TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Perahu kayu itu akhirnya kembali membelah ombak. Setelah lebih dari dua bulan hanya terikat di bibir pantai, nelayan di Pasia Muaro Kampung KB, Kelurahan Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, kembali memaksakan diri melaut.
Empat hari terakhir menjadi titik balik yang getir. Bukan karena laut sudah sepenuhnya ramah, melainkan karena dapur tak lagi bisa menunggu.
Cuaca buruk dan lautan yang dipenuhi kayu gelondongan sempat memaksa mereka berhenti total dari aktivitas melaut.
Dua bulan tanpa penghasilan membuat pilihan semakin sempit.
Baca juga: Kayu Gelondongan Ganggu Aktivitas Nelayan Parupuk Tabing, Kini BertahanHidup dengan Memancing
Dengan metode tangkap ikan payang, para nelayan kembali mencoba peruntungan di tengah laut.
Risiko masih besar. Kayu-kayu yang hanyut berpotensi merusak jaring bahkan badan kapal.
Namun kebutuhan hidup jauh lebih mendesak daripada rasa takut.
“Kalau tidak melaut, kami tidak bisa memberi makan anak istri. Mau tidak mau kami paksakan,” ujar Doni (38), nelayan setempat, saat ditemui TribunPadang.com, Senin (29/12/2025) sore, usai pulang melaut.
Menurut Doni, hasil tangkapan selama empat hari terakhir jauh dari kata cukup.
Ikan yang didapat hanya sanggup menutup biaya bahan bakar kapal dan upah nelayan yang ikut melaut secara berkelompok.
“Dari pagi sampai sore, kalau diuangkan paling banyak Rp 2 juta. Itu habis untuk minyak kapal karena jarak melaut jauh untuk mencari ikan. Sementara nelayan yang ikut paling banyak dapat Rp 50 ribu per orang,” jelasnya lirih.
Baca juga: Aktivitas Nelayan Terganggu Akibat Tumpukan Kayu Pasca Banjir Masih Penuhi Pantai Parupuk Tabing
Kondisi tersebut membuat jerat utang semakin dalam. Selama dua bulan tak melaut, banyak nelayan terpaksa menggantungkan hidup dengan berutang demi kebutuhan sehari-hari.
Bahkan setelah kembali ke laut, hasil tangkapan yang minim belum mampu menutup beban itu.
“Rata-rata nelayan di sini masih berutang. Mau bagaimana lagi, hasil sedikit, tapi kebutuhan jalan terus,” kata Doni.
Ia menyadari, laut tak pernah bisa dijanjikan. Rezeki datang dan pergi tanpa kepastian. Ada hari penuh harapan, ada pula hari pulang dengan tangan kosong.
“Namanya nelayan, rezeki di laut tidak bisa ditebak. Kadang banyak, kadang sedikit, bahkan kadang tidak ada sama sekali,” tuturnya.
Utang pun lebih banyak ditumpukkan di warung dan toko sembako sekitar kampung. Beras, minyak goreng, hingga kebutuhan harian dicatat sebagai hutang. Pinjaman ke bank menjadi pilihan yang dihindari.
Baca juga: Hampir Sepekan Tak Melaut Akibat Cuaca Buruk, Nelayan Purus Padang Berharap Bantuan Pemerintah
“Kalau ke bank kami takut. Bagaimana mau bayar, dua bulan tidak melaut, sekarang melaut pun hasilnya sedikit,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan, secercah bantuan sempat datang. Saat mereka tak bisa ke laut, komunitas masyarakat sipil turun tangan.
Bantuan beras dan makanan siap santap sempat meringankan beban.
Baca juga: Warga Pesisir Antusias Nantikan Bengkel Kapal dan Pabrik Es Kampung Nelayan Merah Putih
“Kemarin itu kami dapat bantuan beras dan nasi bungkus dari teman-teman LBH Padang dan beberapa lembaga lain,” ungkap Doni.
Meski demikian, harapan tetap disematkan pada perhatian pemerintah.
Para nelayan berharap adanya bantuan lanjutan agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi dan lingkaran utang tidak semakin membesar.
“Kami sangat berharap bantuan pemerintah. Kondisi ekonomi kami sangat susah. Melaut sudah mulai, tapi tangkapan sedikit. Kami takut utang semakin banyak,” pungkasnya.
Baca juga: Enam Nelayan Kapal Primadona yang Hilang Kontak Ditemukan Selamat di Perairan Pasaman Barat
Di Pasia Muaro, laut bukan sekadar hamparan biru. Ia adalah harapan sekaligus ujian.
Dan bagi para nelayan, bertahan hidup sering kali berarti berlayar meski ombak belum sepenuhnya bersahabat untuk menggantungkan hidup. (TribunPadang.com/Muhammad Afdal Afrianto)