TRIBUNNEWS.COM - Pendiri lembaga riset Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saiful Mujani, ikut bersuara mengenai polemik wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ia mempertanyakan kehadiran para pejabat wakil rakyat yang duduk di pusat, seperti DPR RI, yang justru ikut menyuarakan wacana Pilkada melalui DPRD ini.
Mengacu survei yang ia lakukan Agustus 2025, Saiful Mujani dengan tegas menyampaikan rakyat keberatan dengan usulan tersebut.
Banyak pihak memilih "Tidak Setuju" apabila gubernur, bupati/ wali kota dipilih oleh DPRD.
Ia menduga, politisi sengaja memainkan isu politik uang dan korupsi demi bisa mengusulkan Pilkada dipilih DPRD.
Padahal, menurut Saiful, politik uang bukan bersumber dari rakyat, melainkan dari politisi dan calon kepala daerah yang tidak kompeten namun memaksakan diri untuk menang dengan menyebar uang.
"Politisi ingin agar kepala daerah dipilih oleh DPRD karena pemilihan langsung oleh rakyat membuat pilkada penuh politik uang, merusak persatuan. Ide politisi ini sama dengan menuduh rakyat sebagai sumber politik uang dan korupsi. Padahal yang nyebar uang itu politisi, calon nggak pantas, nggak kompeten, makasain diri ingin menang. Politisi itu sumber politik uang, bukan rakyat," kata Saiful Mujani dalam postingan Twitter-nya (X), @saiful_mujani, Senin (29/12/2025).
Saiful menilai, pemilihan gubernur, bupati/wali kota melalui DPRD adalah keinginan oligarki dalam tubuh partai.
Ia menyebut pemilihan oleh DPRD justru berpotensi memperkuat oligarki partai dan memusatkan kekuasaan pada segelintir petinggi politik.
"Yang lebih masuk akal motif ide kepala daerah harus dipilih DPRD adalah keinginan untuk kontrol hampir keseluruhan kehidupan publik oleh segelintir petinggi partai (demi) memperkuat oligarki partai," kata Saiful.
Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memutuskan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD.
Baca juga: Dukung Pilkada Lewat DPRD, Gerindra: Harus Berani Ubah Sistem
Dirinya pun menyayangkan usulan tersebut muncul dari Anggota DPR RI, yang seharusnya mendengarkan suara rakyat.
"Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa kepala daerah wajib dipilih langsung oleh rakyat bukan oleh DPRD. tapi banyak partai yang mau melawan keputusan MK ini. Rakyat bersama MK."
"Survei indikator terakhir, agustus 2025: rakyat menolak kepala daerah dipilih oleh DPRD. ini konsisten sejak 2014 ketika dpr buat keputusan pilkada dipilih oleh dprd yang ditolak presiden SBY. Yang menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD datang dari hampir semua pemilih partai, dan hampir semua pemilih presiden. Hai politisi. anda mewakili siapa?" demikian tulis Saiful dalam unggahannya.
Sebelumnya, wacana pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat dan memicu polemik publik.
Isu ini mengemuka setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikannya dalam Puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Kompleks GBK, Jakarta, pada Jumat (5/12/2025).
Sejumlah elite politik menyatakan dukungan, sementara kalangan akademisi dan masyarakat sipil menyampaikan penolakan keras.
Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menjadi salah satu tokoh yang secara terbuka mendukung wacana kepala daerah dipilih DPRD.
Menurutnya, mekanisme tersebut telah diterapkan di sejumlah negara seperti Malaysia, India, Inggris, Kanada, dan Australia.
Bamsoet menilai pilkada langsung selama ini menimbulkan banyak persoalan struktural, mulai dari politik biaya tinggi, maraknya politik uang, hingga meningkatnya kasus korupsi kepala daerah.
Untuk itu, sistem pemilihan melalui DPRD dapat menekan ongkos politik yang kian mahal dan mengurangi dominasi pemilik modal serta oligarki dalam kontestasi politik daerah.
“Pilkada langsung sering kali berubah menjadi kontestasi modal. Banyak calon harus mengeluarkan biaya sangat besar sejak proses pencalonan, kampanye, hingga jelang pencoblosan. Situasi ini menciptakan lingkaran setan, karena ketika terpilih, kepala daerah terdorong mengembalikan modal politiknya melalui cara-cara yang menyimpang,” ujar Bamsoet di Jakarta, Selasa (23/12/2025) dilansir Instagramnya, @bambang.soesatyo.
Bamsoet juga menyoroti besarnya beban anggaran negara dalam penyelenggaraan pilkada langsung.
Adapun beban anggaran negara meliputi biaya logistik, pengamanan, hingga potensi pemungutan suara ulang akibat sengketa hasil.
Ia menyinggung data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencatat sejak 2024 hingga Mei 2025 sebanyak 201 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Mereka terjerat korupsi karena masalah perizinan, proyek infrastruktur, dan pengelolaan anggaran daerah.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)