Cerita Sejarah Desa Pleret Bantul: Bekas Ibu Kota Mataram Islam di Yogyakarta
December 29, 2025 09:14 PM

 

TRIBUNJOGJA.COM –  Di balik hamparan sawah dan hiruk-pikuk kendaraan, Pleret pernah menjadi pusat kekuasaan tertinggi di tanah Jawa.

Pada masa pemerintahan Sultan Amangkurat I (1646–1677), Pleret ditetapkan sebagai Ibu Kota Mataram Islam

Nama Pleret berasal dari kata Jawa palérédan yang berarti pengaliran atau pengerukan air. Hal ini mencerminkan pentingnya teknologi air dalam pembangunan kota pada masa itu.

Sultan Amangkurat I

Pleret dibangun dengan ambisi luar biasa oleh Sultan Amangkurat I.

Ia menggabungkan teknologi pengairan dengan kemegahan arsitektur bata merah, menjadikan Pleret simbol kejayaan Mataram Islam.

• Jejak Keraton Plered Mataram Islam Terungkap di Bantul Yogyakarta

Berikut rangkuman fakta menarik dari website Kalurahan Pleret:

1. Danau Buatan

Prasasti Segoroyoso
Prasasti Segoroyoso (https://segoroyoso.bantulkab.go.id/)

Pleret adalah satu-satunya ibu kota kerajaan di Jawa yang sengaja dikelilingi oleh air.

Melalui bendungan raksasa di Sungai Gajah Wong.

Tujuannya? Agar keraton terlihat seolah-olah mengapung di atas air. 

Menciptakan kesan mistis sekaligus perlindungan militer yang alami.

Pernahkah membayangkan ada laut di tengah-tengah daratan Bantul? Itulah Segoroyoso.

Berasal dari kata Segoro (laut) dan Yoso (buatan), danau ini merupakan megaproyek pada kala itu.

Luasnya mencapai puluhan hektar.

Digunakan sebagai tempat latihan perang angkatan laut Mataram untuk melawan Belanda pada masa Sultan Agung.

Namun pada masa Sultan Amangkurat I diperluas lagi.

Dengan tujuan agar istananya terlihat megah seperti diatas air.

Jejak tanggul raksasanya yang kini tertimbun rumah warga masih sering menjadi bahasan menarik bagi masyarakat.

  • Dibangun tahun : 1637
  • Fungsi : Militer, Ekonomi, Pertahanan, Rekreasi

2. Tembok Bata Merah ala Majapahit

Sisa-sisa batu bata merah peninggalan Keraton Pleret
Sisa-sisa batu bata merah peninggalan Keraton Pleret (budaya.jogjaprov.go.id)

Jika Keraton Yogyakarta identik dengan warna putih.

Keraton Pleret justru identik dengan warna merah karna dibangun menggunakan batu bata merah.

Persis seperti bangunan masa kerajaan majapahit pada masa keemasannya.

Teknik penyusunan bentengnya pun tidak menggunakan semen.

Melainkan teknik gosok antar bata hingga merekat sempurna. 

Ketersediaan tanah liat yang melimpah dan kecocokannya untuk dijadikan bahan bangunan.

Hal ini yang menyebabkan penggunaan produksi bata merah beranjut turun-temurun hingga sekarang.

 Menjadi industri rumahan yang khas dan menjamur di wilayah pleret

3. Masjid Agung dengan Umpak Raksasa

Umpak Masjid Agung Kauman
Umpak Masjid Agung Kauman (budaya.jogjaprov.go.id)

Salah satu bukti sejarah kemegahan Pleret adalah sisa-sisa Masjid Agung Kauman. 

Di lokasi ini, dapat dilihat umpak yang ukurannya sangat besar.

Umpak adalah batu penyangga tiang bangunan. 

Besarnya umpak ini menandakan bahwa masjid tersebut dulunya ditopang oleh tiang kayu jati yang sangat besar dan tinggi.

Umpak ini tidak hanya ditemukan satu buah saja tapi 23 umpak batu. 

Membuktikan bahwa Pleret pernah memiliki salah satu bangunan keagamaan terbesar di Jawa pada abad ke-17.

Dua sumber sejarah yang menulis mengenai Masjid Agung Kauman Pleret adalah Serat Babad Momana dan Babad Ing Sengkala.

Dalam Babad Sengkala disebutkan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1571 Jawa atau 1649 Masehi.

Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti kapan masjid ini mulai rusak dan tidak digunakan lagi.

Namun sekarang yang tersisa hanyalah sisa-sisa struktur bangunannya saja.

4. Sumur Gumuling

  

Sumur Gemuling Kraton Pleret

Tak jauh dari lokasi masjid, terdapat peninggalan berupa Sumur Gumuling.

Dalam tradisi keraton, sumur ini bukan hanya menjadi sumber air biasa.

Melainkan tempat pengambilan air suci untuk keperluan ritual keraton dan keperluan para keluarga raja.

Konstruksi sumur ini sangat unik karena bagian dindingnya yang kokoh menggunakan susunan batu bata merah.

Berdiameter 0,8 m, tebal bibir sumur 0,11 m dan mempunyai kedalaman 2,7 m.

Hingga kini, masyarakat sekitar masih mengeramatkan lokasi ini.

Beberapa warga percaya bahwa air dari sumur ini memiliki keberkahan tersendiri.

Merupakan jejak peninggalan spiritual Sultan Amangkurat I.

Lokasi saat ini dapat anda lihat di Museum Purbakala Pleret dan dapat terlihat dari jalan raya.

5. Makam Ratu Malang 

Kompleks Makam Ratu Malang
Kompleks Makam Ratu Malang

Makam Ratu Malang terletak di Gunung Kelir, Pleret.

Di dalamnya terdapat sebuah kompleks makam yang dikenal sebagai Antaka Pura yang berarti istana kematian.  

Ratu Malang adalah selir Raja Mataram ke-4, Sultan Amangkurat I yang sangat dicintainya. 

Ratu Malang yang bernama asli Retno gumilang atau Nyai Truntum adalah istri dari Ki Dalang Panjang.

Saat sedang mendalang Ratu Malang diculik.

Ki Dalang Panjang Mas beserta seluruh penabuh gamelannya dibunuh dengan racun di keraton pleret dan dimakamkan di gunung kelir.

Lambat laun ratu malang meninggal karna kesedihannya.

Sultan Amangkurat I pun murka dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap 43 selir dan dayang-dayangnya.

Alasannya karna di duga bahwa para selir dan dayangnya cemburu terhadap kecantikan dan kedudukan ratu malang. 

Saking sedihnya, Sultan Amangkurat I tidak langsung memakamkan jenazahnya.

Beliau menolak meninggalkan jenazah istrinya.

Menjaganya selama sekitar dua minggu, bahkan tidur di liang lahat bersamanya.

Hingga suatu saat beliau bermimpi ratu malang telah bersatu dengan suaminya Ki Dalang Panjang Mas. Beliaupun sadar dan kembali ke istananya sendiri.

6. Peristiwa Banjir Darah 

Pleret menjadi saksi bisu salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Jawa.

Pada tahun 1647 terjadi pembunuhan masal para ulama.

Hal ini berawal dari konflik internal antara Sultan Amangkurat I dengan adiknya, Pangeran Alit.

Pangeran Alit merasa tidak puas dengan kepemimpinan kakanya yang dianggap kejam dan otoriter. 

Beliaupun melancarkan upaya kudeta untuk menggunlingkan Sultan Amangkurat I.

Namun pemberontakan Pangeran Alit berhasil digagalkan.

Sebagai balas dendam dan kecurigaan beliau menuduh para ulama mendukung kudeta tersebut.

Padahal niat sebenarnya adalah mengamankan kekuasaannya.

Beliau merasa terancam oleh kelompok agama  dan memerintahkan eksekusi massal terhadap sekitar 5.000 hingga 6.000 ulama beserta keluarga mereka.

Pembantaian ini terjadi secara serentak dan hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit di tengah Alun-alun Pleret.

Sejarah mencatat bahwa tanah Pleret saat itu benar-benar terjadi banjir darah.

Sebuah catatan kelam yang kontras dengan keindahan arsitektur air yang dibangunnya.

Kisah kelam ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Pleret yang menggambarkan betapa kerasnya dunia politik kekuasaan di masa itu.

Nah, bagi yang suka berwisata sejarah, Pleret adalah destinasi yang wajib dikunjungi untuk merasakan sisa-sisa atmosfer kejayaan mataram islam yang sudah hilang.(MG Khoirunnida)

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.