Kelurahan Gajahmungkur Angkat Bicara soal ODGJ Terancam Kehilangan Rumah
December 30, 2025 06:14 AM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pemerintah Kelurahan Gajahmungkur merespons kekhawatiran terkait nasib dua warga penyandang gangguan jiwa (ODGJ) yang terancam kehilangan rumah warisan menyusul adanya wacana penghapusan surat tanah Letter D/Girik, mulai Februari 2026.

Sekretaris Lurah Gajahmungkur, Suwondo menjelaskan, pihak kelurahan telah menerima laporan dan melakukan koordinasi dengan keluarga terkait status kepemilikan tanah yang ditempati dua ODGJ di Kampung Kalilangse RT 05 RW 02, Kelurahan/Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan bahwa seluruh dokumen tanah berbasis adat termasuk girik, Letter C, hingga Petok D tidak lagi memiliki kekuatan hukum mulai Februari 2026. 

Masyarakat diminta segera mendaftarkan tanah mereka agar berubah menjadi sertifikat resmi negara.

Kebijakan ini membuat warga seperti di Kalilangse harus bergerak cepat, sebelum status Letter D benar-benar berhenti berlaku dan menyisakan ketidakpastian atas tanah yang mereka tinggali

Menurut Suwondo, tanah yang ditempati Purnati dan Sukoyono tersebut merupakan aset warisan almarhum Soemari Djojo Soemarjo, yang memiliki tiga anak.

Dua anak Soemari telah meninggal dunia.

Ahli waris yang masih hidup dan tercatat secara administrasi saat ini adalah Astrid, cucu almarhum, yang berdomisili di Bogor dan berprofesi sebagai dokter.

Peningkatan hak tanah

Kemudian, kata Suwondo, Astrid yang kondisi perekonomiannya relatif mapan, memberikan tanah kepada dua keponakan, Purnati dan Sukoyono, yang merupakan ODGJ.

“Karena, ekonominya (Astrid—Red) sudah kuat dan, istilahnya, kaya nggak butuhlah, posisi aset itu ditempati berdua ini," kata Suwondo.

Namun, Suwondo menegaskan, secara hukum tanah tersebut belum bisa dialihkan atas nama Purnati dan Sukoyono karena keterbatasan yang dimiliki keduanya.

"Karena ini ODGJ, nggak bisa tanda tangan, terus nanti bagaimana?" kata Suwondo.

"Jadi posisinya tetap atas nama Bu Astrid ini," lanjutnya.

Terkait kebijakan nasional akan adanya penghapusan Letter D pada 2026, Suwondo menyebut solusi yang memungkinkan adalah peningkatan hak tanah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Pemerintah Kelurahan, kata dia, hanya berwenang membantu pada tahap administrasi awal.

"Kalau kelurahan itu hanya membantu membuatkan surat pernyataan ahli waris. 'Oh, ini asetnya punya almarhum/almarhumah ini dikasihkan siapa.' Atau ini seperti ini contohnya buat dibuatkan surat pernyataan ahli waris jadi keluarganya tercatat semua, ditandatangani keluarganya. Apabila ada yang menolak warisan, ya di sini ada tanda tangannya juga,” kata Suwondo.

“Misal ini menolak, terus dikasihkan siapa yang menerima. Juga ada tanda tangan saksinya: tetangga, Pak RT, Pak RW, Bu Lurah," jelasnya.  

Tunggu PTSL

Di Kampung Kalilangse, Kelurahan Gajahmungkur, persoalan tanah berstatus Letter D bukan persoalan satu rumah saja.

Ada sekitar 15 rumah di RT 05 RW 02, yang masih berstatus Letter D.  

Sebagian warga menunggu program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun berikutnya, berharap biaya lebih ringan. 

“Karena, jika mengurus mandiri, ongkosnya tidak sederhana,” kata Ketua RT 05 RW 02 Kalilangse, Eko Ngadiyanto, kepada Tribun Jateng, beberapa waktu lalu.

“BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan—Red) itu yang berat. Ada yang sampai Rp21 sampai Rp 25 juta. Tergantung luas tanahnya. Makanya banyak yang nunggu,” sambungnya.

Eko menjelaskan, mayoritas warganya bekerja sebagai kuli bangunan atau berdagang kecil.  

Pendapatan habis untuk kebutuhan harian sehingga pembayaran BPHTB terasa jauh dari jangkauan.

Eko mengaku, pernah membayar hingga dua kali untuk proses yang sama.

“Habisnya (untuk proses pengurusan—Red) Rp 9 juta sekian. Lokasi rumah saya masuk gang, medannya tebing. Masa disamakan sama pinggir jalan. Tapi harga jual tanah naik semua,” katanya.

Ia menyebut, banyak warga akhirnya menunda pengurusan sertifikat karena faktor ekonomi.  

“Orang kampung, pendapatan ya pas-pasan,” tambahnya.

Jika Letter D benar-benar dihapus pada 2026, banyak warga di Kalilangse bakal berhadapan dengan ketidakpastian legalitas tanah.

Eko berharap ada penyesuaian kebijakan pemerintah. 

Setidaknya, mempertimbangkan letak dan kemampuan ekonomi warga.

“Kalau bayar ya boleh, tapi jangan terlalu besar. Harus ada penyesuaian letak tanah,” kata dia. (Idayatul Rohmah/Rezanda Akbar D)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.