KPK Setop Kasus Nikel Konawe Utara Rp2,7 Triliun, Anggota Komisi III DPR: Publik Butuh Penjelasan
December 29, 2025 12:38 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI Hasbiallah Ilyas menyoroti keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang nikel di Konawe Utara yang disebut merugikan negara hingga Rp2,7 triliun. Keputusan tersebut dinilai memunculkan pertanyaan publik terkait kepastian hukum.

Hasbiallah menyatakan, secara prosedural penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) merupakan kewenangan KPK. Namun, ia menilai alasan penghentian perkara tetap perlu dijelaskan secara terbuka kepada publik.

“Kalau memang kurang bukti, lalu apa dasar hukum KPK menetapkan saudara Aswad sebagai tersangka pada tahun 2017 lalu? Bukankah syarat penetapan tersangka adalah didukung minimal dua alat bukti?” kata Hasbiallah kepada Tribunnews.com, Minggu (28/12/2025).

Menurut dia, alasan tidak ditemukannya kecukupan bukti justru menimbulkan tanda tanya baru di tengah masyarakat.

“Lalu kekurangan alat bukti apa lagi yang diperlukan? Ataukah saat penetapan waktu itu sebenarnya alat buktinya belum cukup? Inilah beberapa pertanyaan publik yang harus segera dijawab oleh KPK,” ujarnya.

Meski demikian, Hasbiallah menegaskan dirinya tetap menghormati dan percaya pada integritas KPK. Ia hanya mengingatkan pentingnya transparansi agar kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah tetap terjaga.

KPK Hentikan Kasus Aswad Sulaiman

Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin pertambangan dan suap yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.

Penghentian dilakukan setelah penyidik menilai tidak ditemukan kecukupan bukti untuk membawa perkara ke tahap penuntutan.

“Benar, KPK telah menerbitkan SP3 dalam perkara tersebut. Bahwa tempus perkaranya adalah 2009, dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Jumat (26/12/2025).

Budi menjelaskan, penerbitan SP3 dilakukan demi memberikan kepastian hukum, mengingat perkara tersebut telah bergulir cukup lama.

Duduk Perkara

Kasus dugaan korupsi izin pertambangan nikel di Konawe Utara mencuat sejak 2017 dan disebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,7 triliun. Aswad Sulaiman ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 3 Oktober 2017.

Saat itu, Wakil Ketua KPK periode 2015–2019 Saut Situmorang menyatakan kerugian negara berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diperoleh melalui perizinan bermasalah.

Dalam kapasitasnya sebagai pejabat sementara Bupati Konawe Utara periode 2007–2009 dan Bupati definitif periode 2011–2016, Aswad diduga mencabut kuasa pertambangan milik PT Aneka Tambang (Antam) Tbk di Kecamatan Langgikima dan Molawe.

Di atas wilayah tersebut, ia kemudian menerbitkan 30 Surat Keputusan (SK) Kuasa Pertambangan Eksplorasi untuk delapan perusahaan lain.

Baca juga: MA Buka Suara soal Tiga Hakim Kasus Tom Lembong Disanksi KY

Selain dugaan korupsi perizinan, Aswad juga disangkakan menerima suap sebesar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang.

Perjalanan kasus sempat mengalami dinamika pada September 2023. KPK saat itu menjadwalkan penahanan terhadap Aswad, namun rencana tersebut batal setelah ia dikabarkan sakit dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Peluang Dibuka Kembali

Dengan diterbitkannya SP3, status tersangka Aswad Sulaiman gugur demi hukum.

Meski demikian, KPK menegaskan perkara tersebut masih dapat dibuka kembali apabila ditemukan bukti baru.

“Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” ujar Budi.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.