TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Kasus dugaan penyelewengan anggaran di sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) Provinsi Riau lewat Surat Perintah Perjalanan Dinas ( SPPD ) fiktif tahun anggaran 2020/2021 kembali menyeruak ke permukaan.
Setelah kasus penyelidikan pada kasus yang menyebabkan negara alami kerugian hampir 200 miliar tersebut tak kunjung menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab.
Kasus tersebut sempat menyeret nama mantan Sekwan DPRD Riau dan eks Pj Wali Kota Pekanbaru Muflihun. Ini merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Riau dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp195,9 miliar untuk periode 2020–2021.
Kini, tahun 2025 memasuki tahun 2026 kasus tersebut kembali akan dibuka oleh penegak hukum dan tentu saja publik menantikan ketegasan.
Siapa yang harus bertanggungjawab pada kasus yang sudah menyita perhatian tak hanya warga Provinsi Riau namun juga nasional ini?
Terkait kembali dibukanya penyelidikan kasus dugaan SPPD fiktif tersebut, berbagai harapan disampaikan oleh warga.
Tribunpekanbaru.com mengkonfirmasi dan mempertanyakan harapan beberapa warga terkait dengan penyelesaian kasus dugaan korupsi tersebut.
Okto, salah seorang Driver Online yang dikonfirmasi Tribunpekanbaru.com, Senin (29/12/2025), panjang lebar memberikan komentarnya.
Menurut Okto, kasus dugaan SPPD fiktif di DPRD Riau yang tak kunjung bergerak maju adalah potret buram demokrasi lokal.
Baca juga: Muflihun Minta Polda Jelas dan Transparan Soal Pengungkapan Kasus SPPD Fiktif
Bukan semata karena adanya dugaan penyalahgunaan uang publik, tetapi karena diamnya proses hukum justru menjadi pesan paling lantang bagi masyarakat: kekuasaan masih terlalu sering lebih kuat daripada akuntabilitas.
Menurutnya, fenomena mandeknya kasus ini juga mengungkap problem struktural yakni relasi kuasa yang saling melindungi, lemahnya pengawasan internal, serta kultur birokrasi yang terlalu toleran terhadap “penyimpangan administratif”.
Dalam situasi seperti ini, penyalahgunaan bukan lagi anomali, melainkan risiko sistemik.
"Lebih berbahaya lagi, hukum yang ragu-ragu menciptakan preseden sosial. Ia mengajarkan bahwa pelanggaran oleh elite bisa dinegosiasikan oleh waktu. Bahwa diam adalah strategi. Bahwa menunggu lupa publik adalah bagian dari manajemen krisis. Ini bukan hanya persoalan DPRD Riau, tetapi soal wajah keadilan di tingkat lokal," ungkapnya.
Karena itu menurut Okto, penyelesaian kasus SPPD fiktif tidak boleh berhenti pada audit administratif atau klarifikasi normatif.
Ia menuntut ketegasan hukum, keterbukaan proses, dan keberanian moral. Tanpa itu, DPRD akan terus dipersepsikan bukan sebagai rumah aspirasi rakyat, melainkan sebagai simbol jarak antara kekuasaan dan tanggung jawab.
"Pada akhirnya, publik hanya meminta satu hal sederhana: kepastian bahwa hukum tidak sedang berpura-pura berjalan,"ungkapnya.
Harapan serupa juga disiarkan oleh Wina, ibu rumah tangga.
Warga jalan Bukit Barisan, Tenayan Raya ini berharap agar penegak hukum tidak pilih-pilih kasus.
Ketika diterangkan sola kasus SPPD fiktif yang merugikna negara ratusan miliar dan melibatkan oknum pejabat, Wina kemudian memberikan pandangannya.
"Kalau yang bermasalah orang kecil ( tak mampu ) pasti cepat diselesaikan. Tapi kalau pejabat cendrung lama. Inikan jadi pertanyaan", ujarnya.
Karena itu menurut Wina, harusnya kasus-kasus korupsi jangan dilihat siapa yang bermasalah. Tapi, semua harus bertanggungjawab atas kesalahan yang diperbuat.
Widya seorang karyawan toko, kepada Tribunpekanbaru.com mengatakan, jika memang ada kasus korupsi yang harus ditangani sampai selesai, tentu saja harus mendapatkan perhatian khusus.
" Kalau korupsi itu harusnya diselesaikan dengan serius. Kan yang dirugikan tetap masyarakat juga. Karena uang yang dikorupsi termasuk uang masyarakat dari pajak," ujarnya.
Sementara itu, pengamat sosial Riau, Triono Hadi menanggapi kasus SPPD Fiktif DPRD Riau tersebut sebagai hal yang penting untuk diungkap seterang-terangnya.
Menurut Triono, hasil audit BPK sudah cukup jelas, telah membuktikan adanya kerugian negara mencapai Rp. 195,9 Milar. Ini bukan kerugian uang rakyat dengan jumlah sedikit. Seharusnya Polda Riau yang saat ini menangani kasus ini harus serius.
Ia meminta agar pihak berwenang yakni Polda Riau memastikan pelaku diadili secara setimpal, dan juga memastikan uang rakyat yang di korupsi kembali .
" Uang Rp 195.9 Miliar itu sama dengan membangun 195 Km jalan-jalan provinsi yang rusak. Atau sama dengan jumlah membangun 1.959 ruang kelas baru, (dengan asumsi 100 juta per uni) bagi siswa yang saat ini menghadapi tantangan fasilitas pendidikan yang rusak dan tidak layak.
Menurutnya, Polda Riau, dalam penanganan kasus ini, jangan hanya dipandang ini hanya perkasus ini. Korupsi dengan jenis ini, berpotensi sering berulang diberbagai daerah. Sehingga penanganan yang serius kan menjadi efek jera bagi pelaku dan tentu dapat mengurangi perilaku-perilaku serupa kedepan.
"Melihat dari casenya, sepertinya sudah cukup jelas. Perhitungan BPK juga sudah clear dengan potensi kerugian negaranya. Harusnya tidak ada alasan lagi bagi Polda untuk tidak bertindak lebih lanjut.Jika polda riau tidak sanggup, serahkan ke Polri. Bila perlu kepenegak hukum lainnya" pungkasnya.
( Tribunpekanbaru.com / Budi Rahmat )