TRIBUN-BALI.COM - Pemerintah resmi menetapkan kuota impor sejumlah komoditas pangan untuk kebutuhan bahan baku industri pada tahun 2026. Keputusan ini mencakup impor gula, daging lembu, perikanan, hingga garam guna memastikan keberlangsungan rantai pasok industri nasional.
Khusus untuk kuota impor gula bahan baku industri sebanyak 3,12 juta ton pada tahun 2026. Digadang-gadang ini demi menjamin ketersediaan pasokan bagi sektor manufaktur di dalam negeri.
Keputusan tersebut merupakan hasil kesepakatan dalam rapat koordinasi penetapan Neraca Komoditas Pangan 2026 di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Selasa (30/12).
Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Distribusi Pangan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Tatang Yuliono, mengungkapkan bahwa penetapan ini merupakan hasil rapat koordinasi Neraca Komoditas Pangan 2026 yang melibatkan kementerian teknis terkait. Tatang merinci total impor gula industri reguler yang disetujui mencapai 3.124.394 ton.
Selain kuota reguler tersebut, pemerintah juga mengalokasikan tambahan sebanyak 508.360 ton. Alokasi tambahan ini dikhususkan untuk gula bahan baku industri yang menggunakan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Kemudahan Bahan (KITE KB). “Disepakati bahwa untuk gula bahan baku industri itu adalah sesuai dengan usulan yaitu sebesar 3.124.394 ton,” ujar Tatang.
Baca juga: SIDAK & Hentikan Proyek 30 Vila di Canggu, Pansus TRAP DPRD Bali Juga Tutup Lapangan Padel di Munggu
Baca juga: TIDAK Ada Izin Dinas Kelautan Bali, Pansus TRAP dan Satpol PP Bali Hentikan Reklamasi Sawangan!
Tatang menegaskan bahwa kebijakan impor ini murni ditujukan untuk menyokong aktivitas sektor industri dan ekspor. Ia mewanti-wanti bahwa gula impor tersebut tidak akan merembes ke pasar konsumsi rumah tangga.
“(Untuk gula) konsumsi, kita tidak ada impor. Jadi untuk konsumsi kita tidak ada impor sama sekali,” tegasnya.
Di samping itu, dia menjelaskan bahwa kuota impor gula industri reguler dan gula skema KITE KB merupakan dua jalur yang berbeda. Skema KITE KB secara spesifik ditujukan bagi perusahaan yang mengolah bahan baku impor untuk kemudian diekspor kembali dalam bentuk produk jadi.
Sementara itu, untuk komoditas daging lembu, pemerintah menyetujui impor khusus industri sebesar 17.097,95 ton. Angka ini merupakan bagian dari total penetapan kuota impor daging lembu secara keseluruhan yang mencapai 297.097,95 ton.
Di sektor perikanan, Tatang menyebut pemerintah menetapkan impor bahan baku industri sebesar 23.576,51 ton. Angka ini sejatinya hanya separuh dari usulan awal yang diajukan. Di luar itu, terdapat bahan baku non-industri yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar 29.225 ton.
Sementara untuk komoditas garam, pemerintah bersikap lebih selektif. Keran impor garam hanya dibuka untuk kebutuhan industri Chlor Alkali Plant (CAP) dengan volume mencapai 1,18 juta ton.
Hingga saat ini, pemerintah belum menetapkan kuota impor untuk garam non-CAP, seperti garam pangan dan garam farmasi. Tatang menegaskan, seluruh keputusan volume impor ini berasal dari usulan pelaku usaha yang telah diverifikasi ketat oleh Kemenperin, Kementan, hingga KKP.
Tatang berharap kebijakan impor yang terukur ini dapat menjaga denyut nadi industri nasional tanpa mengganggu target besar pemerintah dalam mencapai swasembada pangan. "Semoga keputusan ini bisa memenuhi seluruh harapan industri," pungkasnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika menyebut, gula yang bakal diimpor untuk kebutuhan industri itu berjenis gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar yang mencapai 98 persen. Dia mengatakan, sebagian GKM juga digunakan untuk kebutuhan industri nongula konsumsi, seperti bahan penyedap. (kontan)
Sementara itu, Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berencana akan mengatur harga jual acuan untuk sejumlah barang impor yang selama ini kerap dijual dengan harga murah di Indonesia.
Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengatakan, pengaturan harga jual tersebut akan diterapkan untuk melindungi produk-produk dalam negeri dari gempuran barang impor yang kerap dijual di bawah harga pasar.
“Kita tahu bahwa publik ini melihat harga barang dengan kebutuhan mereka mau barang apa, that's it. Karena kita tahu produk-produk dari China ini dengan harga yang luar biasa (murah), itu akhirnya menyulitkan produk dalam negeri kita berkompetisi, makanya kita buat persaingan yang fair,” ujarnya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (29/12).
Maman mengatakan, saat ini rincian kebijakan tersebut tengah dibahas bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sebab nantinya aturan harga jual produk impor ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
Maman menegaskan aturan harga jual acuan ini tidak hanya berlaku untuk produk impor dari China melainkan seluruh produk impor yang jenisnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.
“Yang kita bahas nanti salah satu parameternya apa yang memang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang dibutuhi oleh orang banyak. Lalu yang kedua, produk-produk apa saja yang sudah bisa diproduksikan dalam negeri,” jelasnya.
Maman mengungkapkan, produk impor yang kemungkinan akan dikenakan aturan harga jual ini meliputi produk sandang dan pangan untuk kebutuhan primer maupun sekunder yang dinilai pemerintah berpotensi mematikan produk dalam negeri.
“Kebutuhan itu kayak baju, alas kaki, mungkin produk-produk. Sampai sekarang rinciannya masih belum kita putuskan, ini masih dalam diskusi,” tuturnya. (kontan)