TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Setiap pagi, Erma Chaniago (45) membuka mata dengan pertanyaan yang sama: hari ini dapur harus tetap mengepul dengan cara apa?
Istri nelayan di Pasia Muaro Kampung KB, Kelurahan Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, itu sudah dua bulan terakhir hidup dalam ketidakpastian.
Suaminya tak bisa melaut. Cuaca buruk dan lautan yang dipenuhi kayu gelondongan membuat perahu mereka hanya terikat di bibir pantai.
Dua bulan tanpa penghasilan bukan waktu yang singkat bagi keluarga nelayan. Bagi Erma, itu berarti harus pandai memutar otak agar anak-anaknya tetap bisa makan.
Baca juga: Dua Bulan Tak Melaut, Nelayan Pasia Muaro Parupuk Tabing Bertahan Hidup dari Kayu Gelondongan
“Kami ibu-ibu nelayan di sini memang harus pandai-pandai bertahan. Ada yang berutang di warung untuk beli beras dan kebutuhan harian lainnya,” ujar Erma Chaniago saat ditemui TribunPadang.com, Senin (29/12/2025).
Berutang menjadi pilihan paling realistis. Bukan karena ingin, tetapi karena tak ada jalan lain. Tanpa itu, ia mengaku anak-anaknya bisa kelaparan.
Baca juga: Hasil Tangkapan Tak Cukup, Nelayan Parupuk Tabing Padang Terpaksa Berutang untuk Hidup
“Untuk bertahan hidup, karena suami tidak bisa bekerja, terpaksa kami berutang ke warung agar bisa makan bersama keluarga,” tuturnya lirih.
Erma paham benar posisi pemilik warung yang juga hidup pas-pasan. Karena itu, setiap kali ada sedikit uang, utang selalu menjadi hal pertama yang ia lunasi.
“Kalau ada uang langsung kami bayar. Kami tidak mau bikin pemilik warung kecewa, karena kami sering bergantung kepada mereka,” katanya.
Empat hari terakhir, harapan sempat menyelinap. Suami Erma kembali melaut.
Perahu kayu yang lama diam akhirnya kembali membelah ombak. Namun kenyataan belum sepenuhnya ramah.
“Hasilnya baru cukup untuk beli BBM kapal. Ikan jarang dibawa pulang, karena semuanya dijual untuk beli minyak. Jadi kami para istri nelayan di sini memang harus pandai-pandai putar otak,” ujarnya.
Baca juga: Terjepit Kebutuhan, Nelayan Parupuk Tabing Kembali Melaut Meski Kayu Gelondongan Ancam Alat Tangkap
Untuk menyambung hidup, Erma membuka warung kopi kecil di depan rumahnya.
Warung sederhana itu menjadi tempat singgah nelayan yang pulang melaut, sekadar melepas lelah sambil menyeruput kopi.
“Sedikit-sedikit terbantu dari warung kopi ini. Ada nelayan yang duduk-duduk sambil ngopi,” katanya.
Namun di warung itu pula, utang kembali tercatat. Banyak nelayan belum sanggup membayar. Erma tak tega menolak.
Baca juga: Kayu Gelondongan Ganggu Aktivitas Nelayan Parupuk Tabing, Kini BertahanHidup dengan Memancing
“Banyak juga yang berutang kopi. Tapi kami paham, mereka juga tidak melaut. Kalau ada uang, pasti langsung dibayar,” ucapnya.
Kisah Erma adalah potret yang sama dengan kehidupan banyak keluarga nelayan di Pasia Muaro.
Setelah lebih dari dua bulan terhenti, nelayan setempat kembali melaut dalam empat hari terakhir. Bukan karena laut sudah aman, melainkan karena dapur tak lagi bisa menunggu.
Dengan metode tangkap ikan payang, mereka mencoba peruntungan di tengah laut yang masih berisiko.
Kayu-kayu hanyut mengancam jaring dan badan kapal. Namun kebutuhan hidup jauh lebih mendesak daripada rasa takut.
“Kalau tidak melaut, kami tidak bisa memberi makan anak istri. Mau tidak mau kami paksakan,” kata Doni (38), nelayan setempat, usai pulang melaut.
Hasil tangkapan jauh dari kata cukup. Dari pagi hingga sore, ikan yang didapat hanya sanggup menutup biaya bahan bakar dan upah nelayan yang ikut melaut.
Baca juga: Aktivitas Nelayan Terganggu Akibat Tumpukan Kayu Pasca Banjir Masih Penuhi Pantai Parupuk Tabing
“Kalau diuangkan paling banyak Rp2 juta. Itu habis untuk minyak kapal. Nelayan yang ikut paling dapat Rp50 ribu per orang,” ujar Doni.
Selama dua bulan tak melaut, utang menjadi penyangga hidup. Beras, minyak goreng, hingga kebutuhan harian dicatat di warung dan toko sembako sekitar kampung.
“Rata-rata nelayan masih berutang. Mau bagaimana lagi, hasil sedikit tapi kebutuhan jalan terus,” katanya.
Di tengah keterbatasan, bantuan dari komunitas masyarakat sipil sempat datang. Beras dan makanan siap santap sedikit meringankan beban. Namun mereka sadar, bantuan tak bisa menjadi sandaran selamanya.
Baca juga: Warga Pesisir Antusias Nantikan Bengkel Kapal dan Pabrik Es Kampung Nelayan Merah Putih
Harapan kini kembali dititipkan kepada pemerintah.
“Kami berharap ada perhatian dan bantuan. Kondisi ekonomi kami sangat susah. Kami takut utang semakin banyak,” ujar Erma.
Di Pasia Muaro, laut bukan sekadar hamparan biru. Ia adalah sumber hidup sekaligus ujian. Dan bagi para nelayan beserta keluarganya, bertahan hidup sering kali berarti terus melaut, meski ombak belum sepenuhnya bersahabat. (TribunPadang.com/Muhammad Afdal Afrianto)