Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Pemerintahan Sanae Takaichi dikabarkan akan menyusun basic direction atau arahan dasar kebijakan luar negeri pada Januari 2026.
Salah satu isu sensitif yang mencuat dalam pembahasan internal Partai Demokrat Liberal (LDP) adalah kebijakan terhadap warga asing, mulai dari pengetatan kepemilikan properti, penagihan tunggakan pajak dan asuransi sosial, hingga persyaratan yang lebih ketat untuk izin tinggal permanen dan naturalisasi.
Semua itu berada di bawah tanggungjawab Menteri Negara untuk Urusan Khusus (State Minister) Kimi Onada yang dipercayakan oleh PM Jepang Sanae Takaichi.
"Usulan tersebut disampaikan kepada pemerintah dalam rapat Markas Besar Kebijakan Orang Asing LDP pada 24 Desember lalu. Namun, sejumlah pengamat menilai pendekatan yang berfokus pada pengetatan regulasi bersifat parsial dan berisiko tidak menyentuh persoalan mendasar imigrasi Jepang," ungkap politisi senior Jepang kepada Tribunnews.com Selasa (30/12/2025).
Selama ini, pemerintah Jepang secara konsisten menghindari istilah “kebijakan imigrasi”. Penerimaan warga asing selalu dibingkai sebagai langkah sementara untuk menutup kekurangan tenaga kerja serta menarik sumber daya manusia (SDM) sangat terampil.
Masalahnya, hingga kini tidak ada kejelasan apakah Jepang akan mempertahankan arah tersebut atau melakukan koreksi besar.
Baca juga: Jepang Masuk Pasar Alutsista Global, Indonesia Jadi Target Strategis
"Yang terlihat justru perdebatan mengenai pembatasan kuantitatif dan pengetatan sebagian aturan, berdasarkan nota koalisi antara LDP dan Partai Inovasi Jepang (Nippon Ishin)," ungkap penulis dan pengamat ekonomi politik internasional Yun Yamada baru-baru ini.
Menurut Immigration Services Agency of Japan, jumlah warga asing yang tinggal di Jepang per akhir Juni 2025 mencapai 3.956.619 orang, tertinggi sepanjang sejarah. Sistem Specified Skilled Worker (Tokutei Ginou) yang diluncurkan pada 2019 disebut menjadi faktor utama lonjakan tersebut.
Menurut "Status Ketenagakerjaan Orang Asing" Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (per akhir Oktober 2024), peringkat pekerja asing yang bekerja di Jepang berdasarkan negara adalah Vietnam (570.708, sekitar 24,8 persen), Tiongkok (408.805, sekitar 17,8%), Filipina (245.565, sekitar 10,7%), dan Nepal (185.551, sekitar 8,1%). Indonesia menempati peringkat kelima (169.539 orang, sekitar 5,6%).
Penduduk asing di Jepang secara garis besar terbagi dalam dua kelompok. Pertama, migran tenaga kerja yang masuk melalui skema magang teknis dan keterampilan khusus untuk pekerjaan manual. Kedua, SDM terampil yang datang dengan visa bisnis, manajerial, atau visa teknis–humaniora, dan menargetkan tinggal jangka panjang hingga permanen.
"Desain sistem saat ini menunjukkan kecenderungan mendorong peningkatan penduduk menetap untuk menutup krisis demografi akibat rendahnya angka kelahiran dan penurunan populasi," tambah Yamada.
Dalam perdebatan publik, kerap muncul seruan agar Jepang meniru model Singapura yang membedakan secara tegas antara pekerja kasar dan tenaga ahli.
"Di Singapura, pekerja kasar hanya diizinkan tinggal sementara tanpa membawa keluarga, sementara SDM terampil diberi jalur jelas menuju pemukiman tetap."
Namun, perbandingan ini dinilai tidak realistis. Pendapatan bulanan rata-rata di Singapura pada 2025 mencapai sekitar 910.000 yen, hampir tiga kali lipat Jepang yang berada di kisaran 330.000 yen.
Upah per jam pekerja sederhana di Singapura juga jauh lebih tinggi. Selain itu, keterbatasan penggunaan bahasa Inggris di Jepang membuat negara ini semakin kurang kompetitif di pasar tenaga kerja global.
Data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan per Oktober 2024 menunjukkan lima negara asal terbesar pekerja asing di Jepang adalah Vietnam, China, Filipina, Nepal, dan Indonesia. Vietnam menyalip China sejak 2019, namun tren ini mulai melemah.
Seiring meningkatnya PDB per kapita Vietnam dan melemahnya nilai yen, banyak calon pekerja kini lebih memilih Korea Selatan dan Taiwan yang menawarkan upah lebih tinggi dan prospek ekonomi lebih menjanjikan.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, Asia menghasilkan sekitar 5,9 juta migran tenaga kerja baru setiap tahun. Jepang sebelumnya menjadi tujuan utama di Asia Timur, namun dominasi tersebut kini runtuh akibat stagnasi ekonomi dan depresiasi yen.
Filipina, salah satu eksportir tenaga kerja terbesar di dunia, juga semakin menjauh dari Jepang karena faktor upah dan hambatan bahasa.
Dalam kondisi ini, Jepang diperkirakan hanya akan menarik pekerja dari negara-negara berpendapatan sangat rendah di Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika.
Para analis memperingatkan bahwa jika tren ini berlanjut, Jepang berisiko menjadi negara yang hanya menerima migran dari wilayah termiskin dan paling rentan konflik.
Bahkan, tanpa reformasi mendasar dan visi jangka panjang yang jelas, Jepang dalam jangka panjang dikhawatirkan berubah dari negara tujuan migrasi menjadi negara pengirim migran.
Dalam situasi yang oleh pengamat disebut anakronistis ini, pengetatan regulasi semata dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan. Kebijakan imigrasi setengah hati justru berpotensi mempercepat penurunan daya tarik Jepang di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Diskusi lowongan kerja di Jepang dilakukan Pencinta Jepang gratis bergabung. Kirimkan nama alamat dan nomor whatsapp ke email: tkyjepang@gmail.com