TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA — Dari ketinggian 791 meter di atas permukaan laut, di balik rimbunnya hutan pinus di Desa Karangjambu, Kecamatan Karangjambu, Kabupaten Purbalingga, sebuah deretan batu tak lazim itu telah lama berdiam. Ia bukan temuan baru, namun belakangan ini kembali terbuka, setelah puluhan tahun tersembunyi di balik rerumputan dan pepohonan.
Batuan tersebut dikenal sebagai batuan Igir Karem, dinamai sesuai lokasi penemuannya, yakni di perbukitan Igir Karem. Bentuknya pun simetris, berundak dan tampak tidak alami. Hal tersebut pun memunculkan beragam dugaan, mulai dari fenomena alam purba hingga kemungkinan jejak peradaban di masa lalu.
Salah satu pegiat alam yang tergabung dalam Komunitas Naga Wiwitan, sekaligus putra dari juru kunci kawasan Igir Karem, Suwono menjelaskan, batuan tersebut sejatinya sudah ada sejak lama. Ia bahkan mengingat keberadaan batu tersebut sejak masa kecilnya.
"Kalau di tahun berapa, dan siapa yang pertama kali menemukan saya kurang tahu pasti siapa. Tapi yang jelas batuan ini sudah lama ada. Saya ingat, dulu waktu kecil sering ikut Bapak saya (Sahidi) untuk nyadap getah pinus. Nah batuan ini sering lah kita lewati, kadang juga jadi pegangan atau buat nyender lah kalau lagi capek di jalan," ungkapnya saat dijumpai tribunjateng.com, Senin (29/12/2025).
Baca juga: Margono Djojohadikusumo Kakek Presiden Prabowo Diabadikan Jadi Nama Gedung Megatorium UMP
Baca juga: Polda Jateng Ungkap 9.160 Kasus Pidana di Tengah Kasus Iwan Boedi yang Masih Tanda Tanya
Namun, kala itu batu-batu tersebut hanya dianggap bagian dari alam biasa. Tidak ada pembersihan, tidak ada pula perhatian khusus.
Semua berubah, ketika Suwono mulai memperhatikan salah satu batu pertama yang ia lihat memiliki bentuk yang berbeda.
"Waktu saya perhatikan, kok unik ya, antik gitu. Tidak seperti batu lain di sekitar sini," katanya.
Dari rasa penasaran itulah, Suwono kemudian menceritakan apa yang ia lihat kepada Arif Hidayat, salah satu warga yang kini juga tergabung dalam Komunitas Naga Wiwitan.
Awalnya, keduanya hanya berniat untuk membuat sebuah konten. Namun ketika dibersihkan lebih lanjut, Suwono menemukan batuan lain dengan bentuk yang serupa.
"Pas dibersihin kok ada batu lagi yang sama, akhirnya kita minta izin ke Perhutani untuk dibersihkan semua, terus dibolehkan dan kami ternyata menemukan lagi di kanan dan kiri dari lokasi awal, sekitar 10 meteran itu masih ada dan panjang batu-batuannya," tuturnya.
Batuan tersebut, awalnya tertutup oleh rerumputan, semak dan pepohonan liar. Ketika area dibersihkan secara bertahap, jumlah batuan yang muncul jutsru semakin banyak.
Bahkan, kini diyakini batuan yang terlihat saat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan yang masih belum terbuka.
Ia mengatakan, keunikan batu tersebut terletak pada bentuknya. Tidak "plontos" seperti batu lain, tetapi terlihat berbidang, bersudut bahkan simetris.
"Kalau batu lain bentuknya itu acak, plontos, tapi ini seperti disengaja. Mirip seperti batuan candi atau bangunan zaman kerajaan," tuturnya.
Viral Setelah Bertahun-tahun Terlupakan
Salah satu anggota Komunitas Naga Wiwitan, Arif Hidayat menambahkan, batuan Igir Karem sebenarnya bukan yang pertama kalinya tersentuh publik.
Di tahun 2017, camat setempat sudah pernah berkunjung dan mengunggah keberadaan batuan tersebut di media sosial. Namun saat itu respon publik belum sebesar sekarang. Sehingga belum dibersihkan dan dibiarkan begitu saja tertutup oleh semak.
Baru setelah tahun 2025 di bulan Desember, unggahan tersebut viral dan membuat pihaknya ingin melakukan pembersihan secara intensif. Terlebih setelah ditemukan kembali batuan-batuan serupa di tempat lain.
Selain melakukan pembersihan, karena lokasi tersebut sudah mulai dikenal, pihaknya pun akhirnya membentuk sebuah komunitas yang dinamakan "Naga Wiwitan" untuk menjaga dan membersihkan lokasi tersebut.
Keyakinan Spiritual
Sejak ditemukannya batuan tersebut, hingga saat ini belum ada penelitian resmi yang memastikan asal-usul batuan Igir Karem. Tim Naga Wiwitan pun belum berani menyimpulkan atau bergerak lebih jauh mengenai batu tersebut.
"Kami belum tahu ini peninggalan kerajaan atau murni dari alam, karena belum ada penelitian. Namun, untuk sementara ini kami menyebutnya sebagai batuan purba," katanya.
Sementara itu, dari sisi spritual, pihaknya mempercayai tempat tersebut memiliki "penunggu".
Seorang juru kunci, Sahidi atau lebih dikenal sebagai Mbah Wono yang sekaligus ayah dari Suwono mengisahkan pengalaman batin saat menyentuh batu tersebut.
"Saya melihat sosok laki-laki tua disekitar batu, lalu dia berubah menjadi ular. Namun, bentuk ularnya itu sedikit aneh, dan berbeda dengan ular lada umumnya. Saat saya minta supaya dia jangan ada disitu, dia nurut," ujar Mbah Wono.
Laki-laki tua tersebut, menurutnya diyakini sebagai penjaga batuan Igir Karem, dan bernama Mbah Gading Jaya.
Selain menjaga lokasi tersebut, ia juga menjelma sebagai ular. Namun, sosok tersebut tidak menganggu dan masih bisa untuk diajak berkomunikasi secara batin.
Karena kepercayaan tersebut pula, pihaknya membentuk dan menamai komunitas untuk menjaga batuan tersebut dengan nama Naga Wiwitan.
Adapun, komunitas tersebut saat ini bertugas untuk menjaga dan membersihkan serta mencari kembali batuan-batuan yang belum terbuka.
Menurut kepercayaan setempat, memang tidak ada hari atau waktu khusus untuk melakukan pembersihan ataupun membuka batu lain yang belum terlihat. Namun, seringkali terdapat tanda-tanda yang diyakini sebagai larangan.
"Sebetulnya tidak ada hari atau waktu khusus. Tapi biasanya kita meminta izin dulu kalau misal mau kesana, tapi kalau tiba-tiba badan nggak enak atau sakit kepala, biasanya kami hentikan, kami percaya penunggu disana berarti belum mengizinkan," terangnya.
Selain melihat sosok laki-laki penunggu lokasi tersebut, Mbah Wono mengatakan dugaan keterkaitan Igir Karem dengan sejarah kerajaan di masa lalu juga sangat dimungkinkan. Hal tersebut diperkuat dengan banyaknya cerita rakyat, petilasan hingga situs cagar budaya di Desa Karangjambu.
"Nama Purbalingga sendiri juga erat dengan Karangjambu. Meski masih asumsi, keberadaan batuan ini juga menguatkan jejak kerajaan zaman dahulu di wilayah ini," ujarnya.
Dari sisi spiritual, ia juga mengatakan, melihat bahwa batuan tersebut baru sebagian kecil dari bagian luar atau dinding pagar keliling bangunan yang strukturnya lebih besar.
Menuju Penelitian dan Harapan Wisata Edukatif
Melihat besarnya respon publik terkait batuan tersebut pemerintah kecamatan melalui Camat Karangjambu, Puji Muhlisun mengatakan tidak tinggal diam, dan akan segera melakukan langkah berupa penelitian lebih lanjut. Lokasi tersebut bahkan telah dikunjungi oleh beberapa pengamat arkeologi di Purbalingga.
Melalui kunjungan tersebut, pihaknya berharap, dan berencana untuk berkoordinasi dengan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) agar dapat melakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.
"Jika hasil penelitian dapat dilakukan, maka ini akan menguatkan nilai sejarah di lokasi ini. Apalagi sekarang tempat ini sudah mulai dikenal, dan ada beberapa masyarakat yang memang sudah berkunjung, harapan kedepan ini juga bisa menjadi destinasi wisata berbasis edukasi dan budaya," ujarnya.
Puji melanjutkan, siapapun masyarakat yang ingin datang saat ini memang diperbolehkan, namun ia mengimbau agar masyarakat tidak datang seorang diri, mengingat lokasi yang cukup terjal dan licin.
Selain itu, pihaknya juga berharap agar masyarakat yang datang tidak merusak, ataupun mengambil apapun di kawasan batuan tersebut.
"Boleh datang, silahkan. Namun saya imbau supaya tidak sendiri, minimal dua orang, selain itu jangan merusak dan jangan membawa apapun dari tempat ini demi kebaikan bersama," pungkasnya.
Hingga saat ini batuan tersebut pun masih menjadi teka-teki antara alam, sejarah dan keyakinan yang menunggu waktu untuk benar-benar mengungkap jati dirinya. (*)