan arus informasi digital yang semakin masif.

“Saya mendukung adanya regulasi pembatasan media sosial bagi anak-anak. Kita memang memerlukan aturan dan metode yang jelas untuk menekan bullying, baik di sekolah, keluarga, maupun ruang digital,” kata Rokayah

(*/Bangkapos.com/M Ismunadi)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.