TRIBUNJAKARTA.COM - Salah satu tersangka tuduhan ijazah palsu Jokowi, Rismon Sianipar, melontarkan pernyataan kontroversial dengan menyerukan Resolusi 2026.
Seruan tersebut berisi upaya untuk memakzulkan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka.
Ia beralasan Gibran layak dimakzulkan karena tidak terpenuhinya syarat pendidikan minimal sebagai Wapres sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemilu.
Rismon menilai Gibran tak pernah menamatkan pendidikan setara SMA, baik di dalam maupun luar negeri.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan ketentuan yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden memiliki pendidikan minimal SMA atau sederajat.
"Resolusi 2026 Wapres Gibran yang tidak pernah lulus SMA, baik dalam maupun luar negeri, tidak memenuhi syarat minimal SMA yang diatur dalam Undang-undang pemilu kita, maka resolusi kita 2026 adalah memakzulkan Gibran," katanya seperti dikutip dari komenpol.id di Instagram yang tayang pada Selasa (30/12/2025).
Selain itu, ia juga menyerukan agar rakyat melakukan aksi turun ke jalan secara massal dan damai.
Aksi turun ke jalan itu demi mendesak pemerintah agar menindaklanjuti tuntutan itu.
"Rakyat harus turun, people power dengan cara damai dalam massa yang banyak," tambahnya.
Rismon juga menyoroti surat keterangan yang dikeluarkan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjendikdasmen) pada 6 Agustus 2019.
Ia mendesak agar surat tersebut segera dicabut lantaran menyamaratakan sekolah Gibran Kelas 1 SMA dengan SMK bidang peminatan akuntansi dan keuangan.
"Kita harus bergerak, 2026, rakyat bergerak turun semua ratusan ribu sampai jutaan orang untuk meminta Ditjendikdasmen mencabut surat keterangan yang dikeluarkannya pada 6 Agustus 2019 yang menyamaratakan sekolah Gibran kelas 1 SMA setara dengan SMK bidang peminatan akuntansi dan keuangan yang abal-abal itu," ujarnya.
Rismon menyebut surat tersebut sebagai dasar yang dipermasalahkan dan menilai keasliannya perlu diuji kembali.
Ia menegaskan gerakan yang ia serukan bertujuan mengembalikan kedaulatan rakyat.
"Dan kita harus menjadi pemilik, rakyat harus menjadi pemilik di republik ini. karena kedaulatan rakyat, adalah kedaulatan tertinggi," pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka digugat secara perdata oleh seorang warga sipil karena rekam jejak pendidikannya dinilai tidak sesuai persyaratan di Indonesia.
Gugatan perdata ini diajukan oleh Subhan, seorang warga sipil, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Karena di UU Pemilu itu disyaratkan, presiden dan wakil presiden itu harus minimum tamat SLTA atau sederajat,” ujar Subhan dalam program Sapa Malam yang ditayangkan melalui YouTube Kompas TV, Rabu (3/9/2025).
Berdasarkan informasi yang diunggah KPU pada laman infopemilu.kpu.go.id, Gibran diketahui menamatkan pendidikan setara SMA di dua tempat, yaitu Orchid Park Secondary School Singapore pada tahun 2002-2004 dan UTS Insearch Sydney, Australia pada tahun 2004-2007.
Dalam program Sapa Malam Kompas TV, Subhan menjelaskan bahwa dua institusi itu tidak memenuhi syarat pendaftaran cawapres yang diatur oleh peraturan Indonesia.
Menurutnya, meskipun institusi di luar negeri itu setara SMA, UU Pemilu saat ini tegas menyebutkan bahwa syarat Presiden dan Wakil Presiden adalah tamatan SLTA, SMA, atau sederajat.
“Meski (institusi luar negeri) setara (SMA), di UU enggak mengamanatkan itu. Amanatnya tamat riwayat SLTA atau SMA, hanya itu,” katanya.
Subhan mengatakan bahwa gugatannya ini merujuk pada definisi SLTA atau SMA yang disebutkan dalam UU Pemilu, yang menurutnya merujuk pada sekolah di Indonesia.
Ia menilai, KPU tidak berwenang untuk menentukan apakah dua institusi luar negeri ini setara dengan SMA di dalam negeri.
“Ini pure hukum, ini kita uji di pengadilan. Apakah boleh KPU menafsirkan pendidikan sederajat dengan pendidikan di luar negeri,” lanjut Subhan.
Dalam gugatan dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst, Gibran dan KPU duduk sebagai tergugat.
Salah satu petitum gugatan ini menyebutkan bahwa Gibran dan KPU patut membayar uang ganti rugi sebesar Rp 125 triliun.
“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” tulis isi petitum.