Varian influenza yang belakangan dijuluki 'super flu', yakni Influenza A (H3N2) subclade K, dipastikan sudah terdeteksi di Indonesia, sejak 25 Desember 2025. Temuan ini memicu kekhawatiran publik, terutama setelah varian tersebut dilaporkan memicu lonjakan kasus influenza di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan beberapa wilayah di Eropa.
Apakah subclade K lebih berbahaya? Perlukah kelompok tertentu seperti anak-anak, lansia, atau penderita penyakit penyerta (komorbid) perlu ekstra waspada?
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr Prima Yosephine, menjelaskan hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan subclade K memicu keparahan penyakit yang lebih tinggi dibanding varian influenza sebelumnya.
Meski begitu, kelompok rentan tetap perlu mendapat perhatian khusus.
Anak-anak Jadi Kelompok yang Banyak Terpapar
Mengutip publikasi ilmiah terbaru hingga Desember 2025, dr Prima menyebut Influenza A (H3N2) merupakan salah satu virus emerging yang memiliki sejarah panjang dalam kesehatan global.
"Merujuk pada publikasi terbaru pada Desember 2025, influenza A (H3N2) merupakan salah satu virus emerging yang pernah menyebabkan pandemi di Amerika Serikat pada tahun 1968 dan kembali menjadi penyebab peningkatan flu pada 2024 hingga 2025, khususnya pada kelompok anak-anak," jelas dr Prima kepada detikcom Selasa (30/12/2025).
Dalam konteks subclade K, anak-anak disebut sebagai kelompok yang cukup banyak terpapar, seiring tingginya aktivitas dan interaksi sosial, terutama di lingkungan sekolah dan komunitas.
Meski begitu, efektivitas vaksin influenza dinilai masih cukup baik dalam mencegah dampak berat.
"Diperkirakan, efektivitas vaksin terhadap subclade ini berkisar antara 64 hingga 78 persen pada anak-anak dan 41 hingga 55 persen pada kelompok dewasa dalam mengurangi keparahan paparan," tambahnya.
Tidak Lebih Parah, tapi Perlu Waspada
Sementara bila mengacu publikasi WHO PAHO (Pan American Health Organization) per 4 Desember 2025, yang mengulas peningkatan signifikan subclade K di Eropa dan beberapa negara Asia Timur, subclade K (J.2.4.1) dinyatakan sebagai hasil evolusi alami dari varian sebelumnya, J.2.4, dan tidak menunjukkan perubahan karakteristik keganasan penyakit secara signifikan.
"Observasi pada peningkatan proporsi varian ini di Eropa selama Mei hingga November 2025 menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan terhadap efek keparahan, baik dari sisi angka rawat inap, perawatan intensif, maupun kematian," ungkap dr Prima.
Artinya, meskipun subclade K menyebar cukup cepat di sejumlah negara, tidak ditemukan peningkatan risiko keparahan klinis pada pasien yang terinfeksi.
Lansia dan Komorbid Tetap Kelompok Rentan
Meski data global menunjukkan tidak ada lonjakan keparahan, dr Prima menegaskan lansia dan individu dengan penyakit penyerta tetap masuk dalam kelompok yang perlu meningkatkan kewaspadaan.
Hal ini bukan semata karena subclade K, tetapi karena influenza pada umumnya memang berisiko lebih berat pada kelompok tersebut, terutama jika disertai penyakit jantung, diabetes, gangguan paru, atau gangguan imunitas.
Ia kembali mengingatkan pentingnya vaksinasi influenza, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta penggunaan masker saat sedang tidak fit, sebagai langkah pencegahan yang tetap relevan.







