TRIBUN-BALI.COM - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, menegaskan bahwa sepanjang tahun 2025, jurnalis di Bali masih bekerja dalam situasi yang jauh dari aman.
Kekerasan, intimidasi, serta penghalangan kerja jurnalistik terus terjadi dan sebagian besar belum ditangani secara tuntas, sehingga memperkuat praktik impunitas, terutama ketika dugaan pelaku berasal dari aparat negara.
Ketua AJI Denpasar, Ayu Sulistyowati, menyampaikan hal tersebut dalam rilis catatan akhir tahun 2025 AJI Denpasar.
Ia menilai, berulangnya kasus kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menjamin kebebasan pers sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca juga: KOALISI Jurnalis Bali, Serahkan Petisi ke Kapolda, Desak Usut Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis!
Baca juga: API Sambar 2 Palinggih di Banjar Penestanan Kelod Ubud, Kebakaran Dugaan karena Kembang Api
”Sepanjang 2025, kami masih melihat pola kekerasan terhadap jurnalis terus berulang, khususnya saat peliputan aksi demonstrasi dan isu-isu publik yang sensitif. Ini menandakan bahwa jurnalis belum sepenuhnya dilindungi ketika menjalankan tugas untuk kepentingan publik,” kata Ayu.
AJI Denpasar mencatat, salah satu peristiwa paling serius terjadi pada 30 Agustus 2025, saat sejumlah jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan ketika meliput aksi demonstrasi di Denpasar, termasuk di kawasan Mapolda Bali.
Dalam peristiwa tersebut, jurnalis DetikBali, Febiola dilaporkan mengalami tindakan represif meskipun telah menjalankan tugas jurnalistik dan menunjukkan identitas pers.
Menurut Ayu, lebih dari 100 hari sejak lapor awal September hingga akhir Desember 2025, penanganan kasus tersebut belum menunjukkan perkembangan yang berarti.
Tidak adanya kejelasan proses hukum dan penetapan tersangka memperlihatkan lemahnya akuntabilitas aparat penegak hukum.
”Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya persoalan profesi, tetapi ancaman serius terhadap demokrasi. Jika pelakunya tidak diproses secara hukum, maka pesan yang muncul adalah kekerasan bisa dibiarkan dan dinormalisasi,” tegasnya.
Selain kekerasan fisik, AJI Denpasar juga mencatat berbagai bentuk kekerasan non fisik yang dialami jurnalis di Bali sepanjang 2025.
Bentuk tersebut meliputi intimidasi, perampasan alat kerja, pemaksaan penghapusan data liputan, ancaman hukum, hingga serangan digital. Jurnalis perempuan juga dilaporkan mengalami kekerasan berbasis gender, baik secara langsung di lapangan maupun di ruang digital.
Direktur Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, I Made Suardana, menilai kondisi ini sebagai potret buruk perlindungan jurnalis di Bali.
Ia menyebut, harapan agar kerja jurnalis mendapatkan perlindungan hukum selama 2025 pada akhirnya hanya menjadi wacana dan slogan.
”Kasus kekerasan terhadap wartawan DetikBali pada 30 Agustus 2025 sampai hari ini belum ada tindak lanjut yang berarti, apalagi penetapan tersangka. Ini sangat miris dan memalukan karena dugaan pelakunya adalah aparat kepolisian,” ujar Suardana.
Ia juga menyoroti praktik persekusi terhadap jurnalis, termasuk perampasan alat kerja dan pemaksaan penghapusan data liputan saat aksi demonstrasi.
”Catatan ini menjadi potret kelam dan buruknya kepemimpinan Kapolda Bali jika kasus ini tidak mampu dibereskan sebelum Januari 2026. Jika polisi tidak menindak anggotanya sendiri, peristiwa serupa sangat mungkin terulang kembali,” katanya.
Suardana menegaskan, bahwa negara membutuhkan aparat yang tegas dan berpihak pada kebebasan berekspresi serta kerja-kerja kelompok pro-demokrasi, bukan sebaliknya melindungi pelaku kekerasan yang berlindung di balik seragam.
Senada dengan itu, Koordinator Advokasi LBH Bali, Ignatius Rhadite, menilai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.
”Tindakan tersebut jelas melanggar Konstitusi, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ini juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat Reformasi,” ujar Rhadite.
Ia menambahkan, berulangnya kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan kuatnya budaya arogansi dan kekerasan di tubuh aparat penegak hukum, yang berpotensi menyeret negara kembali pada praktik otoritarianisme pra-Reformasi.
Menurut Rhadite, langkah pelaporan pidana atas kasus-kasus tersebut ditempuh untuk mencegah keberulangan dan memastikan adanya pertanggungjawaban hukum. Namun, lambannya penanganan perkara justru memunculkan situasi impunitas.
”Setelah lebih dari 100 hari dilaporkan, tidak ada perkembangan signifikan. Aparat negara sebagai pelaku dugaan pelanggaran HAM tidak dimintai pertanggungjawaban, sementara aktivis dan masyarakat sipil yang kritis justru kerap dikriminalisasi,” ujarnya.
AJI Denpasar menilai kondisi jurnalis di Bali tidak terlepas dari tren nasional yang menunjukkan kemunduran kebebasan pers sepanjang 2025.
Kekerasan terhadap jurnalis meningkat di berbagai daerah, terutama dalam konteks peliputan aksi protes dan isu publik yang sensitif. Bali yang selama ini dikenal relatif aman bagi kerja jurnalistik pun tidak luput dari pola tersebut.
Dalam rilis akhir tahun ini, AJI Denpasar mendesak aparat penegak hukum di Bali untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, serta mengusut tuntas setiap kasus secara transparan dan akuntabel.
AJI juga menuntut penghormatan penuh terhadap UU Pers, serta mendorong adanya mekanisme perlindungan keselamatan jurnalis, termasuk bagi jurnalis perempuan.
”Tanpa jurnalis yang aman dan bebas, hak publik atas informasi akan terampas. Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum evaluasi agar kekerasan terhadap jurnalis tidak lagi dinormalisasi dan demokrasi tidak terus mundur,” tutup Ayu Sulistyowati.
Kepada para perusahaan media di Bali, Kepala Bidang Advokasi AJI Denpasar, I Wayan Widyantara, mengingatkan agar tetap memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin keselamatan jurnalisnya.
”Mereka harus memastikan setiap wartawan dibekali dengan alat pelindung dan pelatihan keselamatan sebelum ditugaskan di lapangan. Keselamatan jurnalis adalah syarat mutlak bagi kebebasan pers dan hak publik atas informasi,” tegasnya.
AJI Denpasar Menyatakan Sikap Akhir Tahun 2025 :