Okupansi Hotel di DIY Belum Merata Selama Masa Libur Nataru
December 31, 2025 02:01 PM

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Di tengah ramainya perbincangan di media sosial tentang Yogyakarta sebagai destinasi favorit libur akhir tahun, tingkat okupansi hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum sepenuhnya mencerminkan euforia tersebut. 

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mencatat, selama periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), tingkat hunian hotel masih berada di kisaran 60–80 persen dan belum merata di seluruh wilayah.

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengatakan lonjakan okupansi memang terjadi pada periode tertentu, khususnya pada 26–29 Desember. Namun, tren tersebut tidak berlangsung konsisten hingga akhir tahun.

“Dengan adanya tagline Satu Indonesia ke Jogja, sebenarnya ada dampak positif dan juga negatif. Positifnya, tingkat hunian hotel bisa mencapai 60 sampai 80 persen, terutama di tanggal 26 sampai 29 Desember. Tetapi pada tanggal 30 Desember kemarin justru terjadi penurunan cukup signifikan, rata-rata hanya sekitar 40 persen,” ujar Deddy.

Memasuki 31 Desember, tingkat hunian hotel kembali mengalami kenaikan, meski belum signifikan.

“Tanggal 31 mulai ada kenaikan lagi, tapi hanya sekitar 10 persen, jadi berada di kisaran 50 persen. Artinya, masih cukup banyak ruang bagi wisatawan untuk datang dan merayakan tahun baru di Yogyakarta,” kata Deddy.

Didominasi Wisatawan Domestik

Menurut Deddy, hingga saat ini kunjungan wisatawan ke Yogyakarta masih didominasi oleh wisatawan domestik.

Letak geografis Yogyakarta yang berada di tengah Pulau Jawa dinilai memudahkan akses wisatawan menggunakan transportasi darat.

“Daerah Istimewa Yogyakarta masih didominasi wisatawan domestik karena letaknya di tengah Pulau Jawa. Akses transportasi darat sangat mudah, baik dengan kereta api maupun kendaraan pribadi. Sekarang juga sudah ada akses tol, termasuk dari Prambanan, serta jalur dari arah timur, barat, dan utara,” ujarnya.

Sementara itu, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Yogyakarta masih didominasi oleh wisatawan dari Malaysia dan Singapura.

Namun, PHRI DIY juga mencatat adanya tren baru selama periode libur Nataru.

“Ada sedikit fenomena baru, yaitu mulai adanya kunjungan wisatawan dari Australia selama periode Nataru ini,” kata Deddy.

Baca juga: Hunian Hotel di DIY Capai 80 Persen, Kunjungan Wisatawan Mulai Tersebar

Sebaran Belum Merata

Meski Yogyakarta terlihat ramai di media sosial, Deddy menegaskan bahwa tingkat okupansi tinggi hanya terkonsentrasi di wilayah tertentu, terutama di kawasan Kota Yogyakarta.

“Yang bisa mencapai di atas 90 persen itu hanya hotel atau akomodasi yang berada di sekitar Malioboro atau wilayah tengah kota. Belum bisa merata. Dunia maya sering kali berbeda dengan dunia nyata. Di lapangan, okupansi rata-rata tetap di kisaran 60 sampai 80 persen,” ujarnya.

Ia menilai narasi yang berkembang di media sosial berpotensi menimbulkan persepsi keliru di kalangan calon wisatawan.

“Ada calon wisatawan yang akhirnya ragu datang ke Jogja karena takut macet, takut hotel mahal, takut tidak dapat kamar. Padahal, Yogyakarta itu terdiri dari satu kota dan empat kabupaten, yakni Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul,” katanya.

Selain persepsi publik, PHRI DIY juga menyoroti keberadaan akomodasi non-hotel, seperti vila, homestay, rumah sewa harian, dan kos-kosan harian, yang dinilai turut memengaruhi tingkat hunian hotel anggota PHRI.

“Data okupansi 60 sampai 80 persen ini juga karena banyak wisatawan menggunakan akomodasi lain yang bukan anggota PHRI, seperti vila, homestay, rumah sewa, dan kos harian. Sebagian dari akomodasi ini tidak berizin atau izinnya tidak sesuai peruntukan,” ujar Deddy.

Ia memperkirakan keberadaan akomodasi non-hotel tersebut dapat menyedot sekitar 10 hingga 15 persen tamu hotel.

“Secara signifikan memang tidak terlalu besar, tetapi bisa menyedot tamu hotel sekitar 10 sampai 15 persen. Kalau ini dibiarkan, ini menjadi kebocoran Pendapatan Asli Daerah bagi kota dan kabupaten, dan dalam jangka panjang bisa berdampak negatif bagi destinasi,” katanya.

Persiapan Menyongsong 2026

Menghadapi libur akhir tahun, hotel-hotel di Yogyakarta tetap melakukan berbagai persiapan operasional.

Meski pesta kembang api dilarang, perayaan Tahun Baru tetap dikemas dengan pendekatan berbeda.

“Kami tetap menyelenggarakan acara, tetapi dengan kemasan yang berbeda. Tetap ada hiburan, makan malam, doa bersama, dan juga penggalangan donasi untuk saudara-saudara kita yang terdampak bencana di Sumatera dan Aceh. Tahun ini kami lebih memperhatikan faktor kemanusiaan,” kata Deddy.

Ke depan, PHRI DIY tetap optimistis menyongsong tahun 2026.

Pertumbuhan hotel baru dan rebranding hotel lama dinilai memberikan lebih banyak pilihan bagi wisatawan, meski harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan.

“Kami memiliki tagline Guyub Sesarengan, artinya saling berkoordinasi, saling membantu, saling mendoakan, dan saling mengingatkan. Kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan asosiasi pariwisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan,” ujar Deddy.

Ia menambahkan, penguatan digitalisasi menjadi salah satu fokus untuk mendorong kinerja industri perhotelan dan restoran di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Dengan terobosan-terobosan baru dan penguatan digitalisasi di tahun 2026, kami optimistis okupansi hotel dan restoran anggota PHRI Daerah Istimewa Yogyakarta bisa terus meningkat,” katanya. (*)
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.